Sadar Diri

1611 Words
Malam itu hampir seluruh rumah dipenuhi dengan aroma obat penekan dan cahaya lembut dari lampu kuning yang tertanam di dinding. Josephine menatap setumpuk catatan hasil laboratorium Elizah yang baru saja dikirimkan Dr. Hyun. Angkanya menunjukkan stabilitas, tetapi hanya di permukaan. Feromon Elizah masih kacau di bawah tekanan. “Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Josephine lirih, suaranya pelan namun tegas. “Kalau dibiarkan, tubuhnya akan kolaps. Hyun menganggukkan kepalanya. Setelah diberitahu oleh Elara kalau Josephine masih berada di ruang kerja ia langsung mendatanginya. Semenjak gadis itu pulang bersama Rox ada rasa aneh. Hyun berasumsi karena kondisi Josephine yang berubah. Saat ini ia menyilangkan tangan. “Saya tahu Anda khawatir, Nona Jo. Tapi tubuh Enigma tidak bisa ditebak bahkan ketika mereka sudah mencapai usia matang. Setiap stimulasi kimia bisa menimbulkan efek berbahaya. Kita juga harus hati-hati.” Tangan Josephine bergetar. Secara cepat ia meneguk obat penekan yang ia sembunyikan di dalam laci meja. Gerakannya membuat Hyun menoleh kaget. Aroma feromon omega yang lembut namun menusuk tiba-tiba menyebar di ruangan, membuat udara seolah bergetar halus. “Nona Josephine! Apa yang Anda minum?” seru Hyun dengan nada panik, langkahnya mendekat. Josephine menggeleng cepat. Ia menahan napas, lalu mendorong tubuh Hyun yang terlalu dekat dengannya. “Anda fokus saja pada pengobatan Elizah,” katanya pelan, suaranya bergetar berusaha tegas. Tubuhnya sendiri ikut menggigil begitu kulitnya tidak sengaja menyentuh pakaian Hyun. Ada sensasi aneh yang menjalar, sesuatu yang bukan sekadar reaksi fisik—seolah tubuhnya menolak sekaligus mencari sumber kehangatan itu. Hyun mengerutkan kening. “Saya sudah memperingatkan, kondisi Anda bisa ikut terpengaruh oleh keadaan Nona Elizah. Saya tidak bisa tinggal diam kalau ada pasien di depan saya.” Josephine hanya memandangi tangan besar berwarna pucat s**u yang kini memegang pergelangan tangannya. Tangan itu hangat, lebih manusiawi dibanding tangan Rox yang kaku dan berlapis sarung kulit, atau Dev, kakeknya, yang dingin karena usia. Dan dari tubuh Hyun, samar-samar menguar aroma yang belum pernah ia hirup sebelumnya—aroma segar lembut bercampur dengan embusan udara musim semi. Hyun melepaskan tangannya perlahan dan menunduk, memeriksa denyut nadi Josephine. Ia mencatat sesuatu cepat di kertas kecil yang ia tarik dari saku jas putihnya. “Ini resep baru untuk obat Anda,” ujarnya serius. “Jelas sekali dokter Anda sebelumnya kurang kompeten.” Josephine tersenyum kecil, antara geli dan kagum. “Apa dokter Hyun ingin menjadi dokter pribadi saya, begitu?” Nada suaranya ringan, mungkin hanya bermaksud bercanda, tetapi pertanyaan itu mengubah seluruh ekspresi Hyun. Tatapan cemasnya seketika berganti menjadi sumringah, hampir seperti anak kecil yang baru diberi hadiah. “Saya mau, Nona! Saya mau!” katanya dengan semangat tulus yang membuat Josephine sempat kehilangan kata. Ia terpaku. Untuk sesaat, mata abu-abu itu menatap lekat, memantulkan bayangan rambut kekuningan Hyun yang bergoyang setiap kali ia berbicara. Ada sesuatu yang hangat, terlalu jujur, dan tidak bisa ia artikan. Ia nyaris tertawa karena mendadak merasa sedang dihadapkan pada seekor golden retriever yang bersemangat menunggu pujian. Namun kesadarannya segera kembali. Hyun adalah dokter unggulan—salah satu dari sedikit Alpha yang lolos seleksi medis internasional—dan Rox mendatangkannya untuk menyembuhkan Elizah, bukan dirinya. Ia tidak sakit. Ia tidak boleh mencampurkan rasa aneh ini dengan tugas profesional. “Tidak usah. Batal,” katanya cepat, mengalihkan pandangan. “Dokter Hyun adalah dokter adik saya. Tidak lebih.” Nada suaranya terdengar dingin, tapi di ujung kalimat itu ada sesuatu yang lembut—seperti penyesalan yang tidak ingin diakui. Hyun terdiam, sedikit menunduk. Senyum di wajahnya pudar, berganti dengan tatapan kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Namun, ia tetap menjaga sopan santun seorang dokter. “Walaupun begitu,” ujarnya pelan, “Anda harus istirahat, Nona. Tubuh Anda jelas menunjukkan reaksi stres. Saya akan mengurangi dosis obat hirup untuk penghuni rumah dan memberikan suntikan penenang untuk Nona Elizah.” Josephine hanya mengangguk. Ia berpaling, menatap jendela yang tertutup tirai putih. Di luar, langit tampak buram seperti kabut yang enggan hilang. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa bahaya tidak selalu datang dari senjata atau racun. Hyun menoleh ke arah pintu. Di sana ada Machi yang tersenyum kaku. “Ah, sepertinya sudah waktunya saya pergi.” Hyun menarik diri dan keluar dari ruang kerja. Beberapa langkah ia keluar, raut wajahnya berubah kesal. “Pria itu jelas bukan sekedar teman,” ucapnya dingin. Beberapa hari kemudian Machi memanggil Josephine dan Hyun untuk mengunjungi laboratorium. Hyun yang dijemput Josephine merasa aneh kenapa Machi tidak diberikan akses ke lab nya. “Aku bukan tidak memperbolehkannya, hanya saja dia bukan tipe orang yang diberikan sesuatu dengan cara mudah.” “Memang apa yang mudah toh ini akan menjadi pekerjaan bukan?” “Dulu aku pernah menawarkan pekerjaan untuknya sebelum kami lulus. Dan itu dia tolak,” ujar Josephine mengingat kembali masa di mana Machi selalu menolak bantuannya. “Ah. Saya sedikit mengerti.” “Nah kita sudah sampai. Ini dulu Lab. tempat kampus sebelum diambil alih perusahaan farmasi milik kolega kami.” Hyun mengangguk tidak membalas. Begitu tiba pintu ruang laboratorium kecil itu terbuka. Machi keluar dari ruangan sambil membawa kotak kecil berisi vial transparan. Cairan di dalamnya berwarna biru muda. “Obat ini sudah sesuai resep Dokter Hyun berikan,” katanya dengan nada datar, “ini hasil penelitian lanjutan dari formula ayahku. Dosisnya minimal, hanya menekan gelombang hormon liar, bukan mematikan reseptor feromon.” Josephine segera mengambil vial tersebut. “Kamu yakin ini aman untuk Elizah?” Machi menatapnya lama sebelum menjawab, “Aku tidak akan pernah membawa sesuatu yang membahayakan adikmu.” Tatapan mereka bertaut. Ada kepercayaan yang Josephine yakini tanpa disadari di antara keduanya ada sosok yang tidak suka. Hyun hanya menghela napas, mengangkat bahu tanda menyerah. “Baiklah. Tapi aku akan mencatat semua efeknya. Kalau ada reaksi buruk, aku hentikan langsung.” Hari pertama pengobatan berjalan lambat. Elizah duduk di kursi panjang, bibirnya pucat namun matanya masih menyala penuh perlawanan. “Kakak yakin Machi memberikan obat yang sudah paten?” tanyanya dengan nada sinis. Josephine mengusap punggung tangan adiknya. “Kamu tahu aku tidak akan memaksamu kalau ini berisiko. Tapi kita harus mencoba, Liz.” Elizah memalingkan wajah, menghela napas berat. “Baiklah. Tapi kalau aku mati, aku akan menghantui Machi terlebih dahulu lalu Kakak dan Dokter Hyun.” Machi terkekeh kecil, membungkuk di sampingnya untuk menyuntikkan dosis pertama. “Jangan khawatir. Kalau kamu mati, aku juga akan menyusul setelah dibunuh Josephine. Jadi aku pastikan kamu tetap hidup.” Ucapan itu membuat Josephine menatapnya tajam, tetapi wajah Machi tetap tenang. Elizah menahan senyum tipis — untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ruangan itu tidak terasa tegang. Elizah mulai terbiasa berdekatan dengan Machi. Sedangkan Hyun hanya diam mengamati dari ruangan lain. Beberapa minggu berlalu. Reaksi obat itu mulai terlihat. Feromon Elizah yang biasanya liar dan tidak terkendali kini mulai stabil. Tubuhnya tidak lagi panas di luar siklus. Dia mulai bisa tidur tanpa penenang. Josephine memperhatikan dari balik kaca ruang observasi tempat para dokter dan perawat memperhatikan kamar Elizah. “Kamu lihat? Dia sudah bisa menahan lonjakan feromon selama satu jam.” Hyun menatap monitor di tangannya, sedikit kagum. “Ajaib juga. Kalau ini terus berlanjut, Elizah bisa menjalani kehidupan normal.” Josephine senang, akhirnya muncul petunjuk untuk pengobatan Elizah. Dia juga tidak menyangka Machi berhasil melakukan penelitian sebelum tenggat waktu. Di dalam Elizah, Machi berdiri bersandar di dinding, wajahnya lelah tapi matanya menatap Elizah dengan lembut. Ia tidak butuh pengakuan. Hanya dengan melihat Josephine tersenyum sedikit saja, hatinya terasa cukup. Setelah sesi pemeriksaan dari perawat, Elizah menghampiri Machi. “Aku... harus berterima kasih,” katanya canggung. “Kamu menyelamatkanku dan obatmu berhasil.” Machi menunduk, sedikit tersenyum. “Aku hanya membantu kakakmu. Kamu tentu yang lebih banyak berjuang.” Namun, Elizah memperhatikan sesuatu — cara Machi menatap Josephine, penuh rasa yang tak pernah diucapkan. Ia menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Aku tahu kamu suka dengan Kakakku.” Machi diam. “Benar bukan?” lanjut Elizah lirih. “Tapi... entah kenapa, aku tidak ingin memberitahukan itu padanya.” Ada keheningan singkat. Machi menatap adik Josephine itu dengan rasa terima kasih yang tulus. “Kamu benar-benar adiknya.” Elizah hanya mengangkat bahu, menatap ke arah pintu di mana Josephine dan Hyun sedang berdiskusi. “Dia akan membencimu kalau kamu tidak katakan sebenarnya.” Machi tidak menjawab, hanya memandang Josephine yang sedang tersenyum samar pada Hyun — senyum yang jarang sekali diberikan olehnya. Malam harinya, Josephine duduk di balkon rumahnya. Udara lembab dan aroma obat penekan masih menempel di kulitnya. Untuk beberapa saat dia merasa pusing mungkin akibat dari terus menghirup penekan feromon untuk Elizah. Lalu Machi datang dengan membawa dua gelas teh. “Untukmu,” katanya singkat. Josephine menerimanya. “Terima kasih. Aku pikir kamu sudah pulang bersama para dokter.” “Aku tidak bisa tidur kalau belum yakin Elizah baik-baik saja,” balasnya. “Aku janji pada diriku sendiri, aku akan menjaganya. Dan... menjagamu juga.” Josephine tertegun sejenak, menatap wajah Machi yang diterangi cahaya lampu balkon. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Machi tampak... hangat. Nyata. Dan anehnya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia meneguk tehnya pelan, mencoba menepis rasa itu. “Kamu terlalu serius, Machi. Dunia ini tidak perlu penjaga untukku." “Kalau begitu, aku akan jadi pengecualian,” jawab Machi dengan nada lembut tapi pasti. Josephine tidak menjawab. Ia hanya menatap langit, mencoba mengabaikan suara detak jantungnya sendiri. Di kamar Elizah tersenyum kecil sambil mematikan lampu. Ia tahu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, kakaknya mungkin akan merasa sedikit lebih tenang malam itu. Tanpa disadari aroma feromon Machi yang tenang — samar namun menenangkan — perlahan keluar dari udara. Walau tipis Hyun dapat menangkap feromon Machi. Dia menatap tajam ke arah Machi dan Josephine. "Ceroboh sekali dia tidak menyadari ada Alpha bersamanya." Hyun tersenyum miring masih memperhatikan dua orang yang bercengkrama di balkon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD