Terpaksa Menikah?

1108 Words
“Alisa Adijaya Putri!” teriakan itu menggema ke penjuru ruang kelas, membuat si pemilik nama tampak terperanjat dari lamunan panjangnya. “Lo emang cari mati, Sa,” bisik Abel, pasalnya sejak tadi ia sudah berusaha menyadarkan Alisa yang tampak diam melamun saat namanya beberapa kali dipanggil oleh dosen killer di depan sana. Alisa yang baru tersadar dari lamunannya pun tampak terkejut. Ia bahkan langsung berdiri dari duduknya dan menatap celingak-celinguk ke samping kanan dan kiri dengan raut bingungnya. “Gue harus apa, Bel?” lirih Alisa, bertanya pada Abel yang duduk di sebelahnya. “Biar saya saja yang menjawab pertanyaan Bapak.” Sosok Farel tiba-tiba berdiri dari duduknya, membuat semua orang menatapnya heran. Pak Yamin berdehem. “Saya tidak menyuruh kamu, Farel,” ujarnya dengan nada suara yang berubah lembut, tak sesarkas saat memanggil Alisa tadi. “Sebagai teman satu angkatan Alisa, saya akan membantunya menjawab,” kata Farel, terlihat sangat berkarisma. Bahkan Pak Yamin sampai dibuat kelabakan olehnya. Dan akhirnya, dengan terpaksa Pak Yamin sepertinya memilih untuk meredam emosinya, pria tua itu memilih untuk mengalah karena tidak mau menyinggung Farel dan membuat mahasiswa tercintanya itu kesal padanya. “Kelas hari ini, kita akhirnya sampai di sini saja,” kata Pak Yamin kemudian. Setelah itu, dengan emosinya yang terbendung—Pak Yamin melangkah keluar dari dalam kelas tersebut, diikuti oleh beberapa mahasiswa yang juga ikut keluar karena sudah merasa pengap berada di dalam kelas selama hampir dua jam lamanya. “Sa, lo enggak pa-pa?” tanya Abel, ia menatap Alisa dengan raut herannya. “Gue enggak pa-pa,” lirih Alisa, duduk di kursinya kembali seraya menghela napasnya panjang. “Lo tadi beneran ngelamun?” tanya Abel, yang tidak menyangka kalau temannya itu berani memikirkan hal lain di saat jam mata kuliah Pak Yamin. “Entahlah,” lirih Alisa, sebuah kalimat yang melambangkan kalau dirinya sedang butuh waktu untuk berdiam diri tanpa ada yang mengganggu. Abel menghela napasnya pelan, ia yang paham betul dengan sifat Alisa pun akhirnya diam dan tidak berniat untuk bertanya apa-apa lagi. Di sisi lain, Farel yang berada tak jauh dari tempat duduk Alisa dan Abel dapat mendengar pembicaraan dua gadis itu dengan cukup jelas. Tahu kalau Alisa sedang tidak ingin diganggu, Farel yang awalnya ingin menghampiri Alisa akhirnya memutuskan untuk mengurungkan niatnya. “Ada yang namanya Alisa Adijaya Putri enggak?” seru seorang mahasiswa yang tampak berdiri di depan pintu masuk kelas. “Saya Alisa Adijaya Putri,” ucap Alisa, mengacungkan tangannya tanpa semangat. “Kamu dipanggil Pak Reyan, disuruh datang ke ruangannya,” kata mahasiswa itu. Mendengar nama Reyan, raut wajah Alisa seketika terlihat semakin muram, bahkan ia dengan sangat gamblang mengembuskan napasnya kasar, secara tidak langsung mengatakan kalau dirinya benar-benar enggan untuk datang ke ruangan pria itu. Namun, sebagai seorang mahasiswa—tidak mungkin ia melawan dosennya, Alisa hanya bisa pasrah dan menuruti perintah. “Iya, makasih infonya,” kata Alisa menanggapi dengan aura cerianya yang tampak redup. “Lo mau ke ruangannya Pak Reyan sekarang?” tanya Abel. Alisa mengangguk tanpa semangat. Gadis itu kini tampak membereskan barang-barangnya dan bersiap pergi ke ruangan Reyan. “Mau gue temenin?” tanya Abel. “Enggak usah, gue sendirian aja,” kata Alisa, menggelengkan kepalanya pelan. “Kalau gitu gue tunggu lo di depan ruangannya, ya?” tawar Abel. “Enggak usah, Abel. Nanti lo kelamaan nungguinnya, mending lo pulang duluan aja,” Alisa kembali menolak tanpa alasan. “Ya udah deh,” ucap Abel, tak bisa memaksa. “Tapi nanti lo harus hubungi gue kalau lo udah pulang ke rumah,” imbuhnya. “Iya,” jawab Alisa. “Ya udah gue ke ruangannya Pak Reyan dulu, see you,” pamit Alisa, mengumbar senyumnya tipis, lalu melangkah pergi meninggalkan Abel yang masih heran dengan sikap temannya itu. “Aneh,” gumam Abel. Sedangkan Farel yang sejak tadi diam menyimak, ia juga tampak merasa heran, Farel heran karena Reyan dan Alisa sepertinya memiliki hubungan lebih dari sekadar dosen dan mahasiswi. *** Dengan raut lesu aku berdiri di depan ruangan Pak Reyan. Jujur saja, sejak kemarin mood-ku benar-benar hancur berserakan. Aku bahkan tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Hingga tadi aku harus membuat insiden di dalam kelas mata kuliah Pak Yamin, untung saja ada Farel yang membantuku secara tidak langsung. “Kenapa malah diem di situ?” tukas sebuah suara dari arah jendela ruangan tersebut. Aku yang sempat melamun pun tersentak oleh suara pria satu itu. “Masuk,” titahnya. Aku menghela napas berat, lalu melihat sekitar, memastikan tidak ada yang curiga dengan gerak-gerikku. “Ada perlu apa Bapak panggil saya?” tanyaku, yang baru saja mau ke dalam ruangan pria itu. “Kamu habis dimarahin sama Pak Yamin, ya? Kenapa kamu bisa dimarahin sama beliau?” tanyanya. Aku mengernyit, menatap pria itu ganjil. “Dari mana Bapak tahu?” Aku balik bertanya dengan kening berkerut. Ya, dari mana dia tahu? Memangnya dia cenayang yang bisa tahu semua aktivitasku? “Aku enggak sengaja lewat depan kelas kamu dan denger Pak Yamin teriakin nama lengkap kamu,” terang Pak Reyan. “Oh.” Aku menanggapi seadanya. Tidak terlalu peduli dengan raut wajahnya yang tampak menatapku serius. “Kamu lain kali jangan buat masalah sama dosen, apalagi kalau udah jadi istri aku,” katanya tiba-tiba. Perkataannya itu tentu membuatku mengernyit heran. “Maksud Bapak?” tanyaku. “Kamu dan aku, kita enggak lama lagi akan menikah dan menjadi sepasang suami istri. Jadi tolong kamu—” “Bapak bercanda, ya? Lamaran aja belum, udah mau main nikah aja, memangnya aku ini barang yang bisa diklaim sembarangan terus sah diapa-apain?” tukasku, bersungut kesal. Aku bahkan sampai memotong perkataannya tanpa pikir panjang. Dan, Pak Reyan hanya diam, pria itu tetap terlihat tenang ketika aku menampilkan wajah masamku di depannya. “Jadi setelah kamu menjadi istri aku, tolong jangan buat masalah, apalagi sampai dimarahi sama dosen seperti tadi,” lanjut Pak Reyan, benar-benar tidak menghiraukan ocehanku tadi. Aku tertohok mendengarnya. Hei, atas dasar apa lo ngatur hidup gue? Lagian siapa juga yang mau nikah sama orang macam lo. Astaga. “Maaf, Pak Reyan yang terhormat. Anda tidak berhak mengatur hidup saya. Dan seribu persen saya enggak pernah berminat jadi istri Bapak,” tukasku, tegas. “Kita dijodohkan, Alisa,” ujar Pak Reyan, menatapku lekat. Aku merasa miris mendengarnya. “Jadi Pak Reyan menikahi saya karena terpaksa?” tanyaku. “Kamu ternyata sama sekali enggak peka, ya,” sungut pria itu. Aku hanya diam tak menanggapinya. “Sudahlah, pulang sana, sampai ketemu nanti malam,” ujar Pak Reyan kemudian. “Saya enggak berharap nanti malam bakalan ketemu sama Bapak,” celetukku, yang kemudian langsung melangkah mendekati pintu ruangannya, dan keluar dari dalam ruangan tersebut tanpa sopan santunku sebagai seorang mahasiswa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD