Heat Pertama

1719 Words
Udara di kamar terasa berat dan lembap, seakan-akan ruangan itu memerangkap setiap hembusan napas yang tercipta di dalamnya. Cahaya lampu di langit-langit tidak lagi terasa seperti sumber penerangan—melainkan seperti matahari kecil yang meredup, memancarkan warna keemasan yang lembut namun cukup untuk membentuk sorotan di tubuh Josephine yang terkulai di sofa panjang. Sofa itu sendiri tampak seperti singgasana yang kehilangan penguasanya, sebuah tempat yang seharusnya memberi kelegaan namun kini menjadi saksi dari rapuhnya seseorang yang selama ini dikenal tidak pernah menunjukkan celah. Feromon Josephine menebal memenuhi ruangan. Rasanya seperti kabut hangat yang mengapung, menempel pada kulit, mengisi paru-paru, dan menimbulkan sensasi samar antara manis dan tajam—sebuah aroma yang mengguncang insting siapa pun yang memiliki sedikit kemampuan sensori di dunianya. Aroma itu tidak hanya mengungkapkan keadaan tubuhnya tapi membeberkan kebenaran yang selama ini ia tekan bertahun-tahun. Seakan-akan tubuhnya sedang membalas semua penyangkalan panjang yang ia paksa lakukan. Hyun berdiri di dekat jendela, punggungnya tegang seperti kabel baja yang tertarik terlalu keras. Ia tidak bergerak banyak, tetapi seluruh garis tubuhnya menunjukkan betapa besar usahanya untuk tetap diam. Napasnya naik turun perlahan, tapi ada ketegangan jelas di setiap tarikan udara. Meskipun ia tidak menoleh, lantai di bawah kakinya seperti menyerap panas tubuhnya yang berlipat-lipat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang merayap dan bangkit—sesuatu yang telah lama ia jinakkan, ia kurung, ia latih untuk tetap tunduk. Namun malam ini, di ruangan yang terkunci dari dunia luar, pengendalian itu diuji lebih keras dari sebelumnya. Hyun menatap keluar jendela, ke langit malam yang hitam pekat, dipenuhi bintang-bintang yang tampak jauh, seakan sedang menonton tragedi kecil manusia di bawahnya. Ia mencoba mengisi pikirannya dengan hal-hal dingin—angin malam, udara luar, bahkan dinginnya kaca yang disentuh uap malam. Tetapi tidak ada yang cukup kuat untuk mengusir dorongan naluriah yang berputar di dalam dadanya. Setiap detak jantungnya seperti gema yang memantul pada dinding ruangan yang terlalu sempit untuk dua makhluk dengan insting saling bertentangan. Namun setiap kali ia menoleh, meski hanya sedikit, aroma manis itu akan menampar kesadarannya. Aroma itu tidak menyerang dengan kasar; justru sebaliknya—ia datang seperti bisikan. Lembut. Hangat. Mengundang. Dan sangat, sangat berbahaya. “Hyun…” Suara serak itu memotong ruang, memotong pikirannya, memotong seluruh usahanya untuk menjaga jarak. Seketika ia berbalik. Josephine membuka mata, separuh sadar, wajahnya memerah oleh panas internal yang ia sendiri tidak siap menghadapinya. Rambutnya kini kusut, beberapa helai menempel di keningnya akibat keringat tipis yang muncul dari tubuhnya. Sudah tidak dijelaskan lagi gaun yang sudah ditarik hingga robek. “Jangan dekat-dekat…” gumamnya lemah. Ia tahu bahwa Josephine tidak benar-benar menggodanya. Meski begitu, Hyun tidak bergerak mundur. Ia justru berjalan perlahan, gerakan yang dikontrol sekuat tenaga agar tetap halus. Setiap langkah terasa seperti perjuangan untuk tidak membiarkan insting mengambil alih. Lututnya akhirnya merosot ke lantai di depan sofa, membuat dirinya sejajar dengan Josephine yang terbaring hampir tanpa kekuatan. Ia menatapnya sebentar, menilai setiap detail ekspresi yang muncul di wajah wanita itu. “Anda tadi pingsan beberapa menit. Tubuh anda masih belum stabil karena obat injeksi akan bekerja 30 menit lagi.” Josephine menggeleng. Kepala itu bergerak pelan, terputus-putus, seolah setiap gerakan sederhana memerlukan keberanian berlebih. “Kamu harus keluar. Aku… aku tidak bisa menahan diri.” Jernih, kewarasan wanita muda itu masih ada. Hyun tersenyum tipis. Senyum itu bukan tentang kemenangan, bukan pula tentang menggoda—lebih seperti senyum pahit yang menggambarkan betapa ia mengetahui sesuatu yang tidak ingin ia ketahui. “Anda pikir saya bisa meninggalkan pasien dalam kondisi seperti ini?” Aroma itu bergetar lagi di udara, seakan-akan merespons percakapan mereka. Josephine menggenggam sandaran sofa, jarinya mencengkram keras hingga buku jarinya memutih. Matanya bergetar, menatap Hyun—pandangan campur antara takut, malu, dan kebingungan yang hampir menyayat. “Kamu Alpha, bukan?” Hyun tidak menjawab. Hanya mengalihkan pandangan, meski secara halus. “Kamu Alpha,” ulang Josephine pelan, “dan kamu tetap di sini padahal aku sedang Heat.” Kalimat itu berdengung lama antara dinding dan lantai. Hening panjang mengisi ruangan seperti kabut tambahan, menebal di antara mereka. Hyun menelan ludah, rahangnya menegang sebelum ia akhirnya bicara. “Karena saya tidak akan memperlakukan Nona Josephine seperti mereka memperlakukan Omega lain.” Josephine menatapnya lama, wajahnya melemah sedikit. Ada kelelahan yang bukan berasal dari Heat saja—tapi juga dari sejarah panjang yang Josephine jarang bagi dan jarang akui. “Kamu pikir itu membuatmu berbeda?” Feromon di udara semakin kuat, memadat seperti uap yang dipanaskan. Josephine menggigit bibir bawahnya, menahan panas yang terus mendesak dari dalam. Ia tahu tubuhnya sedang berperang, ia tahu instingnya sedang menggila, dan ia tahu Hyun terlalu dekat, terlalu rentan untuk dibiarkan di sana. Tidak banyak—hanya beberapa inci. Tapi jarak sesingkat itu terasa seperti garis tipis antara kendali dan kehilangan kendali. Hyun menunduk sedikit, menatap wajah Josephine yang semakin lembut di bawah cahaya lampu. Mata Josephine berkedip sekali, perlahan, seperti mencoba menolak kenyataan. Ia bukan hanya Omega dominan yang haus hasrat, ia juga adalah Omega yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan kemampuan menahan diri yang luar biasa. Namun malam ini, tubuhnya tidak peduli pada sejarah atau kedudukan. “Kalau kamu terus di sini, kamu akan menyesal,” bisik Josephine. Tangannya sudah merangkul leher tegang Hyun cukup seduktif. “Bukannya kalimat itu berlaku juga untuk anda, Nona Jo,” balas Hyun pelan. Bibir mereka mendekat dan udara di sekitar mereka saling tertukar. Dunia tampak berhenti. Bahkan suara pendingin ruangan pun terdengar jauh, seperti suara samar dari mimpi. Aroma Hyun dan Josephine saling bertabrakan, menciptakan ketegangan yang hampir bisa disentuh. Hyun menutup mata, mengatur napas keras-keras, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kejernihan. Josephine juga memejamkan mata, mengusir pikiran liar yang membuat Heat-nya semakin sulit ditahan. Dia ingin merasakan lebih aroma segar yang keluar dari tubuh Alpha-nya. Sampai akhirnya— Suara ketukan pintu terdengar keras dari luar. “Josephine!” suara Rox menggema tajam. “Kamu di dalam?” Hyun langsung memeluk pinggang kecil dihadapannya, tubuhnya tegang, naluri protektif mengambil alih. Josephine tersentak, bahunya merosot, tubuhnya kembali gemetar antara Heat dan rasa malu. Hyun mendekati pintu, tapi tidak membukanya. “Tunggu,” ucapnya pelan. “Jangan biarkan siapa pun masuk.” Lanjut Josephine yang menutup mulut Hyun menggunakan kedua tangannya Di luar, Rox berdiri di koridor bersama Jeremi, keduanya tampak gelisah. Rokok yang biasanya selalu ada di tangan Rox tidak terlihat—ia terlalu tegang untuk ritualnya. Nafasnya berat, matanya beralih dari pintu ke Jeremi, lalu ke sekitar lorong. “Aku mencium sesuatu,” katanya pelan. “Feromon Omega.” Jeremi awalnya diam tapi wajahnya tak kalah khawatir. “Apa itu dari Nona Josephine?” “Ya, tapi aku tidak yakin itu Josephine,” gumam Rox. Ia menatap pintu rapat itu, seakan-akan bisa melihat isi ruangan melalui kayu dan logam. “Aromanya berbeda—lebih… liar.” Jeremi mengetuk pintu. “Dokter Hyun? Anda di dalam? Atau Anda tahu keberadaan Nona Josephine” Tak ada jawaban. Rox menatap rekannya. “Kita buka saja.” Jeremi setuju. Ia menyentuh gagang pintu, namun sistem pengunci langsung bereaksi—sinar biru menyala di sepanjang kusen, berkedip cepat. Isolasi feromon masih aktif. Rox menelan ludah, wajahnya mengeras. “Ruangan ini terkunci otomatis,” kata Jeremi. “Hanya pemilik ruangan atau sistem pusat yang bisa membuka.” “Berarti ada Alpha yang mengaktifkannya,” balas Rox. Suaranya berubah rendah, penuh perhitungan. “Dan kalau dia melakukannya, berarti sesuatu terjadi di dalam.” Di dalam ruangan, Josephine mulai tenang sedikit. Heat-nya belum menghilang, tetapi cukup mereda sehingga ia bisa kembali berpikir jernih. Ia menatap Hyun yang berdiri membelakanginya, tubuh pria itu tampak seperti batu besar yang menahan badai. “Apa dokter masih waras?” tanya Josephine lirih. Hyun menoleh perlahan. “Kalau anda bertanya karena mengkhawatirkan saya maka saya jawab tidak, tapi kalau anda menggoda saya akan bertanya?” Josephine terdiam. Tubuh mereka masih sangat dekat. Tangannya pun masih berada di sekitar bahu lebar Hyun. Dan terutama, sekarang posisi kepala Hyun berada di ceruk terdalam lehernya “Aku tidak melakukan apa pun,” ujar Hyun lagi, datar namun sarat makna. “Aku hanya memastikan kita tetap hidup.” Josephine meremas rambut pirang itu untuk mengalihkan pandangan. “Anda tak tahu apa artinya bagi Omega… saat Alpha berada sedekat ini.” Hyun bergerak mendekat, tetapi kali ini ia melakukannya dengan kehati-hatian yang sangat besar. Tatapan matanya berbeda—lebih lembut, lebih memahami, tetapi tetap penuh ketegangan internal. “Saya tahu lebih dari yang anda kira.” Napas Josephine tertahan. Ada sesuatu di suara Hyun yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena Heat—atau bukan hanya karena Heat. Ada sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, lebih manusiawi dari itu. Sementara itu, di luar ruangan, Rox memalingkan wajah dari pintu. Ia menatap Jeremi dengan pandangan yang tak biasa. “Aku bisa salah, tapi kalau feromon itu memang milik Josephine… dia tidak bisa menahan diri terlalu lama.” “Kaum Omega yang menahan Heat bertahun-tahun biasanya akan… meledak,” sahut Jeremi perlahan. “Ya,” balas Rox. “Dan aku tidak tahu apakah Hyun cukup kuat untuk menghadapi itu.” Jeremi bertanya, “Kamu ingin aku paksa buka pintunya?” Rox menggeleng. “Tidak. Jika aku salah, dan itu feromon Omega lain, berarti ada penyusup di pesta ini. Kita harus cari tahu siapa.” Mereka berdua berpisah di lorong, masing-masing mengambil arah berlawanan, langkah mereka terdengar bergema di koridor panjang. Sementara itu, di dalam kamar, Josephine sudah merobek setelan atas yang dikenakan Hyun. Menampakkan punggung penuh otot dan bekas luka. Kuku panjangnya terus menancap tetapi Hyun sama sekali tidak merasakan sakit. Hyun terus menjilati leher bersih dan garis tulang selangka yang sejak awal sudah telanjang. Gaun nahas itu sudah tergeletak di lantai menyisakan dalaman indah menutupi kulit lembut yang hangat. “Anda harusnya sudah mengantuk,” ucapnya pelan. “Tapi kenapa semakin liar tangan Anda?” Hyun tersenyum samar begitu ia menegakkan tubuhnya. Tatapan sayu Josephine membangkitkan gairah. Matanya menyala begitu tangan kecil itu menarik tubuhnya lagi. “Saya tidak mengharapkan balasan, Nona Josephine. Saya hanya ingin anda berhenti menolak siapa dirimu sebenarnya.” Ucapnya tepat di telinga Josephine. Dan di bawah cahaya lampu yang meredup, dua manusia dengan darah berbeda—Alpha yang menyembunyikan kekuatan dan Omega yang menolak takdirnya—terjebak dalam ruang yang sama. Di luar, dunia mulai mencium perubahan. Sebuah perubahan yang mereka sendiri belum siap hadapi, perubahan yang tidak bisa ditutup dengan kunci feromon atau tembok beton. Dan tidak ada jalan untuk kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD