Pemuda Hitam Buluk

3137 Words
Kisah ini terjadi sebelum isu virus Y2K menjadi pembicaraan hangat, walaupun akhirnya itu hanyalah sebuah skenario yang tidak terjadi. Tekhnologi di zaman ini belum terlalu modern, baru ada telepon umum yang menggunakan koin, sedangkan ponsel belum populer karena harga kartu perdananya lebih mahal dengan handpone second. Walaupun Arjuno tercantum sebagai nama asli di Kartu Tanda Penduduk tetapi bukanlah wajah tampan rupawan yang melekat di wajahnya, padahal itu adalah nama tokoh yang terkenal dalam dunia perwayangan. Justru yang ada adalah kebalikan dari sosok itu,  jungkir balik sampai 360 derajat. Sebenarnya terpetik rasa heran dalam benaknya mengapa kedua orang tuanya sampai memberikan nama ini. Mungkinkah mereka berharap suatu saat nanti wajahnya berubah tampan seperti Arjuna Wiwaha yang asli? Tetapi Arjuna yang asli seperti apa ya wajahnya? Pemuda beralis tebal itu dilahirkan dalam keadaan normal dan tidak kurang suatu apapun. Bahkan diberikan karunia dengan beberapa kelebihan, salah satunya adalah warna kulit yang agak gelap dan eksotis. Walaupun dalam bahasa kampung di mana dia tinggal istilah itu artinya adalah item buluk. “Kulit item itu bukan kekurangan tapi sebuah kelebihan, Jun. Walaupun itu adalah kelebihan pigmen kulit,” ujar salah satu teman pemuda itu. Temannya selalu tergelak bahagia saat mengucapkan kalimat itu, sedangkan Arjuno terpukul sambil meratapi nasib. Hampir senada dengan yang dikatakan oleh sahabatnya itu, kata seorang rekan kerjanya yang suka sekali terbenam di kertas-kertas HVS di pojok kantornya, dia bilang Arjuno unik dan barang langka. Dia pikir Arjuno penghuni museum kali dibilang seperti itu? Sudahlah tidak penting pemuda itu terlihat seperti apa. Seorang manusia gosong karena kelebihan pigmen kulit ataupun makhluk langka yang layak disimpan di museum. Satu hal yang pasti adalah hidup Arjuno lengkap. Ada bahagia, sedih, tawa dan canda juga air mata. Tetapi ada yang kurang dari dirinya, dia mempunyai track record asmara yang suram. Arjuno adalah anak pertama dari sebuah keluarga besar. Dia mempunyai enam adik, lima orang perempuan dan adik laki-laki sebagai bungsu, sebuah keluarga yang besar sekali. Bekerja, kata itulah yang tebersit dalam benaknya saat menerima surat kelulusan dari sebuah SMA. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya bekerja setelah lulus sekolah, walaupun hanya lulusan sekolah menengah. Waktu itu tolok ukur keberhasilan seseorang adalah bekerja setelah lulus sekolah. Bukan hanya orang tua Arjuno saja yang demikian, mungkin hampir sebagian besar masyarakat demikian. Arjuno pun terbawa arus, dia akhirnya mengikuti arus yang sudah mengalir sejak dulu yaitu mencari kerja setelah lulus SMA. Mungkin dengan bekerja dia bisa bantu-bantu Baba, minimal mencari uang jajan untuk dirinya sendiri. Kesimpulan pertama yang didapatkannya saat melanglang buana mencari kerja adalah ternyata mencari pekerjaan itu seperti mencari jodoh, berdasarkan untung-untungan dan gampang-gampang susah. Walaupun secara pribadi dia belum pernah mencari jodoh, kira-kira seperti itulah susahnya.   Setelah banyak map berwarna cokelat dilayangkan ke sana- ke sini, akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik roti kelas berlogo seekor bebek putih, Roti Bebek namanya. Lokasi pabriknya berbeda kecamatan dengan tempat tinggalnya, ada dua cara untuk sampai ke sana, menggunakan angkutan umum atau motor. Awal masuk ke sana bukan karena surat lamaran yang disampaikan, berpuluh-puluh amplop cokelat itu tidak sampai ke Pabrik Roti Bebek ini. Arjuno masuk berdasarkan rekomendasi adik pertamanya yang sudah duluan menjadi karyawan di sana yang sudah bekerja di bagian pastry. Mungkin jika saudara kandungnya itu belum kerja di sana akan susah untuk masuknya. Rekrutmen karyawan baru di pabrik tersebut  berdasarkan rekomendasi dari karyawannya, jadi yang masuk ke sana adalah saudara-saudara dari karyawannya, kakak, adik, sepupu, mamang, bibi, kakek, nenek, tetangga-tetangganya. Akhirnya dengan wawancara berdurasi kurang dari satu jam oleh perempuan berbadan gempal dari bagian HRD. Dia sempat duduk agak miring berusaha menyembunyikan bekas lubang tindikan di telinga kirinya, khawatir sisa-sisa kenakalannya saat masih sekolah menghalanginya untuk meniti langkah baru. Arjuno diterima bekerja di sana dan ditempatkan di bagian distribusi sebagai sales malam dengan berstatus karyawan kontrak. Sebenarnya istilah sales malam kurang cocok untuk pekerjaan barunya itu, karena biasanya istilah sales itu identik dengan orang yang menawarkan barang-barang langsung kepada konsumen. Sedangkan istilah sales malam di pabrik Roti Bebek ini kerjanya adalah mengantarkan roti ke agen-agen di malam hari, bersama dengan seorang sopir dengan mobil box. Mungkin istilah yang lebih cocok adalah asisten sopir atau biasanya disebut kenek. Apapun istilah yang digunakan oleh pabrik itu yang penting sekarang adalah Arjuno sudah bekerja, berarti dia bisa mengganti pekerjaan di KTP-nya dari pengangguran menjadi karyawan. Adalah sebuah kelaziman jika pertama kali bekerja yang ada adalah rasa canggung dan bingung apa yang akan dilakukan. Pemuda itupun mengalaminya saat itu, dia beruntung atasannya membimbing dengan detil apa yang harus dilakukan di hari pertama kerja itu. A’ Iwan adalah nama atasannya di bagian distribusi, laki-laki berkulit putih itu yang membawahi dan mempertanggungjawabkan pekerjaan semua sales malam. Kata ‘A’ yang ada di depan namanya adalah panggilan khas untuk laki-laki sunda, singkatan dari kata A’a. Dia berasal dari Kota Kembang yang tentu saja berbahasa Sunda. Laki-laki bertinggi rata-rata itu mengenalkan kepada Arjuno nama roti satu persatu, mulai dari jenis-jenis roti tawar, roti manis dan pastry. Selain itu dia juga mengajarkan bagaimana cara mengecek pesanan agen di jalur yang akan menjadi tanggung jawabnya nanti. Hari pertama kerja itu benar-benar sesuatu yang baru untuk Arjuno, sebelumnya dia tidak pernah terbayang akan bekerja seperti yang sekarang dialaminya. Pemuda introvert ini berusaha menyembunyikan rasa malunya di lingkungan baru yang kadang hadir tanpa diminta. Malam itu Arjuno langsung praktek menjadi sales malam, dia diikutkan dengan sales jalur Bekasi untuk latihan dan dibimbing langsung di lapangan. Sebagai sales unyu dan innocent  yang belum tahu apa-apa, hal yang dilakukan olehnya adalah menganggukkan kepalanya saat mendapatkan penjelasan cara kerja seorang sales malam. Dia memperhatikan dengan rinci semua yang dilakukan oleh seniornya, mulai dari loading roti pesanan agen dari floor lalu menyusunnya di mobil box dan menurunkannya di agen, pemuda itu juga mengamati cara sales Jalur Bekasi itu mencari uang sampingan untuk alakadar tambahan uang jajan atau rokok. Setelah dinilai mampu oleh A’ Iwan, pada malam keempat Arjuno dipercaya untuk mempertanggungjawabkan jalur Bandung 2. Partner kerja pemuda itu adalah seorang driver senior bernama Husni tapi biasanya dia dipanggil si Aki oleh teman-teman seprofesinya di pabrik. Si Aki sudah lama malang melintang di belantika driver indonesia, kulitnya berwarna cokelat gelap dengan tinggi badan di bawah rata-rata. Jika dilihat dari belakang dia masih terlihat imut seperti anak SD. Jalur Bandung di bagi dua dengan pemberian kode angka di belakangnya. Jalur Bandung 1 langsung menuju agen-agen yang ada di Bandung, sedangkan jalur Bandung 2 mampir dulu ke agen Robby yang ada di daerah Sukabumi. Untuk jalur yang lumayan jauh ini menggunakan mobil double box yang tentu saja isinya lebih banyak dari mobil-mobil box jalur dalam kota. Awalnya Arjuno merasa senang sekali karena mendapatkan jalur ini karena dia bisa ke Bandung setiap hari. Walaupun dia secara defacto adalah warga Bogor yang merupakan bagian dari Bandung tetapi ke Kota kembang ini adalah sesuatu yang mengagumkan karena memang baru sekali ke sana waktu kelas akhir di SMA. Arjuno adalah seorang anak rumahan, dia tidak pernah pergi jauh dari rumah apalagi sampai keluar kota. Sekarang dia bisa keluar kota terus dengan dua hari kerja satu hari off, dalam seminggu jadwal ke luar kota adalah empat hari.  What A Lovely Trip! Walaupun sebenarnya ada juga tidak enaknya Jalur Bandung ini karena mengirim rotinya pada malam hari. Disaat orang-orang sedang berenang di lautan iler, Arjuno malah kelayapan di Bandung. Dikarenakan jarak tempuhnya yang jauh, Jalur Bandung 1 dan 2 harus berangkat paling awal dari jalur dalam kota. Produksi roti diprioritaskan untuk kedua jalur ini dulu supaya bisa berangkat cepat. Paling lambat sekali jam setengah delapan malam harus sudah jalan. Jalur Bandung harus berangkat paling awal dan terpaksa pulang paling terakhir, kadang jam sebelas siang baru rapi di pabrik. Teman-teman sales jalur dalam kota jam enam pagi sudah ada yang sampai ke rumahnya, membuat iri Arjuno saja. Sangat berbeda jauh jam kerja miliknya dengan yang lain, lebih lama tetapi gajinya sama saja. Kemaren HRD bilang saat wawancara gaji sales malam itu kecil. Sekecil apa? Bisakah dia bertahan bekerja di pabrik Roti Bebek ini jika gajinya ternyata tidak cukup? Ternyata jalur Bandung tidak se-oke yang ada di benak Arjuno pada awalnya, membosankan dan membuat bete. Tetapi mungkin akan berbeda jika berangkat ke sananya pada siang hari, akan banyak pemandangan menarik di sepanjang jalan yang bisa jadi hiburan pengobat kantuk. Saat mengirim roti pemuda itu lebih sering tidur di bangku mobil dari pada menemani sopir bekerja memegang stir, matanya lebih sering melekat rapat terlebih saat malam kedua. Dalam hitungan bulan akhirnya Arjuno kehilangan semangat kerja. Rasa bete dan bosan akhirnya menyebabkan dia sering tidak masuk kerja. Selalu saja ada alasan untuk tidak masuk gara-gara rasa malas ini, walaupun alasan yang sengaja dibuat-buat. Asam lambung adalah alasan yang biasanya selalu  digunakan oleh Arjuno saat dipanggil oleh Pak Sabar, Supervisor sales malam. Sebenarnya waktu itu dia tidak tahu asam lambung itu sakit apa sebenarnya, cuma sesekali telinganya mendengar iklan di radio. Apakah mungkin asam lambung disebabkan karena terlalu sering konsumsi sayur asam? Atau dikarenakan sering mencium ketek yang asam? Dikarenakan sering tidak masuk kerja, ditambah lagi karena jalur Bandung sangat riskan karena jarak tempuhnya yang jauh, akhirnya Arjuno digantikan oleh seorang sales baru. Dia dipindahkan ke jalur dalam kota yaitu jalur Tangerang. Yeeey! Akhirnya setelah beberapa bulan berkelana di kampung orang saat malam, Arjuno dipindahkan dari Jalur Bandung pindah ke jalur dalam kota yaitu Jalur Tangerang.  Di jalur sebelumnya pemuda itu sudah tidak dipercaya lagi karena penyakit yang disebabkan sering mencium ketek yang asam. Area pengiriman Jalur Tangerang ini meliputi Jombang, Ciledug, Tanah Tinggi dan sekitarnya. Jalur ini sangat santai kerjanya di bandingkan dengan Jalur Bandung bahkan dengan jalur dalam kota lainnya. Arjuno datang jam tujuh malam untuk sekadar checklock absen di ruang distribusi, sedangkan berangkat mengirimkan order agen paling terakhir. Biasanya jalur ini paling cepat jam sebelas malam baru berangkat dan paling telat jam lima pagi sudah kembali lagi ke pabrik roti. Jam kerja yang singkat sekali, hanya beberapa jam di luar dan kembali lagi menghirup aroma pabrik yang khas. Datang tepat waktu dan berangkat paling terakhir ternyata tidak enak, malah membuat timbul sebuah perasaan bosan, terlebih setelah teman-teman sales malam sudah berangkat ke jalur pengirimannya masing-masing. Tersisa pemuda item buluk itu sendirian menunggu roti pesanan ready untuk Jalur Tangerang seraya bengong b**o. Untuk mengusir segala rasa yang datang menyiksanya, pemuda itu mengerjakan banyak hal seperti mengobrol dengan siapapun yang ditemuinya, mulai dari karyawan produksi, satpam, sopir, basket roti bahkan Miss Kunti. Hal lain yang dilakukannya adalah menikmati kopi, menggali upil dari lubang hidungnya dan memetik teh. Aneh, seaneh pemuda itu. Genap sepekan menjadi sales jalur Tangerang, Arjuno mempunyai kebiasaan baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya yaitu nongkrong di warung si Teteh, menikmati kopi hitam Cap Teko sambil  menggali harta karun di hidungnya. Kopi hitam ini khas karena tidak semua daerah ada yang menjual kopi bermerk ini. Kopinya kental dan tentu saja murah meriah, sesuai dengan kondisi kantong sales malam yang tak bersayap seperti Arjuno. Arjuno tidak tahu siapa sebenarnya nama si Teteh pemilik warung itu. Perempuan berbadan kurus itu tidak pernah memperkenalkan dirinya kepada pemuda itu apalagi sampai menunjukkan KTP-nya.  Dia pun tidak sempat melakukan razia dokumen kependudukannya saat di warung si Teteh. “Jun, ikut enggak, Lo?” Terdengar suara dari luar warung di mana Arjuno sedang bengong b**o, ternyata itu adalah suara Bang Ucrit, sopir antar jemput karyawan pabrik Roti Bebek. Suaranya yang terdengar seperti sebuah teriakan telah berhasil membuyarkan khayal pemuda itu. Padahal dia sedang asyik bermain salju di Jerman dengan Chelsea Islan.  “Mengapa teriak begitu ente, Bang? Emang gue b***k?” Arjuno tersungut dalam hatinya.  “Cuma b***k sedikit doang padahal.” Pemuda itu mengernyitkan dahinya, sejenak dia berpikir. Apakah tadi Bang Ucrit sebenarnya sudah memanggil dan dia tidak mendengar? Jadi intonasi suaranya menjadi agak tinggi seperti itu. Laki-laki bertubuh kurus dengan tinggi rata-rata itu belum lama menjadi sopir antar jemput, dia menggantikan driver sebelumnya yang resign. Bang Ucrit usianya kepala empat lebih, dia mempunyai hobi yang aneh yaitu meracuni dirinya dengan nikotin. “Ikut ke mana, Bang?” Arjuno memandang laki-laki yang berusia jauh di atasnya itu dengan tanda tanya. Akhirnya Bang Ucrit telah berhasil menarik paksa pemuda itu kembali dari alam khayalnya ke dunia nyata. “Nganter pulang anak produksi, Jun,” ujarnya sambil mengepulkan asap dari kedua lubang hitungnya. “Nganter pulang anak produksi?” Arjuno mengulang kalimat yang diucapkan Bnag Uchi tadi, bukan disebabkan dia latah tetapi karena tidak mengerti apa yang maksud dari ucapan sopir antar jemput itu. “Iya, Jun. Temani gue nganter anak produksi pulang, yuk. Enak kayaknya kalau ada teman yang menemani ngobrol.” Bang Ucrit kini mengepulkan asap lewat mulut selain dari hidungnya. Pemuda berkulit hitam buluk itu menelan ludah melihat pemandangan di depannya. Ya Allah, ini orang menebar racun kemana-mana, bukankah katanya perokok pasif itu lebih rentan daripada perokok aktif? Arjuno adalah perokok pasif berarti lebih beresiko dibandingkan dengan laki-laki di depannya. Istilah perokok pasif untuk mereka yang tidak merokok tidaklah tepat karena sebenarnya mereka itu tridaklah menghisap benda itu. Mengapa tidak menggunakan istilah ‘bukan perokok’ saja? “Nganter pulangnya ke mana, Bang?” Pemuda itu berusaha mengabaikan asap rokok laki-laki kurus yang mulai membumbung ke angkasa itu. “Ke Rawa Kalong, Viktor, Gunung Sindur, Jampang Bugel terus ke Cogreg,” katanya. Arjuno mengerutkan dahi saat mendengar nama-nama tempat yang disebutkan oleh sopir antar jemput itu. Banyak tempat yang belum pernah dikunjunginya, seperti Rawa Kalong, Viktor dan Jampang Bugel. Jampang Bugel, nama ini malah baru menyapa telinganya, sebelumnya belum pernah mendengar sama sekali. Andaikan waktu itu sudah ada google maps pasti langsung di-search oleh pemuda itu. Tekhnologi saat itu belum seperti sekarang yang sudah serba google. Untuk menghilangkan rasa penasaran di manakah letak dari nama tempat itu dia harus ikut Bang Ucrit mengantar karyawan pulang. Ternyata rasa penasaran di mana lokasi dari Jampang Bugel membuatnya harus rela dibanting kanan dan kiri. Kepalanya terantuk body mobil berkali-kali karena harus rela duduk bersama anak produksi di dalam mobil carry box. Apakah tidak ada kendaraan yang lebih layak dari perusahaan untuk menghargai mereka selain mobil carry box yang luar biasa ini? Padahal mereka telah merelakan tubuh mereka bersimbah keringat. Bahkan mereka yang masuk shift dua harus memaksakan matanya untuk tetap terjaga, demi perusahaan yang telah menggajinya jauh dari kata layak. Setelah mengantarkan karyawan-karyawan produksi ke rumah masing-masing di daerah Rawa Kalong dan Viktor, mobil meluncur ke daerah Gunung Sindur melewati jalan yang tembus di g**g Betet. Di dalam box kini tersisa tiga orang, pemuda itu dan dua orang gadis muda karyawan bagian produksi roti manis, Yulia dan Tati. Sebuah perempatan menantikan mereka, jika ambil kanan dari sana akan menuju ke BSD dan kirinya menuju ke arah Bogor yang akan meintasi kampung tempat tinggal Arjuno sebelumnya. Lurus dari sana akan menuju Gunung Sindur. Jalan yang hancur di sana-sini mulai menyapa empat buah ban mobil yang sudah agak botak, membuat bantingan semakin luar biasa di dalam box. Kampung Gunung Sindur atas dan bawah sudah terlewati beberapa menit lalu, mobil box terus menyusuri jalan-jalan hancur yang tidak bersahabat. Setelah kepala pemuda itu bonyok di banyak sisi karena kepentok besi mobil box terus menerus akhirnya mobil berhenti di sebuah tempat sepi. Arjuno turun mengikuti kedua gadis itu, matanya tak sengaja melihat sebuah jembatan besar yang melintang di atas sungai besar. Pemuda itu menduga sungai itu adalah Sungai Cisadane. Mungkin tempat itulah yang disebut dengan Jampang Bugel atau mungkin tempat lain? Dia memutuskan untuk bertanya ke Bang Ucrit setelahnya. Ini adalah lokasi terujung antar jemput jemput karyawan pabrik. Penumpang di dalam box sudah turun semua, berarti dia bisa duduk di depan bersama dengan Bang Uchi.  Pemuda itu melangkah mendekat, ternyata di sana masih tersisa  satu orang perempuan ber-sweater biru yang duduk di samping driver. Arjuno menduga dia turun paling terakhir nanti, kedua matanya sekilas merayapi wajah gadis cantik itu. Dia tersenyum ke arah pemuda itu. Alamak! Pemuda itu tiba-tiba merasakan degupan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada apakah ini? Gadis berjilbab senada dengan sweater-nya itu membukakan pintu mobil supaya Arjuno bisa bergabung dengannya dan Bang Uchi, dengan menafikan perasaan yang dirasakannya pemuda itu masuk dan duduk di samping gadis itu. “Tetangga lo ‘ni, Jun,” ujar Bang Ucrit saat pemuda itu baru saja menutup pintu mobil yang harus dibanting saat melakukannya. Sopir berkepala empat itu secara tidak langsung mengenalkan dirinya dengan sosok yang ada di samping kirinya. “Tetangga gue? Memangnya dia tinggal di mana, Bang?” Arjuno malah berbalik bertanya sambil menoleh ke arahnya. “Mengapa malah balik bertanya ke gue? Tanya saja sama si Jenongnya langsung.” Laki-laki kurus itu terkekeh setelah menjawab pertanyaan Arjuno. Et dah, dasar Aki-aki. Pemuda itu menggerutu dalam hatinya. Gadis berjilbab biru itu ternyata panggilannya adalah Jenong, dia tersenyum mendengarkan percakapan premature antara dua laki-laki di sisi kanan dan kirinya. Arjuno menghela napas panjang, payah Bang Ucrit enggak asyik. Pemuda itu paham sekali kelemahannya, dia tidak bisa memulai pembicaraan dengan seseorang, apalagi jika yang diajaknya bicara adalah perempuan. Sifat introvert-nya sangat menguasai dirin jadi agak susah jika berinteraksi dengan hal-hal baru. “Gue di Jalan Anyar, Jun,” ujar perempuan itu sambil menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Ternyata gadis itu sudah mengetahui ketidak beranian Arjuno untuk memulai pembicaraan dengannya lebih dulu, jadi dia memutuskan untuk menjawab sebelum ditanya. “Oh iya, kita tetangga ya,” kata Arjuno sambil tersenyum kecil. “Memangnya lo tinggal di mana, Jun?” “Gue di Kampung Kandang.” “Banyak kandang dong di sana?” kata gadis itu sambil tertawa. Joke ringan gadis itu membuat Arjuno  mengerutkan dahi sambil menelan ludah. Dia tidak tahu mau menanggapinya dengan kalimat yang seperti apa dan bagaimana. Pemuda itu berdialog dengan dirinya sendiri, entah siapa dulu yang memberikan nama Kampung Kandang pertama kali dulu? Andai saja dia yang diminta memberikan nama pastilah nama-nama yang keren, misalnya Kampung Gaul, Kampung Keren, Kampung Ganteng, Kampung Tangguh atau apalah pokoknya asal jangan Kampung Kandang. Arjuno teringat saat melihat gadis ini pertama kali di lingkungan pabrik, dia adalah cewek yang digoda Syahronie hari sebelumnya, namanya adalah Shopia, dia biasa dipanggil Jenong oleh teman-temannya. Belum jelas alasan mengapa dia dipanggil dengan nama itu. Apakah mungkin di balik penutup bagian kepalanya itu  ada jidat selebar lapangan bola Senayan. Menurut Syahronie, sohib kental Arjuno di pabrik, Shopia ini adalah seorang cewek matre. Meskipun tidak ada hubungannya antara jidat jenong Shopia dengan sifatnya yang suka memanfaatkan uang laki-laki. Jalan menuju rumah Shopia dari arah perempatan Pasar Perumpung itu sungguh sangat luar biasa. Walaupun bertetangga kampung dengannya, Arjuno tidak pernah berangkat atau pulang kerja lewat sana, dia selalu mengambil jalan lewat Pasar Parung. Jalan raya yang dilewati sangat menegangkan, rasanya seperti berpetualang ke negeri antah berantah. Jalan aspal yang rusak,  dengan lubang besar dan dalam. Bila hujan mengguyur sudah pasti digenangi air lubang-lubang berbahaya itu. Pemuda itu sempat mencurigai ada buaya yang sengaja tinggal di sana menunggu mangsa lewat. Alhamdulillah, jalan eksotis nan menggoda iman itu kini sudah tidak bisa ditemukan lagi karena sudah tergantikan dengan jalan cor. Berdasarkan penuturan Bang Ucrit tadi, mobil box ini memang selalu digunakan untuk antar jemput karyawan pabrik roti. Mereka yang kebetulan masuk shift dua sehingga harus pulang malam atau yang masuk shift tiga sehingga harus masuk pagi dini hari pasti menggunakan jasa mobil ini. Bagaimana kondisi karyawan pabrik yang ikut antar jemput mobil ini? Panas? Iyalah. Tidak nyaman? Pasti. Biasanya karyawan yang menggunakan antar jemput adalah mereka yang rumahnya di pedalaman kampung,  juga tidak adanya kendaraan bermotor yang bisa digunakan. Terlebih akses menuju pabrik saat malam tidak ada angkot yang lewat. Mobil box ini adalah selain mobil favorit juga seperti dewa penolong  bagi karyawan bagian produksi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD