BAB 4 The s**t! Kolak Singkong

1103 Words
Mas Suami : Bikin kolak singkong. Astfckdjhbgjkst!!! Gea mengumpat sepanjang perjalanan menuju rumah sesaat setelah membuka pesan yang dikirim oleh Nata beberapa detik yang lalu. Pantas saja suaminya itu berbaik hati menyuruhnya pulang tepat waktu, ternyata eh ternyata ada udang asam manis dibalik tudung saji. Sebenarnya Gea sudah menduga ini sedari awal, mengenai sikap manis sang bos yang tak biasanya. Dan benar saja, baru sekian menit dia meninggalkan area perusahaan, pria itu sudah memberikan tugas negara yang berhasil memancing keluar semua sumpah serapah yang dia simpan selama ini. Gea menghela napas berat. Belum hilang rasa lelahnya akibat seharian bekerja, kini dia diharuskan untuk menuruti perintah Nata. Kembali dia membaca pesan pria itu sekali lagi, berharap tulisannya dapat berubah. Bukan Gea tidak mau atau malas, hanya saja jika membuat kolak singkong itu berarti dia harus pergi ke pasar tradisional terlebih dahulu. Namun meski begitu, sepenat apa pun dirinya. Perintah suami tetap yang paling utama. "Pak, mampir ke pasar dulu ya," pinta Gea pada Pak Maman, sopir kantor yang kebetulan ditugaskan untuk mengantarnya pulang. "Baik, Bu." Status pernikahan Nata dan Gea memang sudah menjadi rahasia umum. Pasalnya mereka memutuskan tidak akan menutupi perihal kebenaran tersebut, dikarenakan tidak adanya larangan menjalin hubungan dengan sesama rekan kerja. Yang penting profesional kalau kata Nata. Hal itulah yang membuat Gea sekarang menjadi bahan sorotan dan gibahan karyawan kantor. Butuh waktu 10 menitan agar bisa sampai di pasar yang jaraknya lumayan dekat dari kantor. Dengan sedikit berat hati, Gea melangkah keluar dan menghampiri pedagang yang sekiranya menjual singkong. Sekedar informasi, setelah menikah dengan Nata dapat dihitung dengan jari dia memasuki tempat tersebut. Bukan sombong ya, tapi memang begitulah realitanya kehidupan seorang Gea usai menyandang nama Baskara. Seusai membeli bahan utama membuat kolak, Gea segera bergegas pulang ke rumah. Sesampainya di sana, tanpa mandi terlebih dahulu dia langsung mengeksekusi permintaan sang suami. Di detik-detik bagian terakhir, tiba-tiba saja, "ASTAGFIRULLAH!!" Gea memekik seraya menepuk jidatnya cukup keras. Sepertinya dia lupa membeli kelapa parut untuk santannya! Inilah alasan kenapa Gea enggan membuat kolak singkong versi Nata, karena pria itu sangat tidak menyukai jika santan yang digunakan adalah instan. Katanya, "Kalau ada yang asli kenapa harus yang campuran." tolong ingatkan Gea bahwa suaminya ini orang paling adil dalam segala hal. Matanya melirik jam dinding yang ada di sudut dapur. Sudah pukul 5 sore lewat 15 menit dan itu artinya sebentar lagi Nata pulang. Karena tak ada pilihan, Gea memutuskan untuk memakai santan instan saja yang kebetulan selalu tersedia di dalam kulkas. Selang beberapa menit, Nata akhirnya pulang bertepatan dengan masakannya yang sudah jadi. Setelah mengucapkan salam dan mencium singkat kening sang istri, Nata langsung mengambil tempat duduk di meja makan. "Mas, gak mau mandi dulu?" Tawar Gea seraya mengambil alih jas di tangan sang suami. "Cobain dulu sedikit, baru mandi," ucapnya tak menggubris. "Masih panas loh, Mas," Gea berujar jengkel menghadapi kekeras kepalaan pria itu. Nata mengangkat sebelah alisnya ke atas, sambil menyodorkan sendok berisi kolak ke hadapan sang istri, "Mau bantu tiupin?" Gea mendengus, "Nunggu dingin kan bisa," "Males nunggunya. Lagipula makanan itu enaknya di makan selagi panas," kilah Nata beralasan. "Ralat. Hangat kali, Mas bukan panas. Kalau masih ngebul di makan yang ada itu lidah mateng," Nata tidak lagi membalas perkataan sang istri karena sekarang dia tengah sibuk meniup-meniup kolak singkong. Begitu sendok sudah dimasukkan ke dalam mulut, Nata sontak berhenti. Di letakannya kembali sendok yang sedang dia pegang ke dalam mangkok. Tatapannya dia larikan ke arah Gea yang duduk tepat di sampingnya. Seketika, Gea mengalihkan pandangan. Dalam hati dia menghitung detik-detik bom atom keluar dari mulut Nata. "Gea..." Panggilnya dengan suara rendah dan hal itu cukup berhasil membuat tubuh Gea menegang. Baiklah, serius mode on aktif. "Kalau kamu gak niat masakin, Mas, mending gak usah. Buang-buang makanan aja," ucap Nata dingin seraya menjauhkan mangkok yang masih terisi penuh. Mata Gea seketika membeliak dengan mulut menganga lebar. Apa-apaan suaminya ini menuduh sembarangan seenaknya. "Maksud, Mas apa ngomong kayak gitu?" Kesal Gea tak terima. Gila saja, dia sudah capek-capek masak tapi malah dikira gak niat. Tidak menghargai sama sekali! "Kamu kan tahu, Mas paling gak suka sama apa pun yang berbau instan," ujar Nata dengan raut wajah yang berubah datar. "Astaga, Mas! Itu cuma hal sepele dan kamu besar-besarin!" "Gak ada yang sepele bagi aku," tegas Nata tak terbantahkan. Gea mendesah frustasi, "Mas, aku capek loh, abis kerja. Pengen istirahat," "Capek?" Nata membeo. Kemudian menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Apa di sini cuma kamu yang kerja? Cuma kamu yang ngerasa capek?" Tanyanya yang membuat Gea seketika bungkam. Kini Nata berdiri, mengubah posisinya menjadi saling berhadapan, "Sejak awal, Mas gak pernah nyuruh kamu untuk kerja, tapi kamu yang minta sendiri. Bahkan maksa. Dan sekarang kamu ngeluh?" Gea menunduk dengan jari yang saling memilin, pembahasan ini selalu menjadi topik paling sensitif bagi dirinya, "Mas Nata kan tahu alasan kenapa aku kerja," cicitnya dengan suara lirih. Perlahan kedua mata Nata terpejam, saat ingatannya kembali terlempar pada kejadian dimana Gea mengalami keguguran. Kala itu istrinya tengah hamil 2 bulan, usia yang masih sangat rawan. Gea yang sedang melakukan olahraga kecil di depan rumah tiba-tiba saja ditabrak anak-anak yang sedang berlarian di sekitar komplek, hingga jatuh terduduk dan menyebabkan dia kehilangan janin yang sedang dia kandung. Karena tak ingin terus-terusan terpuruk, Gea akhirnya meminta kepada Nata agar diizinkan bekerja sebagai pengalihan atas kehilangan calon anak mereka. Dan sebagai suami, Nata tentu tak ingin bersikap egois dengan menolak permintaan sang istri. "Mas gak masalah dengan keputusan kamu yang ingin bekerja, tapi dengan syarat kewajiban kamu sebagai seorang istri harus yang paling utama. Tapi sepertinya itu cuma berlaku di awal, karena makin ke sini kamu semakin lupa ngurusin suami," Tanpa dapat dicegah, air mata mengalir begitu saja membasahi pipi Gea yang memerah. Hatinya sakit mendengar pernyataan Nata yang sangat menohok. "Bahkan beberapa bulan terakhir, Mas ngerasa seperti tidak punya istri. Bangun pagi lebih dulu, menyiapkan perlengkapan ke kantor sendiri, membuat sarapan dan di hari minggu pun tidak ada quality time karena kamu lebih milih tidur seharian dibandingkan ngabisin waktu bareng, Mas," ucapnya seraya membalikan badan, kemudian melangkah pelan menuju pintu dapur. Kenyataan seakan menampar Gea dengan keras. Dia menyadari bahwa akhir-akhir ini dirinya sudah berlaku tidak adil dengan lebih mengutamakan dirinya sendiri dan mengabaikan bahwa masih ada sosok lain yang harus dia urus. Tinggal satu langkah melewati ambang pintu, Gea memanggil Nata dengan suara seraknya efek menahan tangis, "Mas..." Nata bergumam. Berhenti sejenak untuk mendengar apa yang akan dikatakan sang istri. "Maaf," sesal Gea sambil menangis. Segera wajahnya dia tutup menggunakan telapak tangan demi meredam isak tangis yang mulai terdengar. Hening sesaat, sebelum Nata berkata, "Mending kamu mandi, terus ambil wudhu. Sebentar lagi maghrib." Suruhnya sambil kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD