Dua - Pengintai?

2031 Words
Nayra berjalan cepat menuju kelasnya dengan kepala yang menunduk. Sepatunya bahkan ia copot asal di halaman kelas tanpa meletakkannya di rak sepatu. Cecil, Dea, Liu, dan Zara yang melihat itu tentu saja mengerutkan dahi bingung. Mereka yang merasa khawatir pun langsung saja meninggalkan kantin dan menyusul Nayra yang sudah masuk ke dalam kelas. Cecil dan Dea saling berpandangan saat mendapati Nayra yang duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada meja, posisi gadis itu menghadap ke arah jendela yang ada di sebelahnya. Keduanya sempat menghela napas pelan sebelum kembali berjalan menghampiri Nayra. "Nay?" panggil Dea pelan. Nayra hanya berdehem menyahuti panggilan temannya. "Lo gapapa? Ada yang gangguin?" tanya Cecil. Nayra menggeleng pelan, "Nggak, aku nggak papa." Zara menyentuh bahu Nayra, "Beneran gapapa?" Nayra kini mengangguk. Liu mendekati Nayra, ia berusaha memegang bahu gadis itu juga, "Seriusㅡ" "Iya, gue nggak papa." Keempatnya saling berpandangan saat Nayra menekan setiap kalimatnya. Cecil menghela napas malas, tidak ingin lagi berdebat. "Ya udah kalo gitu. Kita mau ke kantin, nitip nggak?" melihat Nayra yang menggeleng Cecil pun mengangguk. "Ya udah kita ke kantin." Dan mereka pun meninggalkan Nayra yang masih terdiam pada posisinya dengan wajah sedikit memerah. 'Kok baru nyadar sih dia seganteng itu?' Nayra menggigit bibir bawahnya, 'Kenapa nggak dari dulu coba naksirnya? Aish.' Nayra berdecak kecil, ia merutuki dirinya sendiri yang tidak ikut menjadi fans Ervino sejak pertama kali bersekolah di SMA ini. 'Padahal dulu liatnya dia kek biasa aja gitu. Ya ganteng, tapi kek bukan tipeku. Terus kek ya udahlah dia ganteng gitu, banyak yang suka, banyak saingannya, nggak mungkin jadi pacarnya.' Nayra sedikit tersentak saat mendengar bel masuk berbunyi, ia menegapkan tubuhnya, matanya kini menatap ke arah meja. 'Lagian mau suka dari dulu atau sekarang sama aja,' Nayra menghela napas, lalu berbisik lirih. "Nggak akan bisa jadi pacarnya." Tepat setelah semua murid masuk ke dalam kelas, guru yang mengajar Seni Budaya siang itu memasuki kelas. Para murid di kelasnyaㅡtermasuk Nayra sendiriㅡsegera berdiri dari duduknya dan mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salam dari kami dan mempersilahkan kami untuk duduk. Nayra tidak banyak berekspresi seperti biasanya, mood-nya tidak sedang buruk, namun pikirannya sedang melayang memikirkan si kakak kelas yang tiba-tiba mencuri atensinya. Cecil yang menyadari itu menatap Nayra penuh selidik, penasaran siapa kiranya yang Nayra temui hingga menjadi seperti ini. Ketika bel yang menandakan istirahat kembali berbunyi, setelah mengumpulkan tugas Seni yang diberikan bersamaan dengan milik Nayra, Cecil menarik sahabatnya itu ke arah luar kelas, ia ingin mengajak Nayra ke kantin. Liu dan Zara yang nyaris bersamaan mengumpul tugas dan melihat aksi Cecil itu akhirnya membantu. Zara menarik tangan kiri Nayra dan Liu mendorongnya dari belakang. "Ayooo!" seru ketiganya bersamaan saat Nayra mencoba melawan. Dea yang melihat itu segera menyelesaikan tugasnya dan menyusul keempatnya menuju kantin. Setelah membeli beberapa makanan ringan dan minuman, keempat remaja itu mendudukkan diri di teras kelas seperti biasa. Dan saat itu Cecil langsung menanyakan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya penasaran. "Lu ketemu siapa si tadi?" Nayra mengerjapkan matanya karena Cecil tepat menatapnya, "Ha?" Cecil berdecak kecil, "Pas di toilet ketemu siapa? Langsung ngibrit gitu, terus kek nggak mood." Nayra memakan jajannya, sedikit mengulur waktu sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya. "Ketemu Kak Ervin, nggak sengaja nabrak dia pas dia baru keluar dari toilet sebelah." Seperti yang sudah Nayra duga, keempat sahabatnya serempak menggodanya. "Woo… Ketemu pangeran sekolah." Nayra menyungging senyum miring, "Halah, gitu doang." Liu pun tertawa, "Ganteng, kan?" Nayra mengangguk-angguk tak acuh, "Ya, lumayan lah. Kalo dari deket keliatan gantengnya." Liu berdecak tidak suka, "Lumayan apanya? Dia tu ganteng banget tau. Kakak kelas, pinter, putih, tinggi, baik, ramah, pokoknya yang baik-baik semua ada sama dia." Dea dan Nayra mendengus bebarengan mendengar itu. "Luarnya doang, dalemnya nggak tau gimana." Lalu keduanya bertos ria. Liu pun kembali berdecak karena ya, ucapan dua sahabatnya itu memang ada benarnya. Jangan menilai buku dari sampulnya. Sambil mendengarkan teman-temannya yang lain bercerita, Nayra memperhatikan sekitar. Matanya tidak sengaja menangkap siluet sosok Ervino di depan sana. Sosok itu baru saja melewati toilet yang berada tidak jauh dari depan kelasnya. Nayra sempat mengulas senyum tipis saat wujud Ervino yang terlihat semakin jelas, kakak kelasnya itu hendak pergi ke kantin. Namun senyumnya luntur saat tiba-tiba dua orang gadis menghampiri Ervino dan langsung menggandeng lengannya. Nayra pun mengalihkan pandangannya dan tidak mendapati Ervino yang menatap teman sekelasnya risih sambil berusaha melepaskan tangan-tangan yang menggelayutinya itu. Nayra tidak mengerti kenapa mood-nya berubah setelah melihat hal itu. Ia menghabiskan makanan dan minumannya sedikit lebih cepat, lalu bergegas berdiri untuk membuang sampah. Namun kakinya membeku saat melihat tong sampah yang berada di samping kiri kelas, yang artinya ia bisa melihat pemandangan di kantin. Nayra pun menarik napasnya sedikit, ia segera berjalan menuju tong sampah dan membuang sampahnya. Kepalanya reflek menoleh setelah sampah itu terlepas dari tangannya dan ia mendapati Ervino yang sedang menyantap makan siangnya. Kakak kelasnya itu duduk di kursi kantin paling kanan, maka Nayra dapat melihat sosok itu dengan jelas. Saat merasa Ervino akan mendongak, Nayra segera membalik tubuhnya dan bergegas masuk ke dalam kelas. Ervino yang sempat melihat bayangan seseorang hanya menatap sekilas tak acuh. Sedangkan keempat sahabat Nayra saling melirik, menatap Nayra penuh selidik. Mereka bahkan kembali saling melirik dan mengulas senyum jahil karena saat membuang sampah tentu saja mereka dapat melihat sosok Ervino. "Kayaknya si mulai suka sama kakel. Tapi liat aja dulu sampe kapan dia bakal denial," ucap Dea kepada ketiga sahabatnya. Suara bising kendaraan yang dinyalakan secara bersamaan menandakan para siswa yang sedang beramai-ramai hendak lekas pulang. Namun Nayra, Zara, dan Cecil masih betah berdiri di halaman kelas, menunggu parkiran sepi. Hal ini sudah biasa, Cecil, Dea, dan Liu pulang dengan jemputan dari rumah. Namun Cecil memang sering berlama-lama di halaman kelas dan menunggu sekolah sepi bersama Nayra dan Zara sebelum menghampiri supirnya dan pulang ke rumah. Beberapa teman sekelasnya pun begitu, Nayra sendiri tidak yakin dengan alasan mereka. Namun ia hanya tidak ingin bertemu dengan banyak orang dan berada di lingkungan yang ramai. Nayra menoleh ke arah Cecil dan Zara yang sedang sibuk memperhatikan sesuatu pada ponsel pintar mereka. Sekolah sudah cukup sepi, Nayra tidak berniat menunggu sekolah tidak berpenghuni, maka ia memanggil dua sahabatnya itu. "Cil, Ra, aku duluan ya!" serunya sambil berjalan. Cecil dan Zara hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Ketika tiba di parkiran, Nayra sempat terdiam karena letak motornya berubah, namun ia mengedikkan bahu tak acuh, mungkin siswa lain memindahkan motornya karena tidak bisa keluar dari tempatnya. Nayra pun menaiki motornya, ia sudah menekan tombol starter pada motornya, namun motor itu tidak menyala. Nayra mengerjapkan matanya terkejut, panik mulai menyerangnya. Gadis itu terus berusaha menyalakan motornya, namun tidak berhasil. Nayra pun kembali menurunkan standar motornya, ia menyalakan ponselnya untuk menelepon sang ayah, namun decakan kecil keluar dari mulutnya karena beliau tidak menjawab. Nayra menyimpan ponselnya lagi dan kembali berusaha menyalakan motornya, namun hasilnya nihil. "Aish!" Nayra kembali menurunkan standar motornya dengan kesal. Ia berniat turun dari motornya, namun seseorang tiba-tiba muncul di belakangnya. "Motornya kenapa?" Nayra yang terkejut reflek menoleh, matanya semakin membulat lebar saat melihat sosok di depannya. "Nggak bisa nyala, ya?" Nayra menelan ludahnya gugup, ia mengangguk pelan sebelum turun dari motornya. Melihat itu Ervino segera mendekat ke motor Nayra, sosok itu sempat mencoba men-starter motor Nayra sebelum akhirnya menurunkan standar dua karena motornya tidak menyala. Nayra menatap sekeliling dengan gugup, masih ada beberapa orang di sekolah yang melihat Ervino sedang membantunya menyalakan motor. Tangannya bertaut gugup, ia khawatir akan menjadi bahan gosip satu sekolah. Namun tak dipungkiri ia merasa lega saat akhirnya Ervino berhasil menyalakan motornya. Nayra tersenyum tipis saat Ervino menurunkan motornya dari standar dua dan memutar balik motornya menuju jalan keluar sekolah. Ervino turun dari motor Nayra, sosok itu masih memegangi stang motor dan menyuruh Nayra menaiki motornya. "Ini, udah, hati-hati mati lagi." Nayra mengulum bibirnya ragu setelah duduk di jok motornya, namun ia tersenyum saat menatap Ervino, gadis itu menganggukkan kepalanya sekali. "Makasih, Kak." Ervino pun mengangguk, "Gih, jalan, hati-hati." Nayra mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya melajukan motornya menuju rumah. Ervino menatap kepergian Nayra sambil berjalan menuju mobilnya, ekspresinya tidak terbaca, namun sebuah senyum miring terulas tipis setelah ia memasuki mobilnya. Nayra tiba di rumahnya hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit karena memang rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah. Nayra biasanya selalu berjalan kaki, namun karena motornya sedang tidak digunakan oleh sang ayah, ia memakainya hari ini. Nayra memarkirkan motornya di halaman rumah, ia sempat menutup pagar kembali sebelum masuk ke dalam rumahnya. "Aku pulang," sapanya ketika masuk ke dalam rumah. Nayra tersenyum tipis melihat ayahnya yang tertidur di depan televisi yang menyala. Ia pun mematikan televisi itu, namun hal itu justru membuat ayahnya terbangun. "Eh? Udah pulang?" Nayra mengangguk sekali, "Iya, udah." Lantas ia berjalan menuju kamarnya dan membiarkan sang ayah menyalakan televisi lagi. Nayra melepas tasnya dan meletakkannya di atas meja belajar, ia juga melepaskan jaketnya dan menggantung baju hangat itu. Gadis itu sempat duduk diam di atas kasurnya sambil menyalakan kipas mini untuk mendinginkan tubuhnya sebelum mandi. Tanpa sadar Nayra melamun, ia memikirkan kejadian saat di parkiran tadi. Betapa terkejutnya ia saat tiba-tiba Ervin datang menghampiri. Nayra tersenyum tipis, ia berkhayal bagaimana jika motornya sama sekali tidak bisa menyala tadi? Apa mungkin Ervin akan mengantarnya pulang ke rumah? Namun khayalan Nayra hilang begitu saja saat mendengar beberapa notifikasi dari ponselnya. Nayra pun meraih ponselnya yang ia letakkan di atas meja dan menyalakan benda pipih itu. Ada beberapa pesan di grup kelas dan grup persahabatannya, namun ia lebih tertarik membuka spam broadcast dari salah satu teman sekelasnya karena melihat nama Ervino terselip di sana. Teman sekelasnya itu membagikan kontak, mungkin ada beberapa orang yang memintanya untuk 'dipromosikan,' dan karena terlalu malas untuk mengecek kontak mereka satu persatu temannya itu langsung mengirim semua kontak yang ia punya. Nayra menggelengkan kepalanya pelan, entah apa yang orang-orang itu pikirkan. Namun menurut Nayra, nomor telepon adalah sesuatu yang cukup privasi dan tidak bisa ia bagikan ke sembarang orang. Mengabaikan hal itu, Nayra menggelengkan kepalanya. Ia menatap lama kontak bertuliskan nama "Kak Ervino" itu, bingung harus melakukan apa. Ia sungkan jika langsung mengirim pesan pada kakak kelasnya, lagi pula atas dasar apa? Maka yang Nayra lakukan hanya menilik kontak itu untuk melihat foto profil dan status info Ervino. Tidak ada yang special dan Nayra tidak seberani itu untuk langsung mengirim pesan. Nayra pun meletakkan ponselnya kembali dan memilih untuk pergi mandi. Ketika malam tiba, saat Nayra sedang bersiap untuk pergi ke alam mimpinya, ia mendengar sesuatu. Karena cukup terkejut Nayra reflek kembali bangkit dan menyibak tirai jendelanya. Ia menghela napasnya lega saat melihat ayahnya yang hendak memasukkan motor ke dalam rumah. Lantas pandangannya beralih. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di seberang jalan. Nayra menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih jelas sosok yang sedang mematung di depan sebuah toko yang sudah tutup, tepat di seberang rumahnya. Namun setelah Nayra mengucek matanya yang terasa pedih secara tiba-tiba, sosok itu menghilang dari depan sana. Nayra menelan ludahnya, merasa takut. Gadis itu langsung menutup tirai jendelanya dan menaiki kasur dengan segera. Di balik selimut yang menutupi tubuhnya hingga separuh wajah itu, Nayra mencoba mengingat-ingat sosok yang tadi ia lihat. "Pakaiannya serba item, bahkan sepatunya juga tadi iya. Pake hoodie, mukanya nggak keliatan." Nayra mengerutkan dahinya. "Ngeliat ke arah sini nggak, ya? Ngapain coba berdiri di depan toko tutup gitu? Mana agak gelap, udah malem gini." Nayra bergidik ngeri, "Semoga nggak liatin ke sini. Ngeri banget kalo ada yang mau maling. Ngerinya lagi kalo ternyata dia psycho!" Nayra memejamkan matanya erat, lalu menggeleng ribut. "Nggak, nggak. Itu cuma di drakor aja." Nayra kembali terdiam. "Kayak mirip siapa ya? Kayak kenal gitu postur tubuhnya. Kayakㅡ kayakㅡ siapa si." Lantas Nayra tertawa sendiri dengan pelan. "Kalo hantu bukan, tadi kakinya napak tanah. Tapi kok serem banget, kek lagi mengintai sesuatu." Nayra lagi-lagi menggeleng, ia memilih mengambil ponselnya yang sudah ia letakkan di atas meja dan menceritakan kejadian yang baru saja ia lihat di grup chat yang berisi para sahabatnya. Nayra tertawa pelan saat membaca pesan dari Cecil. Gadis itu mengatakan jika sosok itu adalah psycho atau justru stalker-nya. Saat Nayra mengatakan jika sosok tadi mirip dengan seseorang yang mungkin dia kenal, Cecil kembali menjawab. Dan jawabannya kali ini membuat Nayra terdiam karena ia rasa ucapan Cecil ada benarnya. "Emang agak mirip Kak Ervin, ya? Tapi masa iya? Ngapain coba dia?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD