Ruang rapat lantai dua puluh lima dipenuhi suara pendingin ruangan dan desis halus kain jas yang bergesekan. Rox berdiri di depan layar besar, memaparkan laporan kuartal dan rancangan arah perusahaan setelah Dev resmi menyerahkan tampuk kekuasaan. Di sisi kanan ruangan, Josephine duduk tegak—tenang tapi tegang. Dia terus menatap ke arah kaca satu arah.
“Jadi,” suara Rox akhirnya mengakhiri paparan panjangnya, “mulai bulan depan, semua keputusan strategis akan melewati tangan Josephine.”
Suasana yang sebelumnya formal berubah menjadi riuh rendah. Beberapa pemegang saham saling bertukar pandang, sebagian tersenyum kecut, sebagian lagi langsung menggelengkan kepala.
Seseorang dari ujung meja, pria paruh baya dengan cincin berlian di jari kelingking, bersuara lantang, “Rox, kau serius menempatkan seorang Omega di kursi tertinggi? Kita sudah cukup menderita karena ambisi satu Omega di masa lalu!”
Rox menatapnya tajam. “Dion bukan Josephine. Josephine juga bukan Dion.”
“Tapi darahnya sama!” sambung seorang wanita tua di sebelahnya. “Omega yang kehilangan kendali akan selalu membawa bencana. Apa Anda lupa, Tuan Muda Rox, betapa kacaunya perusahaan ini saat mendiang Tuan Dion memimpin cabang hanya bermain kucing bersama mantan Alphanya? Dia menghancurkan reputasi keluarga Agust!”
Suara langkah sepatu terdengar pelan lalu pintu ruangan terbuka lebar. Tampilan Josephine berdiri dengan jas terbuka terkesan mengintimidasi. Apalagi rambut pendek itu jelas menampakkan leher putih tanpa kalung penanda. Tangannya menepuk secara otomatis membuat para Alpha di dalam ruangan berdiri. Begitu sampai di posisi Rox, Josephine mendudukkan diri tepat dihadapan seorang Pria muda.
“Apakah dia Ayahmu, Tuan Muda Wilson?”
Pria itu langsung menunduk dengan tangan memegang kursi. Josephine mendengus kasar lalu menyuruh mereka duduk. “Silakan duduk, Tuan dan Nyonya.”
“Kalau kalian ingin membicarakan masa lalu, pastikan kalian tahu versi lengkapnya,” katanya datar.
Dia berjalan pelan hingga sampai ke ujung meja. “Dion bukan dihancurkan oleh ambisi, tapi oleh sistem yang menolak menerima bahwa Omega juga bisa berpikir.” Katanya menatap mata Alpha tua tersebut.
“Dan apa anda pikir dunia sudah berubah?” tanya pria bercincin itu sinis. “Atau anda hanya sedang mencoba menulis ulang sejarah dengan nama barumu?”
Josephine tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Mungkin sejarah memang butuh penulis baru.”
Rox menatap sekeliling, mencoba menenangkan suasana, namun beberapa suara protes tetap terdengar. Ya, beberapa orang cemas kalau Josephine mengeluarkan feromonnya.
“Rox, ini bukan soal gender,” kata salah satu direktur muda bernama Dyan, “ini soal kestabilan. Kami tidak ingin perusahaan dipimpin oleh seseorang yang mungkin terpengaruh feromon—”
“Feromon milikku sudah mati sejak umur lima belas,” potong Josephine dingin.
“Tidak ada Alpha yang bisa mempengaruhiku, dan tidak ada Omega yang bisa menarik simpatiku.”
Ruangan mendadak senyap. Rox menatapnya, setengah khawatir, setengah kagum.
Josephine melanjutkan, “Aku tidak memihak siapa pun, bukan Alpha, bukan Omega. Aku hanya memihak hasil kerja.” Ia menatap satu per satu wajah di meja rapat. “Jika kalian ingin pemimpin yang bisa ditaklukkan dengan aroma, kalian bebas mundur sekarang. Tapi jika kalian ingin tiran yang bisa bertahan seratus tahun ke depan, duduk dan dengarkan.”
Kata-katanya menggema dalam diam yang panjang.
Rox menarik napas, lalu menepuk meja ringan. “Kita lanjutkan agenda. Keputusan telah dibuat.”
Namun sebelum ia bisa berpindah ke topik berikutnya, suara berat dari ujung meja terdengar lagi. “Rox, kau lupa satu hal,” kata pria tua dengan tongkat perak. “Dion dulu juga berkata hal yang sama. Bahwa dia akan memimpin tanpa nafsu, tanpa sisi Omega-nya. Tapi akhirnya? Dia menghancurkan keluarga dan pergi tanpa kehormatan.”
Kali ini Josephine tidak membalas langsung. Ia berjalan perlahan ke arah jendela besar, menatap keluar ke gedung-gedung yang berdiri di bawah langit abu-abu.
“Papaku adalah Omega yang mencintai dunia yang tidak mencintainya kembali,” ucapnya pelan. “Tapi aku bukan dia. Aku tidak mencintai siapa pun di ruangan ini.”
Kata-kata itu, tenang namun menggigit, membuat semua orang menahan napas.
Rox akhirnya menyela dengan tegas, “Rapat selesai. Kita akan kirimkan keputusan resmi sore ini.”
Satu per satu kursi bergeser. Para pemegang saham keluar dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara takut, tidak percaya, dan penasaran. Terutama pada Tuan Wilson yang terus menatap sinis.
Begitu ruangan kosong, Rox menatap Josephine lama. “Kamu tahu, Jo, kadang kekuatan paling menakutkan bukan dari Alpha, tapi dari Omega yang berhenti berharap pada siapa pun.”
Josephine menatap ke luar jendela, melihat pantulan dirinya di kaca tinggi. “Aku tidak berhenti berharap, Rox. Aku hanya berhenti menunggu izin.”
Rox tertawa pelan, getir tapi tulus. “Dion pasti sangat bangga padamu.”
Josephine tersenyum samar. “Aku harap tidak. Aku tidak ingin menjadi seperti Papa.”
Hening menggantung di antara mereka, seperti kabut tipis yang enggan menguap meski matahari sudah mencoba menembusnya.
Di luar, matahari siang hari malu-malu di antara padatnya awan putih—seolah ikut menyaksikan lahirnya ratu baru di tengah kerajaan yang menolak mengakuinya. Udara di sekitar gedung masih menyimpan sisa dingin pagi dan langkah-langkah orang yang berlalu di koridor memantul di dinding. Menciptakan gema lembut yang membuat pertemuan itu terasa seperti kebetulan yang sudah ditentukan takdir.
Hyun yang tidak sengaja memasuki gedung bertemu dengan Josephine. Ia baru saja menuruni tangga, jas putihnya terbuka sedikit memperlihatkan kemeja biru pucat di dalamnya. Dalam genggamannya, map laporan pasien masih belum sempat disimpan—tanda bahwa pikirannya sebenarnya sedang di tempat lain. Tapi ketika matanya bertemu dengan Josephine, langkahnya terhenti. Ada sesuatu pada cara perempuan itu menoleh—tenang, tegas, namun dengan sorot mata yang seperti menyimpan banyak hal yang tak bisa diucapkan.
“Nona Josephine.”
Suara Hyun pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan di antara hiruk-pikuk gedung. Nada suaranya menurun sedikit, lembut.
“Dokter, ada apa?”
Josephine menjawab singkat, matanya menatap Hyun dengan sedikit curiga namun tetap sopan. Pria itu sangat jarang keluar dari tempat kerja. Apalagi sekarang dia harus mengawasi kondisi Elizah di rumah sakit.
“Ah, aku ingin menemuimu.”
Hyun mencoba menyusun senyum di wajahnya. Tidak berlebihan, tapi cukup tulus. Ia tahu Josephine bukan tipe yang mudah didekati dengan basa-basi, maka ia memilih kalimat sederhana. Dalam hatinya, ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi ia tahu waktu dan situasi belum berpihak padanya.
“Baiklah, kita akan ke kafe sekalian makan siang.”
Nada Josephine datar, tapi bukan penolakan. Ia melangkah lebih dulu, tanpa menunggu, sementara Hyun mengikuti dengan langkah yang sedikit lebih cepat, seperti anak magang yang berusaha menyesuaikan tempo atasan.
“Apa ada kekurangan di Rumah Sakit?” Pertanyaan Josephine terdengar profesional. Ia menatap lurus ke depan, tidak menoleh, seolah ingin memastikan bahwa percakapan ini tetap berada di ranah formal.
“Tidak. Semua sudah ditangani cepat.”
Hyun menjawab dengan sedikit lengkungan di ujung bibirnya. Matanya memandangi gerak Josephine yang elegan saat berjalan. Ia menyadari bahwa di balik ketenangan itu ada tembok tinggi, tapi justru itulah yang membuatnya ingin mencoba lebih dekat.
Josephine seperti melihat anak anjing begitu Hyun tersenyum dan ingin mendengar perintahnya. Ada sesuatu pada tatapan Hyun—tidak sekadar hormat, seperti seseorang yang menatap cahaya dari kejauhan dan diam-diam berharap bisa mendekat tanpa terbakar.
“Kita makan dulu.”
Nada Josephine mulai melunak. Ia menunjuk kursi di dekat jendela kafe sekitar kantornya. Dari sana, mereka bisa melihat taman kecil yang tertata rapi, dengan bunga marigold yang baru mekar. Pelayan datang membawa daftar menu, dan suasana mulai terasa lebih santai.
“Nona Jo, apa Anda suka burger?”
Pertanyaan Hyun terdengar ringan, tapi sebenarnya penuh kehati-hatian. Ia berusaha mencari celah kecil untuk mengenal Josephine di luar perannya sebagai kepala rumah sakit.
“Tidak, dokter mau burger?”
Nada Josephine tetap datar, tapi bibirnya bergerak sedikit, nyaris membentuk senyum—reaksi kecil yang cukup membuat Hyun lega.
“Ah, samakan saja dengan pesanan Anda.”
Jawaban itu datang cepat, tapi nada suaranya lembut. Ia tidak ingin terlihat menekan, hanya ingin duduk lebih lama bersamanya, meski dengan alasan sederhana seperti makan siang.
“Baiklah.”
Josephine mengangguk, menutup menu, dan menyerahkannya pada pelayan. Sementara itu, Hyun menatap jendela, namun sesekali matanya kembali pada Josephine, memerhatikan cara ia menautkan jari-jarinya, cara bahunya tetap tegak, dan bagaimana keheningan di antara mereka tidak terasa canggung—melainkan seperti sesuatu yang pelan-pelan tumbuh.
Sebelum makanan datang, Hyun mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya merendah, kali ini membawa nada serius yang berbeda dari sebelumnya.
“Nona Jo,” katanya, “saya juga ingin membicarakan sesuatu... tentang Elizah.”
Josephine menoleh pelan. “Elizah? Kenapa?”
“Dia masih dirawat di ruang pemulihan. Kondisinya stabil, tapi...” Hyun menatap mejanya sejenak sebelum melanjutkan, “ada gejala stres hormonik yang belum sepenuhnya mereda. Saya pikir itu akibat kurang istirahat. Ia sering menolak pemeriksaan lanjutan.”
Josephine menarik napas, jemarinya mengetuk meja. “Anak itu memang keras kepala.”
“Ya, tapi dia juga tampak... khawatir tentang sesuatu. Mungkin keluarga, atau mungkin—” Hyun berhenti, lalu melanjutkan lebih lembut, “mungkin karena ia tidak ingin merepotkan siapa pun, termasuk Anda.”
Pandangan Josephine mengendur sesaat. “Saya tahu. Dia selalu berusaha mandiri.”
Hyun mengangguk. “Saya hanya ingin Anda tahu, saya akan pastikan Elizah pulih sepenuhnya. Tapi... kadang pasien butuh seseorang yang mereka percayai, bukan sekadar dokter.”
Ucapan itu membuat Josephine menatapnya lebih lama dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ada percikan kecil di matanya—antara rasa terima kasih, dan sesuatu yang tak sempat ia sebutkan.
“Terima kasih, Dokter Hyun,” katanya pelan. “Saya hargai perhatian Anda.”
Hyun tersenyum kecil, menatapnya tanpa banyak kata lagi. Dan di antara aroma kopi yang baru diseduh, di tengah percakapan tentang pasien dan hal-hal kecil yang tak disengaja, ada jarak yang mulai menyempit—bukan karena waktu, melainkan karena dua hati yang diam-diam mulai saling memahami.