Tamu Istimewa

1454 Words
Tadinya aku ingin kembali Jogging bersama Mas Mustafa setiap hari. Hanya saja, niat itu terpaksa diurungkan. Bagaimana bisa aku melakukan pendekatan dengan tenang jika sosok Asep selalu mengekori, menempel bak lintah. Entah harus apa lagi agar dia menjauh. Susah sekali membuatnya menyerah. Ke mana pun aku pergi, dia pasti ada. "Ayank!" Tuh, kan, apa kubilang? Panjang umur banget si Asep. "Habis belanja, Yank?" Dia cengar-cengir seraya turun dari motornya. "Habis smackdown," sahutku ketus. Dia tertawa. "Sini aku bawain." "Iih, nggak usah." Aku menepis tangannya yang hendak mengambil alih kantong kresek. "Kamu ngerti Bahasa Indonesia enggak, sih? Jangan panggil Ayank! Kita itu nggak ada hubungan spesial apa-apa," protesku dengan menatap tak suka padanya. "Ah, kata siapa?" Asep malah mengulum senyum seraya menyugar rambutnya yang baru dicat. "Itu bagimu. Tapi bagiku, kita ini pasangan teromantis seantero negeri. Apalagi kalau udah resmi di penghulu. Kamu pasti kuperlakuin bak ratu." "Ratu demit?" cibirku, tapi dia malah tertawa dan mengibaskan poninya. "Iih, jangan sok ganteng gitu, deh. Geli." Aku bergidik dan kembali melangkah. "Tunggu atuh!" Asep menyusulku seraya menuntun motornya. "Udah sana! Ngapain, sih, ngikutin mulu? Udah kayak jelangkung aja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar." "Enggak apa-apalah dibilang kayak jelangkung, asal bisa deket-deket kamu terus." "Ish, enggak jelas." Aku mendelik kesal dan mempercepat langkah. "Aku tambah ganteng, kan, sekarang, Mil? Rambutku udah mirip tetangga barumu itu. Ya, kan? Hm? Hm?" Asep tersenyum seraya menaik turunkan kedua alisnya. "Dih, pede. Kata siapa? Tetep aja cakepan dia. Kamu malah kayak rambut jagung." Aku tertawa. "Bagus begini, kok." Asep melihat ke spion motor seraya mengusap rambutnya. "Udahlah, Mil. Jangan ngejar-ngejar yang udah jelas punya calon istri. Mending sama aku." "Sama aja. Kamu juga banyak ban serepnya." "Aku putusin mereka sekarang juga, deh. Beneran! Tapi kamu terima dulu cintaku." "Ogah!" tukasku, kemudian berlari cepat. "Mil!" teriaknya disusul suara mesin motor yang dinyalakan. "Bapak! Tolongin aku dikejar orang gila!" teriakku sembari terus berlari cepat. Asep malah terbahak di motornya, begitu juga dengan para tetangga yang melihat. Bukannya menolong, mereka malah ikut menertawakan. Sedikit lagi sampai di depan rumah, aku berhenti berlari. Menunduk seraya menumpukan kedua tangan di lutut dengan napas tersengal-sengal. "Capek, ya, Mil?" Asep kembali tertawa tanpa turun dari motornya. "Berisik!" Aku mendelik. "Lagian, siapa suruh lari. Mendingan naik ini." Asep tersenyum seraya menepuk-nepuk jok belakang. "Atau mau digendong? Bilang aja terus terang sama Aa." "Sengklek," cibirku, tapi dia malah semakin tergelak sampai bahunya bergerak naik turun. Aku hendak kembali melangkah, tapi urung saat melihat Mas Mustafa keluar dari rumahnya. "Aduh!" Aku berpura-pura tersandung dan jatuh terduduk. "Mila!" Asep dengan cepat mematikan mesin motor, lalu turun dan mendekat. "Kamu enggak apa-apa?" Asep menatap khawatir dan mencoba membangunkanku. "Iih, lepas!" geramku pelan, "aku nggak apa-apa, kok," kataku pelan-pelan sembari terus menatap Mas Mustafa yang belum menoleh ke sini sama sekali, "aduh, periiih," rengekku dengan suara sedikit lebih keras. Asep melepaskan tangannya dari bahu, kemudian berdiri. Aku menoleh dan mendapati dia menatapku dalam diam. "Apa?" tanyaku pelan, tapi dia tak menjawab. Aku terpaksa kembali bangun dan menepuk-nepuk celana jeans selututku, ketika Mas Mustafa tak kunjung menunjukkan perhatian atau kepeduliannya. Dia malah asyik memanaskan mesin motor. "Aku pulang, Mil." Aku menoleh lagi pada Asep dan mendapati wajahnya tak seceria tadi. "Ya udah. Pulang tinggal pulang," kataku cuek. Asep menyalakan mesin motor, kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Setelah kepergiannya, aku pun kembali melangkah masuk ke halaman. Akan tetapi, sedikit lagi sampai di pintu, aku kembali berhenti ketika mendengar Mas Mustafa bicara. "Aktingnya masih jelek. Latihan lagi yang bener!" Aku menoleh dengan cepat, mencebik sebal padanya yang menyunggingkan senyum mengejek. "Asem! Aku ketahuan," gerutuku seraya melangkah masuk ke dalam rumah. "Pulang-pulang beli sayur, kok, muka kusut begitu? Kenapa? Kamu enggak ikhlas bantuin ibu?" "Bukan," bantahku seraya meletakkan kantong belanjaan di meja makan. "Biasa, Asep ngintilin mulu. Ngeselin." "Dia gitu-gitu baik, lho, Jum. Tar nyesel sendiri kamu nggak terima dia." "Ya, enggaklah. Masa iya aku nyesel gara-gara Asep. Kalau kehilangan Mas ganteng, tuh, baru aku nyesel." Aku tertawa sembari berjalan menuju kamar. ??? Bapak terlihat tengah berbicara serius dengan seseorang di telepon ketika aku keluar kamar. Beliau langsung menoleh dan berpamitan pada seseorang di seberang telepon saat menyadari aku tengah berjalan mendekat. "Kamu enggak usah kerja dulu hari ini, Jum." "Lho, kenapa?" "Mau ada tamu." "Apa hubungannya tamu sama aku, Pak. Kok, nggak boleh kerja?" tanyaku bingung. "Kamu bantuin Ibu masak aja. Kasian. Masa Ibu masak banyak begitu sendirian?" "Tapi aku enggak enak kalau libur terus, Pak. Aa Toni tar keteteran kalau pas kedai baksonya rame." "Sehari ini aja, Jum. Pasti dia juga ngerti. Kamu enggak kasihan sama ibumu?" "Duh, gimana, ya?" Aku menggaruk kepala bingung. "Emang tamunya siapa, sih? Kenapa harus masak banyak?" "Nanti juga kamu tahu." Bapak tersenyum. "Dih, Bapak gaje banget senyum-senyum begitu." Aku tertawa. "Ya udah, coba kamu telepon dulu yang punya kedai sama Toni. Bilang hari ini izin libur." "Iya." Aku mengambil ponsel dari saku celana dan langsung menghubungi mereka. Beruntungnya pemilik kedai dan Aa Toni tidak keberatan sama sekali meski sebenarnya aku merasa tak enak hati. "Gimana? Boleh katanya?" Aku mengangguk. "Tapi aku enggak enak, Pak." "Halah, enggak apa-apa. Enggak tiap hari ini. Sana bantuin Ibu masak." "Iya. Aku mau ganti celana pendek dulu lagi," sahutku seraya berbalik pergi menuju kamar. Pantas saja Ibu tadi memberiku daftar belanjaan yang cukup panjang. Tidak biasa-biasanya Ibu masak banyak dengan berbagai menu. Biasanya dua atau tiga lauk sederhana saja sudah cukup untuk kami. "Ibu tahu tamunya siapa?" tanyaku ketika tengah membantunya memasak. "Nggak tahu. Ibu udah coba tanya juga, tapi bapakmu itu cuma senyum-senyum." "Yang bener?" Aku menatapnya curiga. "Kenapa? Kamu enggak percaya sama ibu?" Ibu melotot dan mengangkat sutil ke atas. Aku nyengir seraya mengangkat kedua tangan. "Ampun, Ndoro." Ibu menggeleng. "Udah kamu enggak usah pikirin itu dulu. Mending cepetan selesein masakannya. Katanya mereka sebentar lagi sampe." "Iya." ??? Usai menyiapkan berbagai menu istimewa dan camilan di meja makan, Bapak yang sedang duduk di depan televisi melambai padaku. "Apa, Pak?" tanyaku sambil mengunyah. "Cepat ganti baju yang rapi. Sebentar lagi tamunya ke sini." "Ah, males. Bapak sama Ibu aja yang temuin. Aku ngapain ikut-ikutan?" "Ya enggak bisa gitu atuh, Jum. Kan, kamu tujuan utama mereka datang ke rumah Bapak." "Hah?" Aku melongo bingung. "Maksudnya gimana?" "Mereka datang ke sini itu mau ngelamar kamu buat anak laki-lakinya." "Apa?!" Tahu isi yang hendak kugigit spontan terlepas dan terjatuh ke karpet. "Bapak jangan ngaco, ah. Bapak bercanda, 'kan?" Bapak menggeleng. "Bapak serius. Sana ganti baju." "Kok, Bapak gitu?" Aku menatapnya tak percaya. "Kan, aku udah sering bilang kalau aku enggak suka dijodoh-jodohin. Udah cukup dulu Bapak dua kali coba jodohin aku." "Tapi yang sekarang beda, Jum. Kamu pasti suka," debat Bapak. "Pokoknya kalau aku bilang enggak mau, ya, enggak mau. Ibu!" rengekku pada Ibu yang mendekat ke sini. "Kenapa tiba-tiba gini, sih, Pak? Bapak juga enggak cerita apa-apa dulu sama Ibu." "Biar kejutan, Bu." "Kejutan apaan? Pokoknya aku enggak mau!" tegasku dengan wajah cemberut. "Iya, Pak. Udah enggak usah jodoh-jodohin Jum lagi. Biarin aja dia cari calon suami sesuai selera dia. Kalaupun gagal, masih ada si Asep yang nungguin." Aku mendelik, tapi Ibu malah menahan tawa. "Enggak lucu, ah, Bu," rengekku tak suka. "Percaya sama Bapak. Kali ini perjodohannya pasti berhasil." "Bukannya enggak percaya. Nanti malah kita yang dibuat malu lagi, Pak. Bapak enggak ingat dulu Jum berulah bikin calonnya mules-mules?" "Kamu enggak boleh begitu lagi, ya, Jum. Nanti bapak marah beneran kalau kamu bikin ulah." Bapak menatapku tajam. "Bapak, kok, jahat?" Aku menatapnya tak percaya. "Pokoknya aku enggak mau dijodohin, titik!" tukasku, kemudian berlari ke kamar dan mengunci pintunya. Tak kupedulikan Ibu yang memanggil dan mengetuk pintu. Dengan cepat aku mengganti celana pendek dengan celana jeans panjang. Memasukkan beberapa setel pakaian ke dalam ransel, lalu memakai jaket. "Jum?" Ibu menatap kaget padaku yang keluar seraya mengendong ransel. "Kamu mau ke mana?" "Kabur," sahutku seraya berjalan cepat menuju ruang tamu. "Jum! Jangan kabur, Jum! Enggak boleh begitu! Kamu tega ninggalin ibu dan Bapak?" Ibu menyusul, menahan lengan dan berusaha membujukku. "Habisnya Bapak jahat! Aku enggak suka!" tegasku. "Sabar sedikit, Jum. Kamu juga belum lihat orangnya, 'kan? Bapak juga enggak akan maksa kamu terima dia. Ini, 'kan, baru lamaran. Kamu tinggal menolaknya kalau kurang sreg." Bapak malah dengan santainya duduk di karpet seraya menyeruput kopi. Ish, Bapak enggak takut aku kabur beneran apa? Santai banget. "Pokoknya aku mau kabur!" tukasku, kemudian kembali melangkah meninggalkan keduanya. "Jum! Jumilah!" panggil Ibu. "Bapak, itu si Jum gimana? Cepetan kejar, Pak!" "Biarin aja, Bu. Palingan juga enggak jadi kabur." Bapak malah tertawa. "Bapak ini gimana, sih? Anak satu-satunya mau kabur malah nyantuy begitu!" Aku mencebik sebal mendengar sahutan Bapak, kemudian membuka pintu depan dengan kasar. Akan tetapi, seketika itu juga aku mematung kaget melihat pria yang memakai kemeja motif batik berdiri di teras ditemani beberapa orang lainnya. Mas ganteng? OMG! ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD