Malam itu rumah keluarga Dion terasa sesak oleh aroma antiseptik dan udara pengap. Josephine duduk di tepi ranjang Elizah, menatap tubuh adiknya yang menggigil di bawah selimut tebal. Tubuh Elizah tampak pucat, keringat dingin menetes dari pelipisnya, dan nafasnya tidak beraturan. Monitor kecil di sisi tempat tidur terus berbunyi pelan, menandai fluktuasi suhu dan detak jantung yang tidak stabil.
“Nona Josephine… panasnya naik lagi,” ujar salah satu perawat yang mereka sewa.
Josephine tidak menjawab. Ia menatap layar monitor dengan mata kosong. Ada beban di d**a yang terasa terlalu berat untuk diungkapkan. Enigma. Begitulah mereka menyebutnya — sebuah kondisi langka di mana gen Alpha bermenifesti menjadi gen baru. Bukan setengah, bukan netral, tapi chaos. Tidak ada obat resmi, tidak ada terapi stabilisasi feromon yang terbukti bahkan yang biasa digunakan Alpha unggul. Dan sekarang, Josephine menyadari bahwa mungkin warisan dari ayah mereka, Julien.
Rox bersama dokter Hyun masuk ke ruangan langsung menatapnya, ekspresinya rumit antara simpati dan khawatir. “Josephine, kamu tahu batasan legal soal pasien Enigma. Kita nggak bisa asal mendatangkan peneliti. Mereka harus melalui izin asosiasi bioteknologi dan—”
“Rox.” Josephine menoleh pelan, suaranya dingin. “Aku tidak tanya soal aturan. Aku tanya siapa yang bisa menyelamatkan adikku.”
Hening.
Rox menatap Hyun yang sudah memberikan penenang dosis tinggi. Dia tahu pasti berat bagi tubuh kecil Elizah menerimanya. Ia menghela napas panjang. “Baik. Paman akan mencarinya. Tapi aku perlu waktu.”
Josephine menatap Elizah sekali lagi, lalu berdiri. “Dua hari.”
Rox mengangguk kemudian dia pamit pergi meninggalkan Hyun. Sedari tadi dokter itu berusaha fokus pada pasiennya tapi ia gagal. Ia ingin mengetahui lebih lanjut mengapa Josephine sangat berusaha menyembuhkan ledakan feromon Elizah.
“Maaf. Boleh saya tahu mengapa Nona begitu keras—”
“Dokter tahu Papaku seorang Omega?” potong Josephine dengan memberikan pertanyaan kepada Hyun. Otomatis Hyun menjawab secara profesional atas ketidaktahuannya.
“Saya tidak tahu.”
“Papaku bukan Ayah kandung Elizah. Ibu Elizah adalah Omega pasangannya Ayahku.”
Alis Hyun tertaut, ia tidak mengerti. “Anda pasti mengenal Julien bukan? Dia adalah Alpha yang menemukan gen dominan yang dimiliki manusia. Dia pernah meneliti Papaku yang seorang Omega Dominan kehilangan pasangan takdir.”
Hyun terdiam.
“Ayahku jatuh cinta dengan Papa tapi itu tidak lama setelah dia menemukan pasangan takdirnya. Anda tahu pasti mengenai pasangan takdir?”
“Ya.”
“Apa sejahat itu takdir ya?”
“Ayahku yang memiliki ambisi tidak pernah menyangka pengkhianatannya terbongkar. Dia menciptakan Elizah karena alasan Pasangan Takdir.” Josephine memegang lehernya yang masih bersih. Ia pikir dengan menunjukkan lehernya ada rasa percaya diri. Tetapi, badannya menolak.“Apa anda percaya Tuhan?”
Mata Hyun membola lebar. Sebagai seorang Alpha unggul yang sempurna dan tidak ada cela sudah ibarat seperti setengah Dewa. Namun, “Nona Josephine, saya bisa berpendapat?”
Josephine mengangguk ingin mendengar. Meski sudah berkeringat ia ingin tetap bertahan menemani Elizah.
“Menurut saya masa lalu orang tua berbeda dengan keadaan saat ini. Mungkin masih ada—Tidak, sekarang masih ada orang yang seperti Profesor Julien. Tapi yakinkan satu hal Nona Josephine…”
“Apa?” Kali ini dia melepas APD yang selama ini ia pakai agar sama seperti Josephine. Menampilkan wajah tegas sempurna dan bola mata berwarna emas.
“Percaya pada diri anda.” Untuk pertama kalinya Josephine benar-benar menatap mata Hyun. Sepasang emas itu berwarna kuning sangat jernih.
“Anda berbeda dengan Ayah anda, Papa anda bahkan Nyonya Elara yang sama seperti Anda sangat berbeda.” Jelas Hyun tersenyum lebar lalu dia meninggalkan Josephine bersama Elizah yang terbaring. Josephine tidak tahu bahwa semua orang terus mengatakan untuknya percaya diri.
Dia memperhatikan tangannya yang tidak sehalus para omega seumurannya. Dia memilih untuk belajar bela diri sejak dini untuk melindungi mendiang Papanya. Dia juga selalu menekan feromon dan naluri mengingat bekas suntikan semakin menghitam di beberapa titik lengannya. “Apa aku terlalu meremehkan diri sendiri?”
Keesokan harinya, Josephine mengunjungi laboratorium tua yang dulu milik ayahnya. Tempat itu telah lama ditutup sejak kematian Dion, namun masih dipenuhi aroma logam dan bahan kimia. Di meja kerja, berjejer catatan-catatan lama — sebagian besar sudah menguning, sebagian lain penuh dengan coretan rumus dan diagram biologi feromon.
Tangannya menyusuri buku catatan itu, dan matanya berhenti pada satu nama yang tertulis di margin Dr. Marius Yuen.
Ayah Machi.
Josephine membeku. Ia mengenal nama itu — ilmuwan yang membantu Dion melewati masa-masa berat setelah pelepasan tanda, juga yang merawat banyak pasien dengan gangguan feromon langka. Tapi Dr. Yuen sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Sebuah kenangan berkelebat saat mereka masih kecil, tertawa sambil memeluk boneka yang terlalu besar untuk tubuhnya, berdiri di samping Josephine yang tengah memegang piala sekolah. “Papa bilang feromon itu cuma reaksi kimia, Jo. Tapi aku pikir… itu juga bisa jadi takdir.”
Kini, suara itu kembali menggema di kepalanya. Josephine menutup buku dengan keras, seakan ingin menghentikan arus kenangan itu. Ia segera menghubungi seseorang, "Paman, aku sudah menemukan orang tepat." Josephine menelpon Rox.
"Paman tidak perlu cemas, kita mengenalnya sangat baik yaitu Machi." Suara berisik di seberang mengagetkan Josephine. Ia khawatir namun berubah tenang. "Ya, Paman segera hubungi Dokter Hyun membawa analisanya. Aku akan bujuk Machi." Sambungan tertutup dan Josephine tersenyum senang.
Siang harinya, Josephine mendatangi gedung tempat Machi magang— sebuah laboratorium farmasi swasta yang cukup besar, penuh dengan orang-orang berseragam putih dan bau etanol di udara.
Begitu melihat Josephine melangkah masuk, Machi langsung meletakkan pipet di tangannya dan menatap, terkejut sekaligus canggung.
“Jo?” suaranya nyaris bergetar. “Aku pikir kamu nggak bakal datang ke sini lagi. Bukannya kamu sibuk jadi… bos?”
Josephine tidak menjawab sindiran itu. Ia hanya berdiri di depan meja laboratorium, matanya lurus ke arah Machi. “Aku butuh bantuanmu.”
Machi sejenak mengerti maksud Josephine. “Tentang Elizah?”
Josephine mengangguk pelan. “Dia terdiagnosis Enigma. Dokter belum tahu cara menstabilkan feromonnya. Aku… nemuin catatan lama Papa dan Ayahku. Di situ tertulis nama ayahmu.”
Raut Machi berubah lembut, tapi sedih. “Ayahku nggak pernah berhenti menyesali keputusannya soal gagal menyelamatkan Papamu, Jo. Tapi aku tahu dia sempat meneliti formula stabilisasi tahap akhir sebelum meninggal. Hasilnya belum pernah dipublikasikan.”
Josephine menatap Machi tajam. “Kamu punya salinannya?”
“Aku…” Machi menunduk, mengusap tengkuknya yang tegang. “Aku punya. Tapi data itu tidak lengkap. Sebagian besar hilang waktu kebakaran di rumah kami dulu.”
Josephine menghela napas berat, lalu bersandar pada meja laboratorium. “Kamu masih kerja dengan lembaga penelitian independen, kan? Gunakan aksesmu. Aku akan bayar berapa pun.”
Machi mendongak, matanya menatap Josephine lekat-lekat. “Kamu tahu, Jo, kadang aku heran kenapa kamu selalu berpikir bisa membeli semua hal pakai uang.”
“Karena itu satu-satunya hal yang aku punya sekarang.” Ringan dan itu kebenarannya. Machi merubah mimik wajahnya menjadi kecut.
Keheningan itu menggantung lama di antara mereka. Machi akhirnya menatap ke arah jendela, cahaya siang menembus kacamata beningnya. “Aku bantu. Tapi bukan karena uangmu.” Ia tersenyum samar. “Aku bantu karena aku pernah janji dengan Ayahku kalau suatu hari kamu akan mengerti apa artinya melindungi, bukan mengontrol.”
Josephine menatap Machi lama, lalu tanpa sadar suaranya merendah, lebih lembut daripada biasanya. “Terima kasih.”
Malamnya, Josephine kembali ke rumah dengan membawa beberapa sampel serum hasil uji coba awal Machi. Ia duduk di ruang kerja sambil menatap foto lama keluarganya — Julien, Dion, dirinya yang masih kecil. Keluarga mereka hanya bertiga tapi sekarang bertiga tanpa Ayah dan Papa.
Dulu, ia berpikir keluarga adalah struktur kuat seperti perusahaan ada hierarki, aturan, dan tanggung jawab. Tapi semakin ia dewasa, semakin ia sadar bahwa keluarganya tidak pernah seimbang. Satu orang selalu memberi lebih, satu lagi selalu kehilangan lebih dulu.
Ketika ia menatap Elizah tidur dengan wajah damai malam itu, hatinya terasa perih. Sifat adiknya begitu mirip Papanya— lembut, penuh empati, tapi rapuh oleh cinta dan tekanan dunia di sekitarnya. Tetapi wajah dan fisiknya hampir serupa dengan Julien.
“Jangan hancur kayak Papa, Liz,” bisiknya lirih. “Kali ini aku yang jaga kamu.”
Keesokan paginya, Machi datang dengan koper berisi peralatan medis portabel. Ia langsung memasang infus dan menyiapkan injeksi serum percobaan. Josephine berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan, mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti d**a.
Hyun memberi sedikit rincian mengenai efek yang selama ini dia lakukan pada tubuh Elizah. Machi juga mengerti beberapa istilah yang ada di panduan milik Hyun.
“Feromonnya tidak stabil. Kalau injeksi ini gagal, suhu tubuhnya bisa naik drastis,” jelas Hyun nadanya serius. “Tapi kalau berhasil, kita mungkin bisa menurunkan aktivitas kelenjar Enigma bersamaan efek perubahan. Itu berarti dia bisa hidup normal tanpa hambatan.”
Machi sedikit gemetar karena ini pertama kalinya ia berurusan langsung dengan pasien. Hyun yang telah selesai memasang Alat Pelindung Diri kepada Machi menoleh ke arah Josephine yang berada di pintu.
Josephine mengangguk pelan. “Lakukan.”
Machi memasuki kamar Elizah hampir tersedak begitu mencium aroma feromon yang pekat padahal ia sudah memakai pelindung lengkap seperti para anggota medis. Berbeda dengan Josephine yang hanya mengenakan masker seolah feromon pekat itu tidak menyakitinya. Sedangkan Hyun tampak sudah terbiasa dan memberi aba-aba kepada Machi.
Jarum disuntikkan ke pembuluh darah Elizah. Untuk beberapa menit tidak terjadi apa-apa. Lalu tubuh Elizah mulai bergetar. Detak jantung di monitor melonjak. Josephine langsung maju, menggenggam tangan adiknya dengan panik.
“Machi!?”
“Aku tahu! Aku tahu!” Machi menyesuaikan dosis di mesin kecil di sampingnya. “Tahan sebentar lagi, Josephine! Reaksi awalnya memang seperti ini!” Ujar Hyun menenangkan keadaan.
Udara di ruangan terasa menegangkan, hingga tiba-tiba—beep—monitor stabil. Nafas Elizah kembali teratur. Suhunya turun perlahan.
Josephine menatap Machi, hampir tak percaya. “Berhasil?”
Machi mengangguk, senyumnya lelah tapi tulus. Mendadak tubuh kecil Josephine memeluk Machi. “Terima kasih, Machi.” Ucapnya berulang kali tanpa mengetahui mata Hyun terpaku pada interaksi Machi dan Josephine.
“Untuk sementara, ya. Tapi kita belum tahu efek jangka panjangnya.” Ucap Hyun setelah menganalisa sebentar.
Josephine menghembuskan napas panjang, tubuhnya nyaris roboh karena tegang. Ia menatap Elizah yang tertidur damai untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu.
Machi menatap Josephine lama, lalu berkata pelan, “Kadang aku lupa… betapa kerasnya kamu berusaha untuk tetap jadi manusia di dunia yang selalu menuntutmu jadi makhluk lain.”
Josephine tersenyum kecil. “Aku nggak punya pilihan lain.”
Malam itu, Josephine berdiri di balkon rumah, menatap langit yang penuh bintang. Angin malam mengibaskan rambut hitamnya, dan untuk sesaat, wajahnya terlihat begitu lelah.
Ia tahu badai belum selesai. Dunia bisnis, para Alpha, pemegang saham yang ingin menumbangkannya — semuanya menunggu ia tergelincir. Tapi malam ini, hanya ada satu hal yang penting yaitu Elizah masih hidup. Dan di dalam hatinya, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Josephine merasa sedikit damai.