Tidak Mudah

1473 Words
Senja menurunkan cahaya keemasan ke halaman belakang rumah Josephine. Suara burung dan desiran angin di antara pohon membuat suasana sore itu tampak tenang, tapi bagi Elizah, ketenangan itu hanya lapisan tipis yang menutupi sesuatu yang lebih rumit. Ia berdiri di teras balkon, menatap Machi yang sedang berbicara di telepon di dekat mobil hitamnya. Wajah Machi tampak serius, lebih gelap dari biasanya, suaranya nyaris tak terdengar di antara hembusan angin. Namun, Elizah cukup tajam untuk menangkap beberapa kata “tidak… dia belum tahu… aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuhnya.” Kata terakhir membuat bulu kuduknya berdiri. Ketika Machi menutup telepon entah kenapa kepalanya mendongak ke atas, pandangan mereka bertemu. Sejenak, tubuh Elizah kaku tidak bergerak. Hanya mata Machi yang tenang tapi dalam, seperti sedang menimbang sesuatu. Aksi tatap menatap terputus saat Elara memanggilnya masuk. Di dalam sudah ada Hyun dengan Machi. Mereka berdua kembali menginap untuk memeriksa kondisi Elizah. “Terimakasih ya Dokter. Machi kalau tidak keberatan bantu Elizah menata meja makan,” tawar Elara yang membuat Elizah memberikan plototan ke arah Machi. “Ayo Eli!” “Iya Mama.” Jawabnya pasrah. “Saya bisa bantu juga—” tangan besar Hyun ditarik Elara keluar dari ruang tamu. “Dokter, bisa duduk di ruang kerja Josephine. Nanti kalau sudah ada Josephine ajak dia ke ruang makan.” Mau tidak mau Hyun mengangguk paham. Sementara Elizah bergegas menata meja, Machi mulai berbicara. “Kamu menguping ya tadi?” tanya Machi akhirnya, dengan nada ringan tapi ada rasa bercanda. “Aku tidak perlu menguping kalau kamu tidak menyembunyikan sesuatu,” balas Elizah cepat. Machi menghela napas, lalu ia melihat semburat merah di pipi Elizah. Suhu tubuhnya memang belum turun tapi rona wajahnya sangat cocok dengan rambut merahnya. “Kenapa liat-liat?” Machi tertawa, reaksi yang dianggap lucu. Elizah merasa tidak terima melipat tangan di d**a. “Sebaiknya cepat tata ini ada Paman Rox juga.” Elizah melemparkan serbet. Machi mempersingkat jarak lalu meletakkan serbet ke sisi piring kosong. “Karena aku Alpha?” Entah itu pertanyaan tapi bagi Elizah itu sebuah pernyataan. “Kamu baru saja mengakuinya.” Machi menatapnya langsung, kali ini tanpa bersembunyi di balik senyumannya. Tatapan itu dalam dan berwibawa — bukan tatapan Beta yang biasa ia perlihatkan di depan Josephine. “Aku Alpha Dominant,” katanya pelan tapi jelas. Udara seolah berhenti bergerak. Elizah menelan ludah. “Kenapa kamu menyembunyikan itu dari Josephine?” “Karena dia membenci Alpha,” jawab Machi tanpa ragu. “Kamu tahu alasannya. Karena dia lihat sendiri bagaimana Alpha menghancurkan ayahnya, dan bagaimana dunia memperlakukan Omega seperti barang.” Ia menatap tanah sejenak, lalu kembali menatap Elizah. “Kalau dia tahu aku Alpha, dia tidak akan mau melihatku lagi. Padahal aku hanya ingin… tetap di sisinya.” Nada suaranya lembut, tapi di dalamnya ada getaran keras kepala khas seorang Alpha sejati. Meskipun tanpa feromon jelas, Elizah berusaha menjauh. Begitu jarak mereka terasa aman Machi semakin mendekat. “Kamu pikir bisa sembunyikan hal sebesar itu selamanya? Kak Josephine bukan orang bodoh. Cepat atau lambat dia akan tahu.” Machi tersenyum kecil. “Aku tidak ingin berbohong, tapi aku juga tidak ingin kehilangan kepecayaannya. Liz… ada sesuatu tentang Josephine yang membuatku tidak bisa berpaling. Dia berbeda. Dia Omega Dominant, tapi rasanya… lebih dari itu. Seolah dia satu-satunya yang bisa membuatku menunduk tanpa paksaan.” Elizah menatapnya lama, mencoba membaca ketulusan di balik setiap kata. “Kamu jatuh cinta padanya?” Kepala pria itu menggeleng cepat. “Tapi kamu tahu, Kak Josephine tidak mudah percaya Alpha. Apalagi dia lebih kuat dari kebanyakan.” Machi mengangguk. “Aku tahu. Dan justru itu yang membuatku ingin melindunginya. Dia menolak segala bentuk kelemahan, tapi aku melihat bagaimana dia lelah setiap malam. Dia pikir bisa memerintah dunia tanpa feromon, tapi tubuhnya… tubuhnya tetap Omega, dengan semua gejolaknya.” Nada suara Machi berubah lebih rendah. Ada nada kagum sekaligus gentar di sana. Elizah menggertakkan giginya pelan. “Kalau begitu kenapa tidak jujur saja? Bukankah kamu lebih baik dari Alpha lain yang pernah berurusan dengan keluarga kami?” Machi menggeleng, menatapnya penuh kesedihan. “Karena kebenaran kadang tidak menyembuhkan, Liz. Kadang, justru menghancurkan yang tersisa.” Hening panjang merayap di antara mereka. Elizah menunduk, mencoba memahami beban di balik kata-kata Machi. Ia masih muda, tapi nalurinya tajam — ia bisa merasakan konflik besar yang disembunyikan lelaki itu. Di dapur Elara sudah selesai memasak. Wanita itu memanggil Machi dan Elizah untuk membantunya, Elizah berjalan berdampingan dengan Machi menuju dapur. Ia berbicara tanpa menoleh. “Kalau Kakak tahu kamu adalah para Alpha yang menjijikan.” Machi tertawa kecil, tapi tanpa humor. “Mungkin. Tapi setidaknya aku jujur pada seseorang.” “Padaku?” Elizah terkejut melihat menatapnya sekilas. “Aku tidak tahu apakah kamu bodoh atau berani. Tapi kalau Kak Josephine tahu kamu Alpha Dominant, dia akan menyingkirkanmu dari hidupnya tanpa berpikir dua kali.” Machi menatap ke depan. “Mungkin. Tapi lebih baik kehilangan segalanya setelah jujur… daripada terus hidup di dekatnya sebagai kebohongan.” Langkah mereka berhenti saat mendengar Hyun memanggil Josephine. Sontak mereka menoleh ke arah yang sama. Di sana ada Rox memegang leher belakang tampak canggung sedangkan Josephine berada di belakang tubuhnya seolah menghindari Hyun. “Jangan buat Kak Josephine terluka,” ucap Elizah pelan. “Dia sudah cukup kehilangan banyak hal.” Machi menatapnya, kali ini serius. “Aku justru ingin jadi alasan dia bisa merasa aman.” Dan untuk pertama kalinya, Elizah melihat sesuatu yang berbeda di mata Machi — bukan sekadar ketertarikan, tapi rasa hormat yang tulus. Namun rasa waspada di dadanya tetap tidak hilang. Suasana di meja makan tampak tenang. Hanya suara obrolan ringan yang dibangun Elara dan Hyun sesekali Elizah menyaut. Berbeda dengan Josephine yang diam tanpa kata. Entah apa yang dipikirkan kakaknya itu hingga membuat Machi dan Hyun menjadi penghibur dadakan. “Nona Jo. Masakan ini sangat enak saya sangat suka,” ucap Hyun. “Aku tadi juga membantu loh walau Elizah menolak bantuanku,” tambah Machi. Perbincangan tersebut berhasil membuat raut wajah Josephine berubah. Hyun yang terus menyanjung masakan Elara dan Machi yang menceritakan cara ia menata perabotan di meja makan. Sungguh menjengkelkan. Dua Alpha itu jelas menginginkan sesuatu. Karena di dunia yang terbagi oleh feromon dan kekuasaan, dua dominan — Alpha dan Omega — yang saling mendekat hanya akan menciptakan badai. "Josephine, ada baiknya kamu bisa pulang cepat seperti ini." Perkataan Rox yang akhirnya membuat Josephine menegang. Machi dan Elizah saling bertukar pandang dan Rox hanya mengangguk ke arah Hyun lalu pamit meninggalkan meja makan. Elara sendiri seperti terkunci. Dia hanya menunduk menatap sisa makanannya. Lalu melihat piring Rox yang rapi tidak tersentuh. "Mama Elara, nanti aku bantu cuci piring ya?" tawar Machi berusaha mencairkan suasana. "Bo-boleh. Tentu boleh. Terimakasih, Machi." Senang Elara. Mendadak Elizah turut menyahut, "aku juga membantu." "Saya juga tidak keberatan-" "Dokter tidak perlu," potong Elara tersenyum senang. Mereka pun tertawa berbeda dengan Josephine yang hanya diam. Beberapa jam kemudian, Machi duduk di ruang kerja Josephine setelah Hyun keluar. Lampu meja menyala lembut, menerangi wajahnya yang letih namun masih memancarkan wibawa alami. Josephine baru saja kembali dari rapat cabang dan terlihat kelelahan, tapi tetap menyempatkan diri meninjau laporan. “Kamu terlihat tegang tadi apa karena Paman?” tanya Machi tanpa menatapnya. Ia tersenyum samar. “Kamu… padahal sudah disuruh dokter untuk istirahat.” Josephine mendesah kecil. “Dunia tidak akan berhenti hanya karena aku capek.” “Kadang dunia justru berhenti karena kamu menatapnya.” Josephine menoleh, separuh tersenyum, separuh heran. “Kamu suka bicara aneh, Machi.” “Bukan aneh. Jujur.” Keheningan aneh melingkupi mereka. Tatapan Machi terlalu intens, terlalu lembut untuk sekadar hubungan profesional. Josephine menunduk cepat, pura-pura memeriksa berkas. Tapi Machi tahu — pipinya sedikit memerah. “Kamu benar-benar tidak takut Alpha ya?” tanya Machi tiba-tiba. Josephine berhenti menulis. “Takut? Tidak. Selama mereka berbentuk manusia ya kuanggap setara.” Machi tersenyum getir. “Apa iya? Kulihat kamu selalu menjaga jarak pada Dokter tadi.” Josephine mengangkat wajahnya cepat, tapi matanya tetap tajam. “Jangan bercanda seperti itu.” “Siapa bilang aku bercanda?” balas Machi pelan, menatapnya penuh arti. Josephine tidak menjawab. Ia menutup map, berdiri, dan menatap lurus pada Machi. Ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan — antara kaget, marah, dan… sesuatu yang lebih dalam. Namun, sebelum suasana bisa berubah lebih panas, suara ketukan pintu terdengar. Elara masuk, membawa secangkir teh. “Kalian belum istirahat. Padahal Dokter Hyun sudah suruh kamu istirahat Jo,” nasihat Elara. Machi mundur sedikit, menunduk sopan untuk pamit. Elara sendiri turut mengikuti Machi keluar dari ruang kerja setelah meletakkan tehnya. Josephine mengambil cangkir tak lama matanya sempat menatap bayangan Machi—seperti menimbang apakah barusan itu sungguh ucapan serius atau memang kentara. Semenjak Hyun sering ke rumah tanpa sadar Josephine hapal dengan feromon Alpha-nya. “Alphaku?” Josephine tertawa dengan naluri di otaknya. Ia memperhatikan bayangan dirinya di jendela. “Jelas sekali para Alpha akan memanfaatkanmu, Josephine.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD