Dipaksa Bersama

1527 Words
Aku menghela napas berat, untuk yang kesekian kalinya Abel kembali membuatku kesal. Perempuan satu itu selalu saja membuatku menunggu lama ketika dia memintaku untuk pulang bersama. “Apa ngumpul tugas makalah sampai selama ini? Ngeselin banget sih tuh anak,” gerutuku. “Lisa.” Suara itu langsung membuatku menoleh. Sosok Farel terlihat datang bersama mobilnya yang berhenti tepat di depanku. “Mau pulang?” tanya Farel. Aku tersenyum, sebuah senyum canggung yang terurai kaku. Jujur saja aku masih bingung harus bersikap bagaimana di hadapan Farel yang beberapa jam lalu mengungkapkan perasaannya padaku. “I-iya, mau pulang, tapi masih nunggu Abel,” terangku. “Oh, kalau ‘gitu aku temenin nunggu, ya,” tawar Farel. “Eh enggak usah, lo pulang aja, enggak perlu temenin gue,” tolakku, sehalus mungkin. Dari raut wajahnya, Farel sepertinya agak sedikit kecewa dengan responsku padanya, tetapi pria itu terlihat tetap tegar walaupun dengan sangat gamblang aku seperti tengah ingin menjauh darinya. “Oh, oke deh,” lirihnya. “Kalau ‘gitu aku pulang duluan, kamu ... hati-hati, ya,” pamit Farel. “Iya, lo juga hati-hati, ya,” balasku dengan senyum yang terukir simpul. Setelah itu, Farel melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Melihat Farel yang sudah pergi, aku pikir diriku bisa bernapas lega, tapi kenyataannya ketika satu masalah hilang, satu masalah yang lain datang tanpa diundang. Pak Reyan, pria itu tiba-tiba menghentikan motornya tepat di depanku. Astaga, biarkan aku mengakuinya sebentar saja. Dia memang terlihat sangat keren dengan motor gedenya itu. Tapi seketika aku teringat bahwasanya dia adalah pria yang super duper menyebalkan di muka bumi ini. “Mau pulang?” tanya Pak Reyan, suaranya terdengar berat. Ah, kenapa sih semua yang aku idamkan dari sosok laki-laki harus melekat pada diri Pak Reyan? “Iya,” jawabku, singkat. Aku benar-benar bersikap tak acuh di depannya. “Lisa!” Seruan dari Abel itu membuatku bernapas lega. “Permisi, Pak,” pamitku, yang kemudian langsung bergegas pergi dari hadapannya. Aku dengan segera menghampiri Abel yang juga tengah melangkah ke arahku. Saat aku dan Abel sudah saling berhadapan, Abel tampak mengernyit menatap sosok Reyan yang terlihat memandang ke arah kami. “Sa, bukannya itu Kak Reyan?” tanya Abel. “Udah enggak usah dipeduliin, anggep aja lo enggak lihat dia. Yuk buruan pergi dari sini, gue—” “Bentar, gue mau sapa mantan senior gue dulu. Siapa tahu nanti karena gue kenal dia dari lama, gue bisa dapet nilai plus di mata kuliahnya,” ujar Abel, dengan bodohnya mendekati Pak Reyan yang masih diam memantau ke arahku. Tak lama kemudian, Abel pun sampai di depan Pak Reyan, teman luknutku itu lantas mengumbar senyum ramah tamahnya, menyapa Pak Reyan dengan sangat akrab. “Kak Rey apa kabar?” tanya Abel, suaranya masih terdengar di telingaku. Aku pikir Pak Reyan akan menanggapi Abel dengan sangat dingin, tapi sungguh di luar dugaan, Pak Reyan tampak tersenyum ramah pada Abel. Mereka bahkan terlihat saling mengobrol dan melempar candaan. “Sa, sini,” panggil Abel, tapi dengan sangat terang-terangan aku menolak. Aku menggelengkan kepalaku pelan sembari menampilkan raut wajah yang tertekuk masam. Beberapa saat setelah Abel bercakap riang dengan Pak Reyan, Abel akhirnya melangkah ke arahku, sedangkan Pak Reyan tampak melajukan motornya, pergi dari area kampus. “Lo kenapa sih, Sa?” tanya Abel, ketika dia sudah sampai di hadapanku. “Apa?” Aku balik bertanya. “Lo kayak sengaja jauhin Kak Reyan tahu,” komentarnya. “Ya emang gue jauhin dia,” ungkapku. “Kenapa?” tanya Abel. “Kemarin pas Kak Reyan belum balik ke Indonesia, lo sibuk merindu? Sekarang giliran dia udah balik, lo malah ngejauh. Heran gue sama lo, Sa,” komentar Abel. Aku menghela napas berat, lalu menatap teman karibku itu lekat. “Dia itu nyebelin, Bel. Baru ketemu aja udah larang aku ini itu,” uraiku. “Dia larang kamu pasti ada alasannya, Sa,” nasihat Abel. “Ah udahlah, gue enggak mau bahas dia lagi, pusing kepala gue,” kesalku, yang kemudian memilih untuk lekas melangkah pergi sebelum kami ketinggalan bus seperti hari kemarin. *** Saat aku baru tiba di rumah, aku melihat motor Pak Reyan terparkir sempurna di dalam pekarangan rumah nenek Jessy. Aku tentu terheran-heran melihatnya. “Ini motor kenapa ada di sini?” gumamku, lalu menatap ke arah pintu rumah nenek Jessy yang tampak sedikit terbuka. “Jangan bilang dia dateng ke rumah ini?” Aku kembali bermonolog sendiri. Setelah beberapa saat berperang dalam kekalutan batin, aku pun segera melangkah masuk ke dalam rumah, dan saat itulah aku melihat Pak Reyan tengah berbincang santai dengan Daddy. Wait. Kok Daddy ada di sini? “Daddy?” lirihku, yang membuat dua pria itu langsung menatap ke arahku. “Oh, kamu udah pulang, Ca,” ucap Daddy. Aku mengangguk singkat, lalu melangkah mendekatinya. “Daddy kapan balik ke Indonesia? Bunda mana? Bunda ikut juga enggak?” tanyaku. “Tadi pagi Daddy baru sampai, Bunda kamu ada di dapur,” jawab ayah super protektifku itu. Aku yakin, Daddy datang jauh-jauh ke Indonesia pasti karena tahu kalau aku di rumah sendirian lantaran nenek dan kakekku sedang pergi keluar kota untuk menghadiri pesta pernikahan teman baik kakek. “Kamu kenapa enggak mau pulang bareng, Reyan? Tadi Reyan bilang katanya kamu ditawarin pulang bareng sama dia tapi malah kamu tolak,” tanya Daddy, yang membuatku langsung melotot kesal pada Pak Reyan. Tuh kan, Pak Reyan itu memang orang yang paling nyebelin sejagat raya. Ah, dasar tukang ngadu. “Aku pulang bareng Abel, Daddy,” kataku. “Enggak mungkin ‘kan aku ninggalin Abel sendirian dan pulang sama Pak Reyan,” jelasku. “Pak?” Daddy tampak mengernyit heran saat mendengarku memanggil Reyan dengan panggilan seformal itu. “Dia dosenku, Daddy. Jadi aku harus sopan.” “Tapi ini ‘kan enggak lagi di kampus, Ica,” cakap Daddy-ku. “Iya, Ica. Kalau di luar kampus panggil aja aku kayak biasanya,” sahut Pak Reyan. Panggil kayak biasanya? Hell! Enggak akan pernah. Karena status kita sekarang adalah pure mahasiswa dan dosen. Titik sampai kiamat. “Enggak bisa,” tolakku. “Oh, Ica udah pulang,” sahut suara lain yang aku yakini adalah bundaku. “Bunda,” sambutku, tersenyum sumringah menatapnya. “Bunda, Ica kangen,” rengekku, yang langsung memeluk tubuhnya usai melihatnya meletakkan nampan berisi minuman itu ke atas meja. Bunda terkekeh mendengar rengekan manjaku, ia lantas mengecup keningku dan mengusap puncak kepalaku lembut. Ah, aku sungguh sangat merindukan kasih sayang dari bundaku. “Kamu itu udah gede masih aja manja sama bunda kamu,” komentar Daddy. Aku mencebik menanggapinya. “Bilang aja Daddy iri,” tukasku. Daddy terdengar menghela napasnya pendek, lalu ia berkata, “Lebih baik kamu buruan ganti baju, habis itu ke sini lagi, ada yang mau kita omongin ke kamu,” kata Daddy. “Omongin apa?” tanyaku, seketika merasa penasaran dibuatnya. “Ganti pakaian kamu dulu, nanti kamu juga bakalan tahu,” ujar Daddy. “Kenapa harus ganti pakaian? Emangnya ada yang salah sama pakaianku sekarang? Kalau mau ngomong sesuatu yang tinggal ngomong aja,” cakapku. “Ica, udah turutin aja apa kata ayah kamu, jadi anak baik itu enggak boleh bantah omongan orang tua,” nasihat Bunda. Aku menghela napas berat. “Iya, Bunda,” jawabku. Kemudian dengan sangat terpaksa aku melangkah pergi menuju kamarku yang ada di lantai atas. “Pakai baju yang bagus. Yang feminim dikit,” seru Daddy. “Iya, nanti aku keluar pakai bikini,” kesalku, yang justru membuat Pak Reyan tampak terlihat menahan tawanya ketika aku tanpa sengaja menatapnya dari arah tangga. Beberapa menit kemudian. Aku kembali ke ruang tamu dengan dress sebatas lutut yang merupakan hadiah dari nenek Jessy tahun lalu. “Cantik gaunnya, Ca,” komentar Bunda. “Yang pakai juga cantik banget,” imbuhnya, membuatku tersipu. “Duduk,” suruh Daddy, sang kepala keluarga yang sangat tegas dan super posesif pada anak dan istrinya. Aku pun duduk sesuai yang Daddy perintahkan. Setelah aku duduk, Daddy tampak berdehem sejenak, lalu ia menatapku serius. “Besok malam kamu enggak ada acara di luar, ‘kan?” tanya Daddy, terdengar seperti sebuah basa basi. “Enggak ada,” jawabku. “Baguslah,” lirih Daddy Sean, membuatku mengernyit curiga. “Memangnya kenapa sama besok malam?” Aku bertanya. Daddy tiba-tiba tersenyum sangat lebar, hingga membuat deretan giginya yang rapi itu tampak tampil perkasa. Melihat senyum Daddy itu, seketika aku merasa ada yang tidak beres. “Besok malam ....” Bunda terlihat ingin menjelaskan, tetapi tiba-tiba Daddy menyela. “Besok kamu bakal tahu sendiri,” kata Daddy. Aku terbengong. Sumpah demi apa. Daddy-ku kok jadi nyebelin banget sih? “Terus aja kayak ‘gitu, nanti kalau anaknya mati penasaran baru tahu rasa,” kesalku. “Besok malam Reyan dan keluarganya mau dateng ke sini buat lamar kamu, Ca,” cakap Bunda. “Nah, kayak Bunda gini ‘kan enak, jadi aku enggak penasaran lagi kalau ....” Aku terdiam saat otakku baru berhasil mencerna perkataan yang tadi bunda paparkan. “Barusan Bunda bilang apa?” cicitku. “Reyan bakal lamar kamu,” sahut Daddy. “Kamu enggak kaget dengernya?” heran Daddy-ku. “A-apa?!” Kini responsku benar-benar sesuai harapan mereka. Aku terlihat sangat syok. “Aku, Pak Reyan, nikah? Gila, ya,” komentarku, terceplos begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD