Waspada Kebusukan

1671 Words
Cahaya pagi menembus jendela ruang keluarga, jatuh lembut di atas meja kayu besar yang penuh dengan berkas. Josephine duduk dengan rambut terikat rapi, membuka beberapa dokumen pendanaan riset. Di hadapannya, Machi dan Dr. Hyun sedang mempresentasikan rancangan penelitian baru mereka — tentang terapi stabilisasi feromon lintas genetik. “Kalau berhasil,” ujar Machi dengan semangat, “kita bisa menciptakan penawar yang membuat Enigma hidup tanpa perlu injeksi berkala. Itu juga bisa membantu kasus Omega yang sering gagal melewati siklus.” Dr. Hyun menambahkan dengan nada lebih tenang, “Kami ingin fokus pada pendekatan biologis murni, bukan kimia sintetis. Tubuh akan beradaptasi sendiri.” Josephine mengangguk, menatap layar proyeksi yang menampilkan grafik dan data genetik. Ia memang bukan ahli bioteknologi, tapi matanya tajam pada setiap angka biaya dan rincian teknis. “Kamu butuh berapa lama?” Machi menatap Josephine dengan sedikit ragu. “Tiga bulan untuk fase awal. Tapi aku butuh pendanaan yang cukup besar untuk izin riset.” “Berapa?” “Lima ratus juta.” Josephine tidak mengubah ekspresinya. Ia menutup map, menandatangani halaman terakhir dengan pena hitam, dan mendorong berkas itu ke arah Machi. “Aku dan perusahaan cabang akan menanggung. Tapi kamu harus lapor mingguan padaku dan Hyun.” Machi menatap Josephine dengan campuran kagum dan takjub. “Kamu selalu cepat membuat keputusan, ya.” “Cepat bukan berarti ceroboh,” balas Josephine datar, namun ujung bibirnya sedikit terangkat. Di balik pintu, Elizah berdiri dengan ekspresi rumit. Wajahnya masih pucat pasca pemulihan, tapi matanya berkilat menahan sesuatu. Ia memperhatikan Josephine yang berbicara begitu santai dengan Machi dan Dr. Hyun — dua orang Alpha yang kini hampir setiap hari datang ke rumah. Machi selalu menatap Josephine dengan cara yang membuat d**a Elizah terasa aneh. Bukan tatapan profesional, tapi sesuatu yang lebih hangat… lebih sekedar teman. Begitu Josephine keluar dari ruangan, Elizah langsung menyusulnya. “Kak.” Josephine menoleh. “Hm?” “Kenapa kamu percayain riset sebesar itu ke Machi?” tanya Elizah cepat. “Kakak Machi… aku rasa dia bukan cuma peneliti biasa.” Josephine menaikkan alisnya. “Kamu maksud apa?” “Dia… aku pernah lihat dia pakai alat penstabil feromon di lehernya. Tapi alat itu hanya dipakai Alpha.” Hening sesaat. Josephine menatap Elizah lama, lalu tersenyum kecil. “Dia Beta. Tidak ada feromon—” “Bukan!” Elizah memprotes cepat. “Aku cuma—khawatir. Kamu terlalu dekat dengan Dokter Hyun, Kak. Machi juga anehnya menurutku dia Alpha. Dia terlalu tahu banyak soal Papa, soal penyakitku… dan kamu.” Josephine berjalan pelan, menepuk bahu adiknya lembut. “Elizah, Machi itu temanku. Kita tumbuh bareng. Dan Dr. Hyun sudah aku verifikasi. Mereka bukan ancaman.” “Tapi—” “Sudah,” potong Josephine lembut. “Aku tahu kamu khawatir, tapi jangan salah menilai orang.” Elizah menggigit bibirnya. Ia tahu kakaknya keras kepala, tapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya benar-benar menolak. Ada rasa tidak nyaman setiap kali Machi berada terlalu dekat dengan Josephine — dan bukan hanya karena cemburu. Ada sesuatu yang tidak beres, seperti kabut tipis yang menutupi kebenaran. Beberapa hari kemudian, suasana rumah sangat sesak bagi Elizah. Machi dan Dr. Hyun sering datang untuk bekerja di ruang bawah tanah yang diubah menjadi lab mini. Josephine sesekali ikut membantu meninjau laporan, dan Elizah… diam-diam mengamati dari kejauhan. Suatu sore, Elizah memergoki Machi di ruang kerja Josephine. Lampu redup, dan Machi berdiri di depan rak buku sambil memegang map berlogo perusahaan lama milik Ayah mereka, Julien — Biogene Corp. Elizah menyipitkan mata. “Kamu ngapain di sini?” Machi tersentak sedikit, lalu menoleh dengan senyum tenang. “Oh, Elizah. Aku cuma cari catatan riset lama. Josephine bilang aku boleh lihat.” “Padahal Kak Josephine nggak ada di ruangan ini,” balas Elizah datar. Machi terdiam. Sesaat, wajahnya seperti menegang. Lalu ia tersenyum lagi — terlalu tenang untuk disebut wajar. “Aku cuma ingin bantu.” Elizah melangkah mendekat, menatap leher Machi yang berkilat tipis karena alat peredam feromon. Ia tidak salah lihat — itu memang model Alpha Resonator 4.5, versi baru. Salah satu teman sekolahnya menggunakan untuk menekan feromon. “Machi,” ujarnya pelan, “sebenarnya kau ini siapa?” Suasana hening selama beberapa detik sebelum suara langkah Josephine terdengar dari pintu. “Ada apa di sini?” Elizah buru-buru mundur, tapi Machi sudah lebih dulu tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa. “Kami cuma diskusi soal data lama, Jo.” Josephine menatap keduanya curiga. “Elizah?” Elizah menunduk cepat. “Bukan apa-apa. Aku cuma… penasaran siapa yang masuk ke sini.” Josephine menatap adiknya lama, tapi tidak menekan. Ia tahu Elizah masih mudah tersulut emosi, apalagi setelah pemulihan panjang. “Pergi istirahat, ya. Aku urus yang di sini.” Elizah berbalik pergi, tapi sebelum menutup pintu, ia sempat menatap Machi sekilas. Tatapan itu dingin, penuh curiga. Malam itu, di ruang tamu yang diterangi cahaya kuning temaram dari lampu gantung berbentuk anyaman bambu, Elara duduk di kursi rotan tua bersama putrinya, Elizah. Di atas meja kaca kecil, uap hangat dari teko porselen beraroma melati perlahan menari di udara, menebarkan keharuman lembut yang menenangkan. Hari ini hanya mereka berdua, tidak dihitung dua penjaga dan 3 perawat yang waspada. Josephine harus lembur setelah beberapa hari menjaga Elizah. Elara menuang teh ke dua cangkir, gerakannya halus dan teratur, seolah sudah menjadi ritual yang ia lakukan setiap malam. Di balik wajahnya yang lembut dan tersenyum, ada sesuatu yang menua — bukan oleh usia, tetapi oleh beban yang hanya diketahui seorang ibu. “Elizah,” ucap Elara lembut, suaranya seperti kabut yang meluncur di udara, “Mama dengar kamu bicara keras sama Machi tadi siang.” Elizah, yang duduk di seberang, menunduk. Tangannya menggenggam cangkir, uap panasnya membuat jemarinya terasa perih, tapi ia tidak melepaskannya. Tatapannya jatuh ke permukaan teh yang bergoyang lembut, seperti menampakkan wajahnya sendiri yang resah. “Aku cuma… nggak suka caranya dekat sama Kak Josephine,” katanya pelan, nyaris seperti gumaman. “Dia bukan Beta seperti yang dikira.” Elara menatap putrinya lama, sebelum akhirnya tersenyum. Senyuman itu tidak sepenuhnya lega, tapi penuh kasih. “Anakku,” ucapnya, “kita tidak menilai orang dari feromonnya. Ingat, dulu banyak yang memperlakukan Papa seperti lelucon hanya karena dia Omega.” Ucapan itu membuat ruangan terasa lebih hening. Dari luar, suara jangkrik terdengar sayup-sayup, bersahutan dengan bunyi angin yang menggoyang daun di halaman. Elizah masih menunduk, tapi matanya sedikit bergetar. Ia teringat sosok ayahnya yang lembut, yang dulu sering menjadi bahan olok-olok para tamu istana — namun tetap tersenyum, tetap rendah hati. “Tapi ini lain, Ma,” katanya lagi dengan nada yang bergetar, mencoba menahan emosi yang mengendap di dadanya. “Machi sembunyiin identitasnya.” Elara menatapnya lebih dalam. Senyumnya lenyap, berganti dengan sorot mata yang tajam, bukan marah, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa dibantah. “Sopanlah, Elizah. Kamu masih remaja. Josephine tahu apa yang dia lakukan.” Nada itu tak meninggi, tapi beratnya cukup untuk membuat Elizah terdiam. Ia merasakan seperti ada sesuatu yang menekan di d**a — bukan karena takut, tapi karena tahu ibunya jarang menegur. Ia menatap Elara dengan sedikit rasa bersalah, matanya memantulkan cahaya teh yang bergoyang di cangkir, lalu mengangguk pelan. “Maaf, Ma,” ucapnya, hampir tak terdengar. Elara tidak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, ke arah taman yang masih basah oleh sisa hujan. Bayangan pepohonan bergoyang tertiup angin, dan di antara gemericik air, samar-samar terdengar suara katak di kolam kecil. Dalam diam itu, wajah Elara tampak jauh — seperti sedang memikirkan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang lembut namun nyata. Ia tahu anak bungsunya tajam instingnya — terlalu tajam mungkin, seperti dirinya dulu muda. Jika Elizah merasa curiga pada seseorang, besar kemungkinan ada sesuatu di baliknya. Tapi untuk saat ini, Elara memilih diam. Ia tahu beberapa rahasia lebih baik menunggu waktu untuk terungkap. Malam terus berjalan. Jam di dinding berdetak lambat. Cangkir-cangkir teh itu akhirnya kosong, menyisakan jejak melati di udara yang semakin menipis. Elara berdiri perlahan, menepuk kepala putrinya, lalu melangkah menuju dapur untuk mencuci cangkir. Elizah masih duduk, menatap meja, dan dalam benaknya nama Machi terus berputar — seperti gema yang tidak mau hilang. Beberapa hari setelahnya, matahari sore menembus kaca jendela laboratorium dengan warna jingga pucat. Di balik meja penuh tabung reaksi, kertas proposal, dan berkas penelitian yang berserakan, Machi berdiri sambil menggenggam map cokelat. Wajahnya tampak tegang, tapi ia berusaha tenang. Rambutnya terikat rapi, dan meski ada sedikit keringat di pelipisnya, tatapannya teguh. Josephine duduk di depan meja itu, mengenakan jas putihnya yang bersih, rambut panjangnya disanggul tinggi. Sorot matanya tenang, seperti biasa — perpaduan antara wibawa dan kehangatan yang hanya sedikit orang bisa miliki. Di hadapannya, Machi menaruh map itu dengan kedua tangan. “Ini laporan tahap awal, Jo,” katanya, berusaha membuat suaranya stabil. “Kamu bisa cek detail penggunaan dana dan data uji coba.” Josephine membuka map itu. Jemarinya yang halus membalik halaman demi halaman dengan kecepatan yang mengesankan. Suara kertas bergesekan memenuhi ruang hening itu. Machi berdiri diam, memerhatikan dengan jantung yang berdebar. Setelah beberapa saat, Josephine menandatangani halaman terakhir, kemudian menatap Machi dengan senyum samar. “Itu hadiahku?” tanyanya pelan, sambil menatap pena yang Machi gunakan untuk menandatangani. Machi mengangguk cepat, tersenyum canggung. “Ya. Aku selalu membawa pena ini kebetulan ini mudah diisi ulang.” Josephine tertawa kecil, suara tawanya ringan tapi meninggalkan kesan dalam. Ia menutup map, lalu menyandarkan diri ke kursi. “Syukurlah kamu menyukainya,” ucap Machi tulus. Udara sore terasa lembut. Di luar jendela, suara burung gereja terdengar saling bersahutan. Josephine memandang Machi lama, seolah menimbang sesuatu di balik pandangan ramahnya. “Kamu harus ke rumah sakit tempat Hyun dan serahkan semua,” katanya akhirnya, dengan nada formal tapi tetap lembut. “Terimakasih ya, Machi.” Machi menunduk sopan. “Baik, Jo.” Ia mengambil map itu kembali, menatap sebentar pena di tangan Josephine—hadiah kelulusan. Lalu ia beranjak keluar dari kantor Josephine. Di balik pintu yang perlahan menutup, pasangan mata abu terus menatap bayangan Machi yang semakin menjauh. Di wajahnya muncul ekspresi sulit dibaca — sedikit iba, sedikit curiga, dan sedikit kekhawatiran yang tersembunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD