bc

FF WenGao

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
family
kickass heroine
independent
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
bxb
lighthearted
kicking
bold
brilliant
city
office/work place
ABO
childhood crush
poor to rich
friends with benefits
like
intro-logo
Blurb

Kumpulan cerita Fanfiction Second couple Desire4 yang menceritakan Shen Wenlang dan Gao Tu dengan mode OOC dan berbeda dengan cerita aslinya. Salah satunya akan ada cerita tentang kerajaan juga okay ditunggu dan nantikan...

chap-preview
Free preview
1. Aroma Kopi
Pagi di distrik Cheng’an selalu dimulai dengan aroma roti panggang, suara klakson motor, dan teriakan tukang s**u yang sudah hafal nama pelanggan tetapnya. Tapi di antara semua itu, satu suara paling nyaring berasal dari unit kecil di lantai tiga apartemen murah, di mana seorang bayi mungil menjerit minta perhatian. “Lele! Aduh, Papa baru aja cuci tangan!” Gao Tu mengeluh sambil berlari kecil dari dapur ke kamar, masih memakai celemek bergambar kucing. Rambut cokelat gelapnya berantakan, mata panda di bawah matanya jelas menunjukkan bahwa semalam ia tidak tidur nyenyak lagi. Di ranjang kecil dengan sprei motif awan, Gao Lele menatapnya dengan mata bulat bening. Begitu Gao Tu mengangkatnya, tangisnya berhenti seketika. Bayi itu menggumam manja, tangannya mencengkeram kemeja ayahnya, lalu tertawa kecil. “Cerdas banget, ya, tahu gimana caranya bikin Papa panik dulu baru senyum.” Gao Tu mencubit hidung kecil itu gemas. “Kamu benar-benar Alpha kecil yang egois seperti—” Dia berhenti. Nama itu tidak pernah disebut lagi sejak hari itu. Sejak malam di mana feromon asing menguasai tubuhnya, sejak kehamilan tak terduga itu mengubah seluruh hidupnya. Tiga tahun sudah. Dan Gao Tu bertahan. Bukan karena keberuntungan, tapi karena cinta yang berisik dan ceroboh seperti tawa Lele. Hari ini, ia harus buka toko lebih cepat. “Lele, Papa kerja dulu, ya. Jangan tumpahkan s**u kayak kemarin.” Ia menyiapkan botol kecil, lalu mengayunkan Lele di kursi bayi. Anak itu tertawa-tawa, menyaksikan ayahnya berlarian mencari dompet, kunci, dan jaket yang entah di mana. Apartemennya kecil tapi penuh warna. Ada mainan bekas, lukisan tangan di dinding (hasil Lele), dan rak penuh buku parenting yang separuhnya dibeli diskon online. Gao Tu suka hidupnya begini. Sederhana, tapi penuh. Sampai seseorang datang ke tokonya hari itu. Kafe kecil itu bernama Cuppa Tu, gabungan dari “cup” dan “Tu” — sederhana tapi punya pelanggan setia dari mahasiswa hingga pekerja kantoran. Gao Tu bekerja di situ sebagai barista sekaligus pemilik kecil yang bermitra dengan tetangganya. Pagi itu sibuk seperti biasa, sampai pintu terbuka dan bunyi lonceng kecil di atasnya berdenting lembut. Masuklah seorang pria tinggi berjaket hitam, rambutnya rapi, aromanya... tenang. Netral. Beta — pikir Gao Tu cepat. Pria itu tampak kaku, langkahnya ragu. Ia membaca papan menu terlalu lama, lalu akhirnya mendekat ke kasir. “Satu... apa yang paling tidak pahit?” suaranya datar tapi berat, seperti orang yang berusaha sopan. Gao Tu tersenyum ramah, kebiasaannya sebagai barista langsung aktif. “Kalau begitu caramel latte, extra milk. Mau dingin atau panas?” “Dingin.” “Nama untuk pesanan?” Pria itu diam sejenak. “…Shen.” Gao Tu menulis cepat. “Oke, Shen, duduk dulu aja ya. Aku antar.” Saat Gao Tu menyiapkan minuman, tatapan pria itu terus mengikuti gerakannya — bukan dengan niat aneh, tapi seperti sedang menganalisis. Ada sesuatu dalam cara Gao Tu menyapu rambutnya ke belakang, cara tubuhnya bergerak dengan luwes, feromon lembut yang samar tapi menenangkan. Shen Wenlang mengerutkan dahi. Hidungnya seolah menangkap aroma samar yang tak asing. Aroma soulmate. Namun itu tidak mungkin. Ia Beta di mata semua orang — bahkan terdaftar secara hukum. Tapi tubuhnya menolak realitas itu. Ia Alpha berkedok Beta, hasil percobaan genetik yang gagal dari laboratorium lama milik ayahnya. Dan sejak kecil, ia kehilangan tanda takdirnya, tanda yang seharusnya menghubungkan dia dengan pasangan sejatinya. Namun aroma di udara itu… lembut, manis, menenangkan — seperti mimpi yang seharusnya ia lupakan. “Ini caramel lattenya,” suara Gao Tu membuyarkan lamunannya. Wenlang mendongak, menerima gelas kertas dengan kedua tangan. “Terima kasih,” katanya singkat. Mereka saling pandang sepersekian detik. Entah kenapa, di balik senyum polos barista itu, Wenlang merasa detak jantungnya tak wajar. Feromon di dalam dirinya bergetar seperti disadap. Sial. Ini tidak bisa terjadi. Ia buru-buru menyesap kopi — dan menyesal karena terlalu panas. “Ah—” “Kamu gak apa-apa?” Gao Tu reflek mencondongkan badan, wajahnya khawatir. “Tuh kan, harusnya aku tawarin es aja!” Wenlang menunduk, merasa telinganya memanas. “Aku baik-baik saja.” Namun matanya sempat menangkap sesuatu di balik apron Gao Tu — sebuah kalung kecil berbentuk cincin. Bukan cincin biasa, tapi cincin feromon. Dan di dalamnya… residu aroma yang sangat, sangat mirip dengan dirinya sendiri. Dadanya menegang. Apakah dia... orang itu? Setelah pelanggan lain pergi, Wenlang pura-pura menulis laporan di laptop, padahal matanya mengintai barista itu yang sedang bermain video bayi di ponsel. Di layar, bayi kecil tertawa— dan wajahnya… Astaga. “Itu Lele,” kata Gao Tu tanpa sadar, melihat arah pandang pria itu. “Anakku.” Wenlang membeku. “Anakmu…?” “Um, iya. Tiga tahun. Lucu ya? Kadang nyebelin juga, tapi ya gitu deh, dunia kecilku.” Ia tersenyum lembut. Wenlang menatap layar. Bayi itu memiliki mata abu-abu kehijauan. Sama persis dengan dirinya. Dan bibir bawah yang sedikit melengkung saat tertawa — ciri khasnya. Tidak mungkin. Kepalanya mendadak panas. Hari itu, ia kembali ke kantor dengan kepala penuh tanda tanya. Sebagai peneliti genetik di Institusi Biotek Huayin, ia tahu probabilitas, DNA, dan hal-hal yang bisa dijelaskan logika. Tapi tidak dengan ini. “Shen, kamu kelihatan kacau,” ujar rekan kerjanya, Hua Yong, sambil melempar file. “Malamnya begadang lagi?” “Tidak.” “Jangan bilang kamu jatuh cinta sama barista lagi.” Shen Wenlang menatap temannya datar. “Kali ini berbeda.” “Oh, Tuhan.” Hua Yong mengangkat alis. “Kamu ngomong kayak pemeran drama Omega-romance yang denial.” Namun begitu mendengar kalimat itu, Wenlang justru terdiam. Denial. Mungkin memang itu kata yang tepat. Sementara itu di rumah, Gao Tu sibuk menidurkan Lele yang akhirnya tertidur di pelukannya. Ia menatap wajah anak itu, tersenyum lembut. “Lele, kamu mirip seseorang, tahu gak?” katanya pelan, meski tidak ada yang menjawab. Ia tidak tahu siapa Alpha itu — wajahnya kabur, suaranya tenggelam di antara kabut malam waktu rut misterius itu terjadi tiga tahun lalu. Yang ia tahu hanya satu: ia tidak menyesal. Lele adalah segalanya. Namun, beberapa minggu belakangan, seorang pelanggan Beta yang kikuk terus datang setiap pagi dan sore, dengan alasan “kopinya enak” tapi selalu salah pesan dan kelihatan canggung setiap melihat Lele. Dan entah kenapa, setiap kali pria itu tersenyum, Gao Tu merasa ada sesuatu di dadanya yang bergetar lembut. Sesuatu yang hangat dan menakutkan sekaligus. Sore itu, hujan turun deras. Kafe sudah hampir tutup ketika pintu terbuka dan suara lonceng berdenting lagi. Shen Wenlang berdiri di ambang pintu, sedikit basah, dengan senyum kikuk. “Maaf, aku telat. Aku cuma… pengen beli kopi sore ini,” katanya, meski jelas-jelas hanya dia pelanggan terakhir. Gao Tu tertawa kecil. “Kamu pelanggan paling rajin yang pernah aku punya.” “Mungkin karena baristanya terlalu ramah,” jawab Wenlang, dan wajah Gao Tu langsung memerah. Ada jeda canggung setelah itu. Hujan di luar menetes pelan, dan suasana hangat kafe itu seolah mengunci mereka dalam dunia kecil sendiri. “Tu,” kata Wenlang akhirnya. “Ya?” “Kamu percaya takdir?” Gao Tu berpikir sebentar. “Percaya. Tapi aku lebih percaya kalau takdir suka bercanda.” “Bercanda?” “Iya, kayak kasih kamu seseorang yang cocok, tapi di waktu yang salah.” Wenlang menatapnya lama. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin menjadi orang yang tidak logis. Di luar, hujan berhenti perlahan. Di dalam, dua orang — satu dengan rahasia besar, satu dengan masa lalu yang ingin dilupakan — sama-sama tidak sadar bahwa takdir mereka memang sedang bercanda. Dan tawa kecil Lele dari rekaman video di meja kasir menjadi satu-satunya suara yang menutup sore itu. Hari Minggu biasanya berarti “hari cuci besar” di apartemen Blok C, tapi bagi Gao Tu itu berarti “hari kejar cucian yang tidak pernah selesai.” Ia berputar di antara ember, jemuran, dan Lele yang berlarian sambil menyeret boneka beruang. “Lele, jangan injak baju Papa!” Anak itu tertawa terbahak, lalu malah menginjak lebih dalam. “Lele bantu Papa!” katanya dengan suara cempreng. “Bantu rusak, iya.” Gao Tu menyerah, memeluk anaknya lalu menjatuhkan diri di sofa dengan tawa kecil. Hujan tipis turun di luar, dan dunia terasa damai untuk sesaat. Sampai bel berbunyi tiga kali. Drrt — Drrt — Drrt. “Eh? Siapa pagi-pagi gini?” Gao Tu bersungut, masih memakai kaus rumah longgar. Ia membuka pintu… dan di sana berdiri Shen Wenlang, membawa tas belanja besar. “Pagi.” Suaranya datar tapi matanya canggung. “Aku eh… ini…” Ia mengangkat tas. “Belanjaan.” Gao Tu mengerutkan kening. “Belanjaan?” “Untukmu,” jawabnya cepat, seolah sedang mempresentasikan laporan ilmiah. “Aku pikir… kamu sibuk. Jadi aku beli beberapa kebutuhan dasar. Popok, s**u, dan—” Lele berlari dari dalam, langsung menubruk kaki Wenlang. “Papa!!” Hening. Gao Tu beku di tempat. Shen Wenlang juga. Sampai Lele menarik celananya dengan wajah polos. “Papa bawain s**u?” Wenlang mematung beberapa detik, lalu mengangguk kikuk. “Iya. Papa— maksudku — aku — iya, bawa.” Gao Tu menutup wajahnya. “Ya Tuhan, Lele, itu Om Beta, bukan Papa!” Tapi Lele sudah mengambil bungkusan s**u dari tas belanja dan berlari masuk sambil tertawa. Wenlang menatap Gao Tu, telinganya memerah. “Sepertinya… dia suka aku.” Gao Tu mendesah. “Dia suka semua orang yang bawain susu.” Namun di balik kekesalan kecilnya, Gao Tu tidak bisa menahan tawa. Pria ini, dengan caranya yang kikuk dan serius, selalu muncul dengan waktu paling tak terduga. Setelah dipersilakan masuk, Wenlang memperhatikan ruangan kecil itu. Ada aroma hangat s**u, dinding penuh coretan, dan mainan berserakan. Tidak ada kemewahan, tapi semuanya terasa hidup. “Maaf berantakan,” kata Gao Tu sambil membereskan tumpukan baju. “Tidak masalah.” “Kamu… datang ke sini cuma buat antar belanjaan?” “Juga ingin tahu kabarmu,” jawab Wenlang tanpa sadar, lalu buru-burut menambahkan, “Sebagai pelanggan tetap.” Gao Tu menatapnya curiga. “Pelanggan tetap yang tahu alamat rumah baristanya?” “Uh…” Wenlang hampir tersedak udara. “Aku— dapat dari nota pengantaran online.” “Hmm.” Gao Tu menatapnya lama sebelum tertawa. “Baiklah, Beta yang penasaran. Duduk dulu, aku buat teh.” Wenlang duduk dengan posisi tegang, takut menyentuh apapun. Lele memanjat ke pangkuannya tanpa izin dan mulai memainkan jam tangannya. “Om, ini apa?” “Itu alat pengukur detak jantung.” “Boleh pencet?” “Tidak—” beep-beep. Wenlang kaget, jamnya langsung memancarkan data detak jantung 130 bpm. Gao Tu menoleh dari dapur. “Kok jamnya bunyi?” “Biasa. Fungsi kesehatan,” jawab Wenlang cepat sambil menatap layar yang jelas menunjukkan ‘stress level: high’. Saat teh disajikan, suasana mulai menghangat. Mereka bicara hal ringan—cuaca, kafe, bahkan resep bubur bayi. Gao Tu tidak sadar bahwa setiap kata keluar dari bibirnya, Wenlang menatap dengan senyum samar yang jarang muncul. “Lele pasti capek banget kamu urus sendirian,” ujar Wenlang. “Sudah biasa. Awalnya sulit, tapi sekarang dia alasan aku bangun tiap pagi.” “Kamu kuat.” “Bukan kuat, cuma… gak punya pilihan lain.” Wenlang terdiam. Ada sesuatu dalam nada kalimat itu yang menohoknya. Ia ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar malah, “Kalau aku bilang… kamu tidak sendiri, apa kamu percaya?” Gao Tu menatapnya, kebingungan. Sebelum ia sempat menjawab, suara tumpahan cairan memotong momen itu. Sploosh! Botol s**u di tangan Lele terguling, dan cairan putih menyebar di meja serta mengenai kemeja Wenlang. “Lele!” seru Gao Tu, cepat mengambil tisu. “Aku bantu,” kata Wenlang, tapi saat ia berdiri feromonnya tiba-tiba bocor—reaksi spontan karena kaget. Aroma Alpha yang lembut tapi dominan memenuhi ruangan. Gao Tu tertegun. Matanya melebar. “Wenlang…” Pria itu tampak panik, buru-buru menahan napas dan menekan pergelangan tangannya dengan alat penekan feromon. “Maaf, itu… tidak sengaja.” “Kamu — kamu Alpha?” Keheningan menggantung. Lele menatap mereka bergantian dengan mata polos. “Papa Alpha juga?” Wenlang terdiam, wajahnya memerah. Gao Tu memandanginya lama, lalu mendesah pelan. “Jadi itu alasan kamu bisa ketahuan aroma Lele di kafe waktu itu, ya?” “…mungkin.” Setelah kejadian itu, suasana jadi canggung. Wenlang mencoba menjelaskan bahwa ia “Alpha yang terdaftar sebagai Beta” karena urusan genetik, tapi kalimatnya terdengar seperti naskah film fiksi ilmiah. “Aku tahu kedengarannya aneh,” ujarnya lirih. “Tapi aku tidak berniat berbohong padamu. Aku cuma ingin… lebih dekat.” “Lebih dekat untuk apa? Meneliti aku dan anakku?” suara Gao Tu agak tajam. Wenlang menunduk. “Tidak. Aku hanya— merasa kamu… bagian dari sesuatu yang sudah lama hilang.” Gao Tu ingin marah, tapi melihat ekspresi tulus di wajah pria itu, semua amarahnya lumer. Ia menarik napas. “Wenlang, aku tidak butuh penyelamat. Aku cuma butuh seseorang yang bisa bikin Lele ketawa tanpa menjatuhkan susu.” Wenlang menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tantangan diterima.” Sejak hari itu, Shen Wenlang jadi tamu rutin di apartemen kecil itu. Setiap sore ia muncul membawa camilan, mainan edukatif, atau sekadar ingin membantu mengangkat cucian. Tetangga-tetangga mulai bergosip. “Eh, Gao Tu akhirnya punya pacar?” “Bukan, itu katanya Beta teman kerja.” “Beta? Tapi tinggi dan wangi banget, ya?” Dan puncaknya terjadi seminggu kemudian— Gao Tu pulang dari belanja, membuka pintu, dan menemukan Wenlang sedang menidurkan Lele di sofa sambil bersenandung pelan. Pemandangan itu membuatnya berhenti di ambang pintu. Suara rendah pria itu begitu lembut, nada lagu tak beraturan tapi menenangkan. Lele sudah tertidur dengan tangan kecil memegang jari Wenlang. “Papa nyanyi bagus,” gumam anak itu setengah sadar sebelum benar-benar tertidur. Gao Tu nyaris menjatuhkan kantong belanja. “Papa lagi?! Ya ampun, Lele…” Wenlang menatapnya dengan ekspresi salah tingkah. “Aku cuma—dia minta nyanyi.” “Dia juga manggil tukang es krim ‘Papa’ kemarin, jadi kamu jangan GR.” Tapi pipinya sendiri memanas. Malam itu, setelah Wenlang pamit, Gao Tu duduk di tepi ranjang menatap anaknya yang tidur. Dalam hati, ia berbisik, “Lele, Papa kamu benar-benar orang yang aneh. Tapi kalau dia bikin kamu bahagia, mungkin Papa juga bisa belajar percaya lagi.” Sementara di sisi lain kota, Wenlang memegang gelang feromon yang ia kenakan sejak dulu. Cahaya kecil di permukaannya kini berkedip lembut—sebuah reaksi yang hanya terjadi bila soulmate-nya ada di dekatnya. Dia tersenyum tipis. “Jadi kamu, ya, Tu…” Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook