Udara pagi terasa dingin di langit perbatasan kota. Cahaya matahari pertama belum sepenuhnya menembus atmosfer, meninggalkan dunia dalam nuansa kebiruan yang redup. Di kejauhan, gedung-gedung lainnya berdiri kaku seperti bayangan raksasa yang tertidur.
Rox berlari cepat melewati lorong utama, langkah sepatunya memantul pada lantai logam yang dingin. Setiap dentuman langkahnya menggema, membentuk ritme terburu-buru yang memecah keheningan pagi. Ia tidak peduli pada petugas keamanan yang menoleh kaget, tidak peduli pada monitor-monitor yang berkedip merah menandakan pelanggaran feromon tingkat tinggi. Yang ada dalam pikirannya hanya satu nama.
Josephine. Keponakan satu-satunya yang sangat ia sayang.
Lorong terasa panjang, lebih panjang daripada biasanya. Udara di sana mengandung sedikit aroma feromon, tapi… ada aroma lain yang menyelinap.
Bau darah—tajam dan samar bercampur feromon—menyambutnya begitu pintu terbuka. Setelah kecurigaan semalam dan memantau CCTV akhirnya mereka tahu keberadaan Josephine.
Rox hampir tersentak begitu tubuhnya merasakan tekanan tinggi. Aroma itu menyergap seperti tamparan dingin yang menusuk sampai ke tulang.
“Hyun!” serunya.
Di lantai, Hyun terkapar dengan pakaian robek dan bercak darah yang terbentuk seperti genangan gelap di sekitar d**a dan perutnya. Tubuhnya tidak bergerak, meski dadanya naik turun pelan, menunjukkan ia masih bernapas—berat dan tidak stabil.
Para medis menyusul di belakang tubuh Rox pun kaget dengan kondisi dokter Hyun. Cahaya dari lampu medis di atas kepala memantul pada kulitnya yang pucat, membuat luka-luka itu tampak lebih mengerikan.
Hyun mengerang dan matanya… masih berusaha terbuka. Sedikit. Seakan memaksa diri untuk tetap sadar. Mereka segera memberi tindakan cepat terutama Jeremi yang sigap membantu. Tangannya berlumur darah saat menekan bagian lengan Hyun, mencoba menghentikan pendarahan yang terus mengalir meskipun sudah disterilkan.
“Dia kehilangan banyak darah,” ujar Jeremi cepat, tanpa mengalihkan pandangan dari luka. “Dan sepertinya… serangannya bukan dari luar.”
Rox mendekat, lututnya hampir menyentuh lantai yang berlumur darah. Wajahnya berubah tegang ketika melihat pola robekan pada pakaian Hyun. Luka itu dalam—seperti bekas gigitan dan cakar, tetapi tidak sembarangan. Ada pola feromon yang tertinggal tipis di tepiannya.
Pola yang ia kenal. Kenal sangat baik. Begitu lampu dinyalakan keseluruhannya, tampak jelas Josephine tengah tidur di atas kasur. Selain itu, seluruh ruangan benar-benar dipenuhi aroma manis.
Feromon Josephine.
Rox merasakan kulit tengkuknya meremang. Otot rahangnya menegang hingga terdengar hampir bergemeletuk. Semua orang terpaksa keluar begitu mengetahui ada feromon kuat dari omega dan alpha.
Pria itu lalu menyalakan benda yang terpasang di telinga. Sebuah panggilan entah pada siapa.
“Nona Josephine tengah heat. Bersihkan semua kekacauan jangan sampai terdengar,” ucap Rox dipanggilan tersebut. Dia dengan menahan diri, mengangkat tubuh lemah Josephine.
“Josephine…” gumam Hyun pelan, suaranya menurun menjadi nada yang tidak bisa dibedakan antara khawatir, marah dan takut.
Jeremi mengangguk singkat, masih fokus pada Hyun. “Dia tidak sengaja. Heat-nya muncul tiba-tiba. Hyun mencoba menahan, tapi sepertinya terlalu lama berada di ruangan yang sama tanpa stabilisasi feromon.”
Rox meletakkan Josephine ke tandu darurat. Ia mengepalkan tangan sesaat melihat kekacauan. “Sial… dia menahan semuanya sendirian.”
Ia tahu Hyun seorang dokter. Tapi ia tidak menyangka Hyun akan menahan serangan Omega Dominant seorang diri—apalagi Heat Josephine, yang kekuatannya di atas rata-rata.
Beberapa petugas medis masuk tergesa, membawa tandu dan alat transfusi untuk Hyun. Mereka bekerja cepat, tapi tetap berhati-hati, seakan takut sentuhan mereka dapat merusak tubuh Hyun yang sudah terlalu lemah. Hyun hanya sempat menatap Rox sekilas sebelum kesadarannya benar-benar hilang, matanya menutup pelan seperti tirai panggung yang menandai akhir dari pertunjukan penuh luka.
Rox berdiri perlahan, wajahnya pucat namun tetap menjaga ketenangan di depan semua orang—sifat alaminya sebagai pemimpin.
“Pastikan dia tetap hidup,” ucapnya datar namun tegas. “Aku yang akan bertanggung jawab atas laporan ini.”
Para petugas medis mengangguk tanpa protes, lalu membawa Hyun keluar ruangan.
Di rumah sakit.
Josephine terbaring di ranjang besar yang diisi dengan lilin penenang. Cahaya putih pucat dari lampu medis memantul pada kulitnya yang juga pucat. Josephine tampak lelah, seakan seluruh energi tubuhnya terkuras habis. Nafasnya tak beraturan. Rambutnya menempel di pelipis karena keringat dingin.
Monitor di sisi ranjang menunjukkan angka yang bergetar tak stabil—gelombang feromon Omega Dominant yang baru saja melewati masa hentakan tanpa terkontrol.
Elara tepat duduk di sisi kiri ranjang cukup telaten mengelap keringat Josephine. Sedangkan mata Jeremi tidak beranjak dari layar monitor. Ia mengamati setiap fluktuasi, memastikan tidak ada lonjakan berbahaya yang dapat memicu reaksi fisik baru.
“Nak, jangan memaksakan tubuhmu.” Elara memegang tangan hangat Josephine.
Saat matanya perlahan terbuka, sinar putih dari lampu membuat Josephine menyipit. Matanya bergerak pelan melihat suliet Elara dan Jeremi yang berbincang pelan.
“Rox…?” bisiknya lemah.
Elara yang menyadari Josephine siuman segera menelpon perawat melalui interkom. “Pasien sudah sadar bawa dokter ke sini,” ucap Elara cepat. Namun, langkah Jeremi yang ingin melaporkan langsung keadaan Josephine terhenti.
“Di mana Rox?” tanya Josephine kali ini berusaha memperjelas suaranya.
“Rox sedang di ruang lain,” jawab Jeremi lembut. “Nona Josephine tidak perlu cemas karena Dokter Hyun.”
Entah mengapa nada suara Jeremi sama seperti seorang dokter yang mencoba menenangkan pasien trauma—penuh kehati-hatian dan tidak ada sedikitpun tekanan.
“Tidak usah terburu-buru bangkit, Nak.” Nasihat Elara saat Josephine mengerjap. Ia mendadak menegakkan tubuh, terengah. Rasa panik merayap dari tenggorokan turun ke d**a.
“Hyun—di mana Hyun?” tanyanya cepat.
Elara menoleh ke Jeremi, ia mengangguk sedikit menyembunyikan ekspresi khawatirnya. “Masih dirawat. Dia kehilangan banyak darah, tapi stabil. Nona tidak perlu—”
Josephine menyingkap selimut, berusaha bangkit meskipun tubuhnya masih gemetar hebat. “Aku… aku yang melakukannya, kan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara karena Jeremi terdiam. Elara menahan tubuh Josephine cepat. “Nak, kamu harus istirahat. Tuan Jeremi mengatakan Hyun baik-baik saya benarkan?” tanya Elara memastikan. Untuk beberapa detik kepala Jeremi mengangguk perlahan.
“Dia hanya menahanmu, bukan menyerang. Kamu sedang tidak sadar, Jo. Tidak ada yang menyalahkanmu.” Elara memeluk tubuh Josephine berharap anak itu tenang. Ia sendiri yang omega merasa tidak tahan mengingat feromon kuat Josephine saat ini sudah memenuhi ruangan.
Josephine menunduk, menggigit bibirnya begitu keras hingga hampir berdarah. Rasa bersalahnya mengoyak. Tubuhnya merosot jatuh ke lantai.
“Aku mencium aromanya di kulitku… itu berarti—”
“Tidak ada penandaan,” potong Jeremi cepat. “Para dokter sudah memastikan. Feromon alpha-nya memang menempel, tapi bukan dalam bentuk tanda. Dia menahan diri sampai detik terakhir.”
Josephine terdiam. Mata berkaca-kaca, tapi sorot matanya tidak bergetar. Justru sebaliknya—terlalu tajam, terlalu sadar.
“Aku ingin menemuinya.”
Elara berjongkok, tangannya mengelus bahu Josephine pelan. “Jo, kondisimu masih belum stabil.”
“Kalau begitu suntikan aku penahan feromon.”
“Tidak boleh!” Elara menggelengkan kepala.
Jeremi ingin membuka mulut, hendak menolak juga. Namun tatapan Josephine… tidak bisa dibantah. Ia melihat Omega Dominant itu sudah berada di ujung antara hancur dan bertahan. Menolak permintaannya hanya akan memperburuk kondisinya.
“Aku ingin memastikan dengan mataku sendiri, Mama.” Tekanan pada tiap kata itu mempertegas semuanya. Elara tidak bisa mengatakan apa pun, ia hanya berharap Jeremi dan Rox. Namun, Jeremi mengangguk pelan, “baiklah Nona.”
Dokter yang baru tiba kaget melihat pasien yang sadar tengah duduk di sofa. Lengan bajunya tergulung rapi.
“Berikan aku suntikan penenang.” Perintah Josephine. Wajah dokter itu bingung lalu ditepuk bahunya oleh Jeremi seakan mengatakan akan kujelaskan nanti.
Setelah Josephine disuntikan, Jeremi menemaninya menuju kamar perawatan Hyun.
Ruang itu remang, hanya diterangi lampu kecil di pojok ruangan. Cahaya yang keluar dari lampu itu jatuh pada ranjang logam tempat Hyun terbaring. Tubuhnya ditutupi perban dari d**a hingga pinggul.
Tubuh Hyun tampak tenang. Monitor di samping tempat tidur memantau denyut jantungnya yang lemah tapi stabil.
Josephine tidak diijinkan untuk memasuki ruangan tersebut. Ia dan Jeremi hanya berdiri di depan kaca. Ia menunduk, bibirnya bergerak dengan suara lirih.
“Aku minta maaf, Hyun. Aku… tidak bermaksud melukaimu.”
Suara langkah di belakang membuatnya menoleh. Rox masuk, pintu tertutup perlahan di belakangnya. Ekspresi letih, namun matanya tetap tajam. Ia tidak menegur Josephine, hanya menatapnya dan Jeremi beberapa detik sebelum berbicara.
“Dia bertahan. Tapi kamu juga perlu waktu untuk pulih. Tubuhmu belum sepenuhnya reda.”
Josephine menarik nafas panjang, sangat berat seakan mengandung beban yang tidak dikurangi.
“Aku yang menyebabkan ini. Aku akan bertanggung jawab.”
Rox menggeleng. “Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan. Hyun tahu risikonya saat memilih untuk tetap di sisimu. Dia menolak perawatan penuh karena takut kamu tersadar sendirian.”
Josephine memejamkan mata. “Bodoh,” bisiknya, suaranya pecah. “Bodoh sekali.”
Rox mendekat, menepuk bahu Josephine pelan. “Dia bilang sesuatu sebelum pingsan. Katanya, ‘Jangan salahkan Josephine. Aku hanya menjalankan tugasku.’ Begitulah si bodoh itu katakan.”
Josephine menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata tentu tidak keluar, tapi kesedihan yang ia rasakan jauh lebih gelap dari sekadar air mata. Lagi-lagi tubuhnya membuktikan bahwa omega sangat lemah.
Setelah beberapa lama, ia berkata lirih, “Berikan dia waktu istirahat. Aku akan menyiapkan cuti untuknya begitu sadar nanti.”
Rox menatapnya lama sebelum menjawab, “Dia mungkin tidak akan menerimanya.”
Josephine mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Rox menghela keras, mengambil dokumen dari dalam jasnya. Sebuah kertas yang dibubuhi tanda tangan lucu. Ia tahu siapa pemilik tanda tangan itu. “Hyun menolak cuti. Malah, dia memintaku yang mengambil cuti. Katanya aku terlalu lama di garis depan, dan sekarang giliranku untuk istirahat.” Terdengar nada kesal keluar dari mulut Rox
Josephine menatap Rox dengan bingung. “Dia—memintamu?”
Rox mengangguk. “Ya. Katanya, ‘Biarkan aku menjaga Josephine sementara kamu pulihkan dirimu.’ Kalau dia tidak terluka aku akan menghajarnya. ”
Kalimat itu jauh dari kata arogansi, Josephine ragu dengan pernyataan Hyun yang disampaikan Rox. Ada sesuatu di dalam hatinya yang bergetar. Ketidakyakinan akan sesuatu yang ia harap jauh didalam hati.
“Ayo, kembali ke kamar. Elara terus menangis cemas,” ajak Rox mengulurkan tangan besarnya kehadapan Josephine.
“Paman,” Josephine memanggil dengan mata menatap ke arah tangan Rox.
“Ya?”
“Gendong aku.” Rox menahan tawa dan Jeremi menunduk walau bahunya bergetar hebat. Akan tetapi Rox tidak tinggal diam langsung berjongkok membiarkan Josephine bergelayut di punggungnya.
Josephine senang sudah lama ia tidak merasakan hangatnya punggung Pamannya.
“Di mana kekuatan Josephine Agust sampai-sampai menyuruh orang tua ini?” tanya Rox bercanda. Josephine enggan menjawab selain terkekeh. Ia tidak malu saat semua orang melihatnya. Apalagi saat Jeremi memilih bertahan karena tidak bisa melepas tawanya.
“Sering-sering manja seperti ini padaku, Jo.”
“Paman kenapa?” tanya Josephine.
“Aku senang bisa menjadi tumpuan hidupmu. Jadi tidak apa kamu terlalu manja, tidak ada siapa pun di dunia ini yang melarangmu bersikap manja padaku.”
Josephine mengangguk. Aksi menggendong tersebut pun berhenti setibanya Rox di kamar rawatnya. Elara tengah memarahi dokter yang ternyata masih ada didalam. Hal itu membuat Rox berulang kali menjelaskan kepada Elara kalau obatnya tidak berbahaya. Elara juga menasihati Josephine untuk tidak bersikap keras kepala seperti tadi.
Josephine menyadari sesuatu kali ini. Meskipun dia berada di titik terlemah, keluarganya tidak hanya menjadi sumber semangat. Keluarganya bisa bersatu walau berbeda jalan.