Ingin Diubah

1940 Words
Langit pagi itu berwarna kelabu seperti baja yang tak selesai ditempa. Di ruang utama kantor pusat Depaul Conglomerate, Josephine duduk di kursi barunya—kursi kulit hitam yang dulunya hanya boleh disentuh oleh Dev. Di depannya, setumpuk berkas telah ditandatangani. Salah satunya adalah Pemutusan Hubungan Kerja Massal untuk seluruh pegawai dari kategori Alpha dan Omega. Tangannya tidak bergetar sedikit pun ketika menandatangani dokumen terakhir. Pena bergeser pelan di atas kertas. Tanda tangan itu melengkung tegas, menciptakan garis akhir antara dunia lama yang dikendalikan feromon dan dunia baru yang tunduk hanya pada kemampuan. Jeremi, berdiri di dekat pintu sambil membawa tumpukan map lain. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyimpan kekhawatiran. “Keputusan ini… akan menciptakan gelombang besar, Josephine.” Josephine menutup map terakhir dan menatapnya. “Gelombang besar akan tetap datang, Pak Jeremi. Bedanya, sekarang aku akan mengendalikannya.” “Nona Josephine tahu betul, sebagian besar dewan masih terdiri dari Alpha terutama mereka yang berada di bawah pemegang saham. Mereka tidak akan tinggal diam.” Josephine tersenyum tipis. “Justru itu. Aku ingin tahu siapa yang masih berani menentang kebijakan ini.” Rox masuk tepat saat Josephine berdiri dari kursi. Wajahnya menegang. “Aku sudah dengar,” katanya tanpa basa-basi. “Pemutusan hubungan kerja untuk semua Alpha dan Omega dalam satu minggu?” Josephine menatapnya tenang. “Ya. Efektif mulai hari ini.” “Jo, kamu tahu apa artinya?!” Rox mendekat, suaranya meninggi. “Kamu bukan cuma memangkas tenaga kerja utama, kamu sedang mengumumkan perang pada struktur sosial yang menopang kita selama puluhan tahun!” Josephine menatap Rox lama. “Struktur sosial itu yang membunuh Papaku. Yang menertawakan Papa karena dia Omega. Dan yang akan memprovokasi aku dengan Elizah jika dibiarkan.” Rox terdiam sejenak. “Tapi tidak semua Alpha sama, Jo. Banyak dari mereka loyal.” “Tidak ada yang benar-benar loyal ketika feromon mereka bisa dikendalikan oleh sistem,” jawab Josephine pelan, tapi dingin. “Aku tidak ingin sistem. Aku ingin manusia.” Hening. Jeremi menunduk, pura-pura membaca catatan di tangannya, tapi semua orang tahu ruangan itu menegang seperti tali biola yang siap putus. Mimik wajah Rox mengeras dan melenggang pergi diikuti Jeremi di belakangnya. Josephine yang melihat pamannya pergi dengan wajah kecewa jelas tidak peduli. Siang harinya, keputusan resmi dipublikasikan. Dunia bisnis gempar. Berita menyebar cepat ke media baik secara republik hingga terdengar secara internasional. “CEO Baru Depaul Conglomerate Terapkan Kebijakan Anti-ABO!” “Josephine Agust Pecat 2.000 Pegawai, Guncang Dunia Korporat!” “Apakah Depaul Conglomerate Akan Runtuh di Tangan Seorang Omega?” Sementara publik sibuk berspekulasi, Josephine sibuk menyiapkan cabang baru bernama Depaul Division—perusahaan cabang dengan kebijakan ketat yang hanya mempekerjakan Beta. Jeremi membaca laporan dengan nada tidak percaya. “Anda benar-benar serius… mengganti seluruh divisi dengan Beta.” “Ya,” jawab Josephine tanpa ragu. “Aku ingin lihat dunia berjalan tanpa aroma.” Di balik ketegasan itu, Josephine tahu risikonya besar. Setiap langkahnya seperti menari di atas tali, satu gerakan salah bisa menjatuhkannya ke jurang. Tapi ia juga tahu — bila terus membiarkan dunia bergantung pada takdir biologis, tidak akan pernah ada ruang bagi mereka yang seperti dirinya. Dua hari kemudian, Dev datang dengan kerumunan wartawan mengerubungi. Para penjaga sangat kewalahan terutama mereka menjejal pertanyaan mengenai Josephine. Namun, Dev bungkam memilih berjalan pelan dengan tongkat kayu elegan dilapis emas tepat di pegangan, tapi suaranya masih menggetarkan ruangan ketika berkata, “kamu sudah gila, Jo.” Kata itu ketika dia sampai di ruangannya dulu. Di dalam ruangan sudah ada Rox, Jeremi dan Josephine. Lalu gadis itu menunduk hormat, “Kakek, aku hanya—” Dev memotong cepat. “Kamu ingin mengubah dunia? Dunia tidak bisa diubah dengan pisau. Kamu hanya akan berdarah.” Josephine menatap kakeknya, matanya tajam tapi tidak menantang. “Aku sudah berdarah sejak lahir, Kek.” Dev mendengus, lalu batuk panjang. Rox sigap menahan bahunya. “Ayah tidak seharusnya berjalan ke sini, keadaan—” Dev menepis tangan Rox pelan. “Aku masih bisa bicara. Dan aku masih kepala keluarga ini.” Ia menatap Josephine tajam. “Josephine terlalu mirip diriku di masa muda. Keras kepala, ambisius, ingin melawan arus. Tapi dengar revolusi tidak dilakukan sendirian.” Josephine terdiam, menunggu kelanjutannya. “Aku tanya sekali lagi. Apa kamu takut dengan Elizah dan para Alpha? Atau memang kamu tidak percaya diri jika Elizah menjadi Alpha?” Pertanyaan itu menohok. Josephine menggeleng beberapa kali. Dia tidak pernah takut dan justru bangga jika nanti Elizah bisa berdiri tetapi. “Aku tidak memahami perasaan Dion begitu juga dirimu, Josephine.” Dev melanjutkan dengan suara lebih lembut. “Aku tahu kamu ingin melindungi Elizah. Tapi melindungi seseorang bukan berarti menghancurkan semua orang di sekitarnya. Lagian Elizah itu lebih dari sekedar mampu untuk melindungi dirinya bahkan dia bisa melawan 200 Alpha.” Rox menimpali hati-hati, “Kamu masih bisa mempertahankan prinsipmu, Jo, tapi dengan cara lebih strategis. Dev sudah menyiapkan pilihan lain.” Josephine menatap mereka berdua. “Pilihan?” Dev tersenyum tipis. “Kamu pindah. Pimpin cabang Beta di distrik barat. Di sana mayoritas pekerja adalah Beta. Tidak ada Alpha, tidak ada Omega. Uji teorimu di sana.” “Dan meninggalkan kantor pusat?” Josephine menyipitkan mata. “Terdengar seperti pengasingan.” “Bukan pengasingan,” sergah Dev. “Itu panggung. Buktikan idemu bisa berhasil di tempat yang tidak mengenal aroma. Kalau kamu sukses, bahkan Alpha sekalipun akan tunduk pada hasilmu.” Josephine menatap kakeknya lama. Di balik matanya yang lelah, Dev masih memiliki sorot tajam yang sama seperti saat dulu memimpin dunia bawah tanah. Ada rasa hormat yang tidak bisa diabaikan. “Aku tidak akan lari,” ucap Josephine pelan. Dev tersenyum getir. “Aku tidak bilang kamu harus lari. Aku bilang kamu harus bertahan dengan cara yang lebih cerdas.” Pria tua itu kemudian memilih duduk di kursi roda yang sudah disediakan penjaga. Ia pergi tidak lama setelah para wartawan di usir dari depan lobby kantor. Malamnya, Josephine berdiri di balkon kantor pusat, menatap lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. Rox datang membawa dua gelas minuman. “Dia benar, kamu tahu,” kata Rox sambil menyerahkan satu gelas. “Kadang cara terbaik untuk menang bukan dengan melawan, tapi dengan mengalihkan medan perang.” Josephine meneguk sedikit, matanya tak lepas dari cahaya kota. “Aku hanya ingin tempat di mana feromon tidak menentukan nasib seseorang.” Sedikit ia menimbang, apa yang terjadi jika kakeknya tidak tiba? Rox menatapnya. “Kamu sedang menciptakan dunia baru, Jo. Tapi ingat, bahkan dunia baru pun butuh orang lama untuk menjaganya.” Josephine tersenyum samar. “Itu sebabnya aku butuh Paman Rox.” Nada suara lembut itu bisa meluluhkan hati. Rox tertawa pelan. “Sial, aku tahu kamu akan bilang begitu.” Beberapa hari kemudian, perintah Dev ditandatangani resmi. Josephine dipindahkan ke cabang distrik barat. Bersamaan dengan itu, ribuan pegawai Alpha dan Omega diberi surat mutasi atau kompensasi keluar. Di ruang kerjanya yang mulai kosong, Josephine memandangi meja kerja untuk terakhir kali. Di sana masih tergeletak foto keluarga — Dion, Dev, dan dirinya. Ia memegang bingkai itu sebentar, mengusap debu di sudut kaca. “Papa, kalau Papa masih hidup, mungkin Papa akan menertawakan aku,” bisiknya pelan. “Tapi aku akan terus berjalan. Sekalipun dunia ini menolak langkahku.” Rox muncul di pintu, membawa koper. “Mobil sudah siap.” Josephine menoleh, tersenyum kecil. “Kamu akan ikut mengawasi cabang?” Rox menggelengkan kepala. “Ayah sudah memintaku menjaga administrasi sementara kamu fokus pada distrik barat.” “Jaga Jeremi juga,” kata Josephine sambil mengambil jasnya, tentu ia tidak melihat wajah terkejut Rox. “Dia terlalu jujur untuk dunia ini.” Lanjutan kalimat itu membuat Rox tersenyum tipis. “Dan kamu terlalu keras untuk dibiarkan sendirian.” Josephine menatap sekali lagi ruangan yang kini kosong—kursi hitam, meja kayu mahoni, jendela besar tempat cahaya sore menembus seperti selubung emas. Dulu tempat ini penuh kenangan Papa dan kakeknya. Lalu ia melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Ketika mobil hitam itu meluncur meninggalkan gedung utama, ternyata ada mobil Dev yang mengamati. “Dia akan mengubah dunia, meski dunia itu akan melukainya dulu,” kata Dev lirih pada seseorang di samping kursinya. “Ayah percaya padanya?” Pria itu ternyata Rox dengan sedikit mengubah gaya rambutnya lebih ke atas. “Aku percaya pada logika anak itu. Dan pada tekad yang sama yang dulu membuatku membangun ini semua dari abu.” Ia batuk kecil, menutup matanya sebentar. “Tapi aku juga tahu, revolusi tidak akan datang tanpa korban.” Rox menatap ke depan suaranya pelan, “Semoga kali ini dunia tahu kapan harus berhenti menguji seseorang dengan feromon.” Dan di kejauhan, Josephine di dalam mobilnya membuka jendela, membiarkan angin malam masuk. Di matanya, tidak ada ketakutan — hanya keheningan seorang pemimpin yang siap membangun kerajaan dari awal, di tanah baru, dengan tangan yang sudah belajar berdarah. “Dunia tidak akan berhenti karena aku Omega,” gumamnya. “Justru karena aku Omega, dunia akan belajar berhenti membedakan.” Mobil melaju, meninggalkan kilau kota di belakang. Begitu sampai dia memasuki gedung apartemennya. Untuk sejenak dia berhenti ke arah toko bunga milik Elizah. Sudah hampir 2 minggu toko itu tutup. Bisa terlihat dari debu dan beberapa embun di dalam toko, mungkin saja sudah banyak tanaman mati tidak diurus. “Kak, kenapa baru pulang?” tanya Elizah dengan setelan santai. Josephine sedikit terkejut kemudian menggiring tubuhnya mendekat. “Ah, mulai hari ini dan seterusnya aku akan mengelola kantor di daerah Barat.” Katanya mengelus kepala Elizah. Entah sejak kapan tubuh gadis remaja itu bertambah tinggi. Tangan Josephine sedikit lelah hanya sekedar merapikan rambut bekas cetakan bantal adiknya. “Dimana?” “Di distrik Hijau. Tenang di sana aman.” Jawab Josephine yang langsung berhenti. Tangannya digenggam erat oleh Elizah. “Astaga semakin aneh saja. Apa itu perintah Rox?” tanya lagi Elizah kali ini dia bersikap sinis begitu sampai dengan nama Rox. Sejak kecil ia tidak suka Alpha resesif itu karena terlalu menempel pada Dion dan Josephine. Walau Elizah sadar diri tetapi dia merasakan ada hawa aneh begitu ia bertatap mata dengan Rox. “Bukan. Aku yang meminta ke Kakek dan Paman Rox.” “Setidaknya pak tua itu tahu kemampuanmu.” Josephine membiarkan Elizah berkata tidak sopan. Elizah sendiri sangat hormat dan patuh dengan Dev maupun Rox. Begitu sampai di dalam apartemen, Josephine bertanya ke Elizah. “Gimana? Apa masih sakit?” “Hah?” Gadis itu mengerjap berkali-kali tidak mengerti maksud Josephine. “Bukannya hari ini ada pemeriksaan rutin?” lanjut Josephine mencubit salah satu sisi pipi Elizah. Elizah cemberut mendengarnya. “Ah, Dokter Hyun terlalu protektif seperti Kakak!” Alis Josephine terangkat, Hyun yang ia tahu bersikap profesional. “Kenapa?” Elizah menyeret kakaknya duduk dan memberikan tulisan saran Hyun. Elizah kemudian impersonet Hyun khas cara senyuman yang menurutnya menjijikan. “Dia menyuruhku melakukan yoga, berenang, lari dan olahraga lain.” Josephine tertawa mendengarnya adiknya meniru suara berat Hyun. “Bukannya itu bagus?” “Aku gak suka keringatan.” Keluhnya memeluk pinggang kakaknya. Ia beberapa kali menggeleng saat Josephine memilih olahraga rumahan yang sedikit mengeluarkan keringat. “Baiklah nanti aku bicara ke dokter Hyun.” Putus Josephine. Ia kemudian ingin beranjak masuk ke kamar tapi Elizah mengatakan kalimat yang membuat hatinya sakit. “Sama kurangi dosis obatnya ya. Aku sering ketiduran, apalagi besok pertama kali masuk sekolah setelah 2 minggu absen.” Josephine tahu hanya penenang yang saat ini berhasil. Hyun belum menemukan resep yang cocok untuk Elizah. Kasus kebangkitan rut Enigma sangat langka dan Josephine minim literasi soal itu. Karena terlalu lama berpikir Elizah memanggil kakaknya, “Kak Jo? Kenapa?” “Ya. Aku akan bicara ke dokter Hyun,” jawab Josephine akhirnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia tidak segera mencari obat untuk Elizah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD