Elizah berdiri di sana dengan wajah kesal, tubuhnya masih sedikit bergetar karena sisa adrenalin dari latihan sore tadi. Rambutnya kusut, menempel di lehernya, dan sebagian tersangkut di kerah jaket hitam yang belum sempat ia lepaskan. Di balik segala kekacauan penampilannya, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak biasa. Tatapannya tajam, lebih hidup, lebih penuh api daripada yang Josephine lihat dalam beberapa bulan terakhir.
Josephine, yang sedang sibuk membersihkan sisa riasan dari wajahnya, menatap adiknya lewat pantulan cermin. Di sana, di ambang pintu, Elizah tampak seperti bayangan masa lalu yang kembali ke hidup spontan, penuh energi, keras kepala, namun diam-diam penuh kasih. Sudah lama sekali Josephine tidak melihat ekspresi itu. Biasanya Elizah lebih dingin, lebih datar, seolah dunia tidak lagi memiliki tempat aman untuknya.
“Kamu tahu Machi bukan orang biasa, kan?” suara Elizah terdengar seperti ledakan kecil di ruang hening itu.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Josephine mengangkat dagu sedikit, memiringkan kepala dengan tenang, meskipun hatinya sedikit berdebar. “Dia Beta.”
“Beta yang tidak pernah lolos tes genetik di bawah tim medis Hyun. Ada yang aneh, Kak.” Nada Elizah meninggi, bukan karena kemarahan tapi kecemasan yang tidak ia tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
Josephine menurunkan kapas pembersih dari pipinya, berhenti sejenak. Cahaya lampu putih di ruangan memantul di permukaan meja kaca, menciptakan bayangan yang bergerak halus setiap kali ia bernapas. “Elizah, aku tahu kamu tidak suka dia.”
“Dia itu naif, Kak. Machi berpikir semua orang bisa diselamatkan. Tapi dunia kita nggak sesederhana itu!”
“Aku tidak suka orang yang membuatmu lengah!” tambah Elizah semakin meninggikan suaranya.
Nada itu—marah, namun terselip rasa sayang—menusuk Josephine dengan cara yang sangat familiar. Itu nada yang sama yang dulu sering ia dengar saat mereka masih kecil, ketika Elizah selalu berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah cemberut setiap kali Josephine pulang terluka setelah latihan atau misi.
Josephine menatapnya dari cermin, lalu berbalik perlahan. Kontur wajah Elizah yang tegang tampak jelas dari pantulan cahaya jendela. Anak yang dulu selalu ia peluk saat mimpi buruk menyerang kini berdiri tegak, penuh keberanian, berani menentangnya.
“Aku bisa menjaga diriku sendiri,” ucap Josephine pelan, meski ia tahu kalimat itu hanya setengah benar.
Elizah menatapnya lama, lebih lama dari biasanya. Nafasnya naik turun, menahan emosi yang sulit ditaklukkan. Lalu suaranya melembut—benar-benar melembut. “Aku cuma tidak mau kamu terluka lagi, Kak Josephine.”
Kata-kata itu menyentuhnya lebih kuat dari yang mau ia akui. Ada sesuatu di d**a yang menghangat, seperti bara kecil yang lama mati kini kembali menyala. Ia terdiam cukup lama, bukan karena marah, tetapi karena terlalu banyak yang ingin ia katakan—dan tidak ada satupun yang dapat keluar dengan benar.
“Elizah, dia hanya mencoba bersikap baik. Kenapa kamu begitu keras padanya?”
“Karena dia terlalu percaya! Dan aku nggak mau orang seperti itu di sekitarmu,” balas Elizah cepat.
Mata mereka bertemu. Untuk sesaat, keheningan menjadi tebal. Ada banyak hal yang belum terucap, banyak ketakutan yang belum diberi nama, banyak luka yang belum tertutup.
Josephine akhirnya berbalik. “Kamu masih terlalu muda untuk tahu apa itu pengkhianatan.”
Seketika Elizah menggigit bibirnya, menahan emosi. “Atau mungkin kamu terlalu percaya pada orang yang salah.”
Ucapan itu seperti pisau, menembus pertahanan Josephine. Ia menatap Elizah dalam, seolah hendak membalas, namun sebelum kata-kata sempat keluar, suara keras menggema dari luar.
— BRAK!
Dalam momen itu, Josephine menyadari sesuatu kalau Elizah yang dulu sering ia pikir telah berubah menjadi terlalu dingin, terlalu tertutup, sebenarnya tidak benar berubah. Gadis itu hanya tersembunyi di balik kepura-puraan menjadi dewasa, berusaha membuktikan warisan genetik yang terlalu berat di dunia yang menuntutnya tumbuh terlalu cepat. Dan hari ini, entah mengapa, sisi lamanya itu kembali muncul.
Setelah Elizah pergi, Josephine berjalan mendekat ke jendela besar di ruang pribadinya. Cahaya kota menyala seperti guratan neon di lukisan kelam. Biru, merah, dan putih berpendar dalam ritme yang seakan tidak pernah tidur. Dari atas gedung tinggi milik keluarganya, kota terlihat seperti organisme hidup—sebuah makhluk raksasa penuh denyut dan bahaya.
Josephine menatap pantulan wajahnya di kaca. Perempuan muda bermata tajam itu tampak lebih lelah dari yang ia bayangkan. Ada garis tipis keletihan di bawah matanya, bekas dari malam-malam panjang yang dihabiskan untuk rapat, investigasi, ancaman, dan keputusan sulit. Namun di balik kelelahan itu, ada sesuatu yang baru. Sebuah senyum samar yang nyaris tidak terlihat.
Senyum yang muncul setiap kali ia mengingat Machi—senyum hangat, polos, tulus. Dan bersamaan dengan itu, ada bayangan lain yaitu tatapan dingin Hyun yang selalu berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dua dunia, dua arah berbeda yang sama-sama menariknya.
Dua pandangan, dua dunia. Yang satu hangat dan menenangkan; yang lain sunyi tapi menusuk, membuatnya ingin tahu lebih.
Dan di antara keduanya, Josephine berdiri sendirian di ambang—seperti seseorang yang tahu badai sudah dekat, tapi memilih tidak menutup jendela. Karena mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu rasanya terbawa angin, bukan hanya melawan badai.
Ia belum sempat larut lebih jauh dalam pikirannya ketika suara Elizah kembali menggema dalam ingatannya.
“Dia itu naif, Kak. Machi berpikir semua orang bisa diselamatkan. Tapi dunia kita nggak sesederhana itu!” Josephine tersenyum tipis saat mengingat perdebatan mereka yang terjadi beberapa jam.
Keesokan harinya. Lampu padam seketika begitu tembakan terakhir menggema. Dunia tenggelam dalam gelap. Hanya suara detak jantung Josephine yang terdengar jelas di telinganya akibat keheningan. Lalu muncul suara langkah cepat. Desis senjata listrik.
Saat ini dia sedang melakukan penyelidikan sendiri tanpa Rox. Meskipun tidak tepat jika harus menghitung ajudan dan penjaga Josephine yang setia tengah bersembunyi.
“Kalian segera turun, aku sudah melumpuhkan semuanya.” Ucap Josephine ke trans-lokal pembicara yang menempel di lengannya, setelah mengetahui para penjaga bergerak mendekat.
Begitu sampai ternyata terdapat petugas medis yang salah satunya adalah Hyun.
“Nona Josephine!” Hyun menerobos dari pintu samping, matanya berkilat seperti binatang liar. “Jangan bergerak!”
Namun, ia sudah terlambat. Dua sosok bersenjata melompat dari bayangan. Semuanya terjadi terlalu cepat—terlalu cepat untuk sempat dipahami.
Suara tembakan senyap.
Benturan tubuh.
Teriakan pendek.
Darah yang menetes di lantai.
Josephine hanya sempat melihat kilatan besi mendekat sebelum tubuhnya ditarik kasar ke belakang. Hyun bergerak—bukan seperti manusia, mungkin inilah yang dimaksud kekuatan Alpha Dominan. Gerakannya seperti kilat cahaya. Nyaris tidak terlihat. Dalam hitungan detik, dua penyerang itu tergeletak tak bergerak.
“Alpha Dominant,” bisik salah satu musuh yang masih sadar, nafasnya terputus-putus. “Kamu… tak seharusnya ada di sini.”
Hyun menatapnya dingin. “Kalian pun tidak seharusnya hidup setelah mencoba menyentuh Nona Josephine.”
Ia menekan titik di leher penyerang itu—dan nafasnya berhenti seketika.
Beberapa menit kemudian, Rox datang bersama pasukan keamanan pribadinya. Tampak sekali dari raut lelahnya. Pria itu selalu tampak tenang, tapi malam ini wajahnya lebih tegang dari biasanya. Mungkin sebagian jiwanya masih bersama dengan keluarga Jeremi.
“Semuanya sudah kami amankan. Tapi ini bukan serangan biasa. Lihat ini.” Ujar salah satu ajudan.
Hyun yang berkeliling di sekitar para korban tembakan Josephine memperhatikan seksama. Kemudian ia menemukan sesuatu yag aneh. Dilemparkan tablet digital yang telah rusak ke meja. Di layar, logo tua muncul—buram, tapi jelas. Lingkaran patah dengan tanda vertikal.
Epsilon Order.
Josephine menatap simbol itu tanpa suara. Ia sudah tahu pasti GeneSol yang mengeluarkan taringnya. Hyun bertanya pelan, “Anda tahu lambang ini?”
Rox menjawab duluan, cepat, seolah tahu pertanyaan itu menyakitkan. “Ini organisasi yang dulu dibubarkan Julien. Tapi tampaknya, mereka kembali.”
“Busuk sekali mereka...” Josephine bergumam. “Ayah sudah menghancurkan mereka bertahun-tahun lalu.” Kata-kata itu tidak meyakinkan bahkan bagi dirinya sendiri.
“Ada nama di sini,” tunjuk Hyun ke salah satu alat komunikasi musuh.
“E…Than?” Rox membaca tulisan yang dibuat susah untuk dibaca.
“Apakah itu nama orang?” tanya Josephine yang dibalas gelengan kepala oleh Rox.
“Sebaiknya kita tanyakan kepada Julien. Mungkin dia memiliki data soal GeneSol dan Epsilon.” Nasihat Rox yang langsung disetujui oleh Hyun. Mereka pun akhirnya membereskan percobaan pengkhianatan cukup cepat. Dengan bantuan Hyun sedikit korban dari pihak Josephine.
Saat malam semakin dalam, Josephine duduk di tangga luar gedung. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena ketakutan yang baru pertama kali ia rasakan begitu nyata. Bukan akibat pertarungan. Rox menghampirinya pelan, sedikit ada rasa bersalah karena tidak menemani keponakannya. Meski sudah merasa percaya diri tetapi dia sangat cemas jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Kamu baik-baik saja, Jo?”
Josephine menelan ludah. “Hyun... dia bukan Alpha biasa ya?”
Rox menghela nafas panjang. “Kamu baru sadar?” Josephine tersenyum sedikit, ia memang baru menyadari perbedaannya sekarang. Jelas, dia tidak boleh meremehkan kekuatan Alpha.
“Aku harap dia bukan musuh kita, Paman.” Rox mengangguk, dia menyetujui perkataan Josephine.
Beberapa jam kemudian, di ruang bawah tanah rumah keluarga Julien—ruangan yang jarang dibuka, dingin, penuh arsip dan catatan lama—Josephine berdiri berhadapan dengan ayahnya.
Julien masih terlihat muda meski sudah menginjak kepala lima, rambut merah yang sebagian memutih memberi kesan indah cenderung kalem. Tidak seperti masa 20 tahun lalu, di masa prima, dia adalah Alpha yang paling ditakuti. Josephine mengakui saat itu dia sangat takut menatap mata silver milik Ayahnya. Karena sewaktu-waktu mata itu bisa berubah warna menjadi ungu kemerahan-khas para Alpha Dominan saat Rut.
“Siapa Ethan?” tanya Josephine, tanpa basa-basi.
Julien terdiam lama, seolah mencari cara yang paling tidak menyakitkan untuk menjawab. Namun pada akhirnya, tidak ada cara seperti itu.
“Ethan bukan musuhku dulu, Jo. Dia muridku. Mungkin saat ini dia yang memimpin Epsilon atas keinginan GeneSol.”
Hening jatuh. Julien melanjutkan, dengan suara berat yang mengandung penyesalan lama. “Dia dulu ilmuwan yang menciptakan formula genetik pertama untuk menstabilkan hubungan Alpha dan Omega. Tapi... setelah Elizah lahir, dia ingin mengambilnya. Dia percaya Elizah adalah kunci untuk menciptakan ras baru—campuran sempurna antara keduanya.”
“Jadi, Ayah menciptakan Elizah secara sengaja? Apa aku juga termasuk bagian yang Ayah rencanakan? Jangan-jangan Ayah sudah merencanakan sebelum Papa mendekati Ayah.” Pertanyaan demi pertanyaan diajukan cepat. Julien sedikit pun tidak goyah atas perkataan Josephine.
Julien menatap putrinya dengan sedih. “Ethan ingin merebutmu juga, bukan untuk menyakiti, tapi untuk memiliki. Dia terobsesi pada ide tentang ‘penyelamatan dunia’ melalui darahmu, Josephine.”
Josephine mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap ke kulit. “Kalau begitu, aku akan menghapus obsesi itu dari dunia. Sekalipun aku harus menjadi monster seperti dia.”
Julien tidak menanggapi, tidak juga membantah. Pria itu memilih diam menunduk, entah apa yang dipikirkan membuat Josephine kesal. Dia jadi ragu Ayah yang dihadapannya apa masih sama dengan Ayah di masa lalu, kejam dan ambisius.
Josephine akhirnya keluar. Begitu sampai di teras rumah Ayahnya, sudah menunggu Hyun yang entah mengapa semakin menempel. Risih, tidak. Hanya cukup membuatnya takut seketika mencium feromon Alpha milik dokter tersebut.
Hyun menatap Josephine lama, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih gelap, lebih tajam dari biasanya.
“Sepertinya anda sudah mendapat jawaban ya.”
Josephine mengangguk, “pemilik Epsilon sekarang adalah Ethan.”