Panas

1621 Words
Langit malam pesta itu gemerlap, seakan para arsitek yang merancang acara tersebut sengaja menantang keindahan alami dari para bintang. Lampu-lampu kristal tidak hanya digantung pada rangka besi di atas taman, tetapi di program melayang dengan teknologi magnet tingkat tinggi. Kristal-kristal itu berpendar seperti pecahan bintang, memantulkan cahaya dalam kilau berlapis-lapis yang menciptakan ilusi galaksi kecil tepat di atas kepala para tamu. Taman keluarga Agust malam itu telah disulap menjadi ruang megah yang membelalakkan mata. Sebuah orkestra mini bermain di sudut panggung marmer putih, alat musik mereka—biola kaca, cello dengan senar neon lembut, dan piano transparan—berkilau di bawah cahaya. Di sisi lain, pelayan-pelayan muda berlalu-lalang membawa nampan sampanye emas yang membiaskan warna-warna lembut ketika dilewati tamu berdasi. Orang-orang tertawa. Tawa yang terdengar meriah, namun saat disimak lebih dalam, memiliki nada yang sama: palsu, sopan, dibuat untuk dipamerkan. Dari seluruh penjuru taman, terdengar gumaman politik, negosiasi bisnis, dan spekulasi tentang kekuatan keluarga Agust. Namun di balik dentingan gelas sampanye dan senyum pura-pura itu, ada sesuatu yang lebih gelap mengalir di udara. Udara pesta itu mengandung ketegangan tipis—sehalus jaring laba-laba—yang hanya ditangkap oleh mereka yang peka akan bahaya. Elizah berdiri di tengah kerumunan seperti sebuah titik pusat yang tidak terlihat namun sulit diabaikan. Rambut merah panjangnya digelung sederhana, namun sorot matanya yang tajam, wajah dinginnya yang terlatih, serta garis bahu tegasnya membuat semua orang tahu. Gadis itu memiliki aura Alpha yang kental. Empat bodyguard secara diam mengitarinya—dua Alpha dan dua Beta, semuanya bersenjata dan mengenakan setelan formal hitam layaknya para tamu. Gerakan mereka nyaris tidak terdengar di tengah keramaian, namun mata mereka awas, menyapu setiap sudut taman seolah mencari ancaman yang tidak diketahui. Mereka adalah pasukan yang langsung dipilih Rox. Dan kehadiran mereka malam itu menandakan sesuatu. Malam ini bukan hanya acara sosial—ini adalah kemungkinan panggung serangan. Machi berdiri paling dekat, hanya dua meter dari Elizah. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap yang kontras dengan kulit tan-nya, rambut coklat gelapnya disisir rapi, sementara wajahnya tetap datar. Mata lelaki itu, yang biasanya hangat ketika berbicara dengan Josephine atau Elizah, kini telah berubah dingin, penuh fokus dan kewaspadaan. Semua pengawal tampaknya menyadari hal yang sama yaitu Elizah menjadi pusat dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada pesta ini—sesuatu yang memadukan darah, kekuasaan, ramalan genetis, dan obsesi seseorang. Josephine yang berada sangat jauh hanya diam begitu melihat para tamu menunjukkan perhatian ke Elizah. “Pastikan perimeter aman,” kata Machi melalui earpiece-nya. Suaranya rendah tapi mantap, penuh otoritas tanpa harus berteriak. Salah satu Beta menjawab, “Area barat bersih. Tapi kami mendeteksi sinyal elektromagnetik di pintu timur.” Machi mengernyit. Rahangnya mengeras, matanya menyipit ke arah koridor timur tempat lampu-lampu taman bergerak perlahan mengikuti sensor angin. “Semuanya tetap tenang. Jangan buat kepanikan.” Sementara itu, di sisi dalam ruangan utama, Josephine baru saja turun dari lantai dua. Gaunnya—hitam satin, panjang, dan sangat anggun—melekat sempurna pada tubuhnya. Setiap langkahnya memancarkan keanggunan yang dingin. Tatapan matanya tajam, datar, namun sangat berkuasa. Walau ini adalah penampilan perdana Josephine sebagai pemimpin keluarga, ia tidak menunjukkan celah kelemahan di depan publik. Setiap langkahnya telah dipelajari sejak kecil. Setiap gestur telah didisiplinkan oleh Dev. Ia menatap para tamu yang berlalu-lalang, menilai setiap ekspresi, setiap tatapan yang diarahkan padanya. Di antara semua wajah itu, ia tahu Ethan mungkin mengintai. Bukan secara langsung—Ethan terlalu cerdik untuk muncul terang-terangan—tetapi Josephine merasakan jejaknya. Seperti bayangan yang merayap di bawah cahaya, mengintip dari balik kerumunan orang-orang yang tampaknya tidak berbahaya. Hyun berdiri beberapa langkah di belakang Josephine. Setelan gelapnya tampak begitu kontras dengan kulit pucatnya. Apalagi rambut pirang yang biasa rapi tertarik dibelakang sekarang berubah ditata dengan gel. Ia berdiri tegap, tanpa banyak bicara, namun aura dominannya menjengkelkan menurut Josephine. “Anda yakin, Ethan menghadiri pesta ini?” suaranya rendah, nyaris menegur. Ya, ini adalah rencana yang ia berikan kepada Rox. Awalnya Rox setuju mengadakan sebuah pertemuan untuk memancing Ethan dan mengetahui maksudnya. Namun, begitu Josephine mengatakan akan mengadakan sebuah pesta di mana ada Elizah di dalamnya sangat jelas Rox menentang. Mereka saja belum pernah bertemu sosok Ethan malah ingin memberi ikan kepada kucing, itu menurut Rox. Meskipun awalnya menolak, ia akhirnya luluh ketika Josephine membuktikan hasil kerja kerasnya lagi dan lagi. Kembali ke pesta, Josephine meneguk anggur merah di tangannya. “Kalau aku bersembunyi, mereka akan berpikir aku takut. Dan aku bukan ayahku.” Hyun mengerutkan alis. “Kalau Ethan benar-benar di sini, Anda tidak tahu apa yang—” “Aku tahu, Dokter Hyun,” potong Josephine pelan tapi tegas. “Itu sebabnya aku ingin menatapnya.” Kalimat itu menggantung di udara, berat, penuh tantangan yang tidak diucapkan. Keberadaan Ethan sama sekali belum muncul. Yang datang justru sinyal-sinyal kecil selayaknya bisikan samar dari beberapa tamu yang tampak gugup, tatapan mencurigakan dari orang-orang yang biasanya tidak berani menatap Josephine terlalu lama. Ada ketidakwajaran yang merayap pelan, seperti angin dingin yang masuk dari celah-celah pintu. Di tengah pesta, Elizah berbicara sebentar dengan Machi. Wajahnya tampak tegang, lebih pucat dari biasanya. “Kamu yakin kakak tidak dalam bahaya?” Machi mengangguk singkat. “Dokter Hyun bersamanya. Itu sudah cukup.” Elizah menunduk. “Kamu tahu aku tidak percaya padanya.” Machi menatapnya dengan nada yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Dan aku tahu kamu juga belum sepenuhnya percaya padaku,” jawab Machi lembut. “Tapi untuk malam ini, percayalah sedikit saja. Aku takkan biarkan siapapun menyentuhmu.” Elizah tidak menjawab. Namun, ada sesuatu yang runtuh pelan-pelan dari sorot matanya—tembok kewaspadaan yang tidak mudah diturunkan sekarang hancur. Ketika jarum jam melewati tengah malam, musik orkestra berubah menjadi lebih lembut dan atmosfer pesta mulai mengarah pada suasana yang lebih privat. Beberapa tamu mulai bergerak ke area lounge, beberapa menuju bar terbuka, sementara mereka yang ingin membicarakan kepentingan rahasia mulai menghilang ke ruang-ruang kecil yang tersedia di sisi taman. Ada yang aneh ketika udara berubah. Hyun merasakan sesuatu duluan. Aroma samar, namun jelas… aroma yang tidak seharusnya muncul di tempat umum. Aroma feromon Omega yang kuat—panas, manis, memabukkan, dan berbahaya. Ia menajamkan matanya, mencari sumbernya, dan tubuhnya langsung menegang. “Nona Josephine.” Hyun melangkah cepat ke arahnya. Josephine sudah tampak goyah. Ia menyandar pada pembatas balkon, matanya separuh terpejam. Kulitnya memerah perlahan, seolah sesuatu yang panas dari dalam tubuhnya merayap naik tanpa kendali. “Tidak… ini tidak mungkin…” Hyun segera menangkap bahunya. Tubuh Josephine bergetar halus seperti daun yang tersentuh badai. “Anda sedang Heat?” bisik Hyun berusaha menenangkan. “Aku tak pernah… tidak pernah lagi setelah bertahun-tahun…” Josephine mencoba bicara, namun suaranya bergetar, antara menahan nyeri dan reaksi biokimia tubuhnya. Di sekitar mereka, feromon mulai menebal. Menembus parfum mahal tamu-tamu pesta dan pendingin udara. Para Alpha di ruangan mulai melirik, tidak mengerti apa yang mereka rasakan namun tahu ada sesuatu yang mengusik naluri mereka. Terutama para Alpha dominan yang mulai lepas kendali. Rox menyadarinya segera memberi isyarat. Semua Beta di sekitar bergerak cepat, menutup akses ruangan agar tidak ada Alpha sembarangan yang mendekat. Mereka juga memisahkan para tamu yang memiliki kategori khusus. Hyun membawa Josephine keluar lewat lorong belakang, langkahnya panjang dan tegas. Josephine menggenggam lengan jasnya, tubuhnya gemetar hebat. “Jangan biarkan mereka melihatku,” gumamnya dengan napas berat. “Aku tidak boleh terlihat seperti ini.” “Anda tidak perlu bicara,” ujar Hyun datar namun lembut. “Fokus bernapas. Saya akan menahannya.” Mereka sampai di kamar pribadi di lantai atas. Hyun menutup pintu dan mengaktifkan kunci feromon. Sinar biru mengalir di sepanjang bingkai pintu—penghalang kimia yang menstabilkan udara. Dia mengeluarkan feromon untuk menenangkan sifat alami omega. Josephine terjatuh di sofa. Tangannya bergetar tidak kuat akan sensasi yang menyelimuti tubuhnya. “Kenapa sekarang… kenapa di sini…” Hyun berlutut di hadapannya, menatap langsung ke mata Josephine. “Karena tubuh anda menolak penahanan yang terlalu lama. Anda berperang melawan insting milik anda sendiri, Nona Josephine.” Josephine menatapnya, mata yang penuh kemarahan dan kelelahan. “Aku tidak butuh simpati dari Alpha.” Hyun tersenyum tipis, seolah pahit. “Saya tidak menawarimu simpati. Saya akan memberi anda perlindungan.” Ada sesuatu yang berubah. Aroma feromon Josephine menyerang udara, namun feromon Hyun—yang kuat, stabil, dan sangat Alfa—mendorong balik, menciptakan keseimbangan kimia yang menyakitkan namun menenangkan. Beberapa menit berlalu seperti seabad. Josephine akhirnya memejamkan mata, bernapas lebih teratur. Namun sebelum ia sepenuhnya tenang, bibirnya bergerak, melontarkan kalimat yang tidak boleh ia ucapkan. “Hyun… kenapa kamu masih di sini?” Hyun menatapnya lama. “Karena saya tahu, bahkan Alpha pun tak sanggup meninggalkan seorang omega seperti anda rapuh begini.” Kalimat itu menggantung seperti mantra berbahaya. Pandangan Josephine mulai kabur dan terasa penuh uap awan menutupi matanya. Di luar kamar, Machi berdiri menatap pintu tertutup itu. Rahangnya mengeras, tatapannya gelap. Genggamannya pada earpiece begitu kuat hingga sendinya memutih. Ia tidak mendengar apa yang terjadi di dalam ruangan, namun ia tahu Hyun ada di dalam—dan itu cukup untuk membuat dadanya menegang. Dari jauh, Elizah berdiri di lorong, ia berusaha mendekat tapi Machi mengetahui keberadaannya. “Kenapa kamu ke sini, Elizah?” Pertanyaan yang setengah gugup diutarakan Machi. “Aku mengikutimu yang bertingkah aneh… kenapa kamu ke sini?” balik tanya Elizah. “Aku hanya memeriksa. Ayo kita kembali sepertinya Rox telah menemukan penyusup.” Balas Machi mendorong pelan tubuh Elizah menjauh. Ia takut Elizah menyadari kalau kakaknya dan Hyun memasuki kamar privat hanya berdua. Malam pesta itu berakhir dengan diam panjang yang mengganggu. Ethan tidak muncul dan Rox merasa cemas karena keberadaan Josephine hilang. Sebuah kartu kecil ditemukan Rox saat Josephine terakhir berdiri. Hitam, tanpa nama. Hanya satu kalimat yang tertulis. “Jika demamnya mulai bangkit, artinya waktunya sudah dekat.” Dan bagi Rox, kalimat itu adalah kumpulan kata-kata yang membuatnya marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD