5. Pantai dan Kenangan

1260 Words
Mobil Mario terus melaju membelah kemacetan ibu kota siang ini. Ramai para anak jalanan hampir di tiap lampu merah maupun persimpangan jalan. Kendaraan-kendaraan lain juga sedang berjuang untuk segera mencapai tempat tujuan. Mario terlihat sedang berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Tidak ada obrolan sedikitpun keluar dari bibir keduanya sejak keluar dari hotel beberapa saat lalu. Mobil tengah berhenti di sebuah lampu merah dengan jejeran kendaraan yang berjibaku menembus kemacetan siang ini. Tangan kanan Mario ditekuk dan menyandarkan sikunya di sisi pintu mobil, sedangkan tangan kirinya masih setia di atas kemudi. “Surabaya separah ini nggak macetnya?” Tiba-tiba Mario bersuara. Fina tersenyum lalu menggeleng. Cukup terkejut juga karena tiba-tiba Mario bersuara. “Macetnya paling kalau pagi sama petang saja,”jawabnya kemudian. “Kamu harus terbiasa sama macetnya Jakarta mulai sekarang,” balas Mario diiringi senyum sambil melajukan kembali mobilnya karena traffic light sudah berubah menjadi hijau. Sebenarnya Fina penasaran Mario akan membawanya ke mana? Namun Fina enggan bertanya. Dia memang termasuk orang yang bisa memendam rasa penasaran dengan cukup baik. Bahkan sekadar membayangkan ke mana Mario akan membawanya siang begini tidak dilakukannya. Sampai saat mobil Mario memasuki sebuah pelabuhan, Fina hanya berani bertanya dalam hati, sambil menyapukan pandangan ke seluruh tempat yang baru ia kunjungi ini. “Ini Dermaga Marina Ancol, Veris,” ujar Mario seolah tahu kebingungan Fina saat ini. Mario mulai menurunkan koper milik Fina dan koper mini miliknya. Saat Mario sudah menurunkan semua barang keperluan, seseorang datang menghampiri Fina dan Mario. “Hallo newlyweds... Mau honeymoon niye?” tanya pria bertampang arab itu sambil meninju pelan lengan Mario, lalu keduanya tertawa bersama. Wajah Fina menghangat karena merasa kedua orang di hadapannya ini tengah menertawakan dirinya. “Oya ... kenalin ini temen baik Abang,” ujar Mario kemudian. Fina menyodorkan tangan dan menyebut nama, diikuti juga oleh pria yang kini ia tahu bernama Farish. Pria di hadapan Fina ini memandangi Fina dengan sarkastis. Fina pun balik menatapnya tajam seolah mengatakan sesuatu dalam tatapan itu, 'Cari masalah sama aku?'. “Gue titip mobil ya. Nggak lama. Paling dua harian doang,” ujar Mario sambil melemparkan kontak mobilnya pada Farish. “Suami istri itu mestinya bawa satu koper aja, bro! Bawa masing-masing gitu kayak mau kawin lari aja, Yo,” celetuk Farish. Farish tertawa terbahak, tetapi Mario tidak menghiraukan ejekan itu. Mario memutar bahu Fina dan meminta untuk berjalan mendahuluinya. Sedangkan kedua tangan Mario menarik koper milik mereka berdua. Sebenarnya apa yang dikatakan Farish ada benarnya juga. Salah siapa Mario tidak memberi instruksi pada Fina untuk menyatukan bawaan mereka ke dalam satu koper. Koper Fina cukup besar dan tidak terlalu banyak isinya, kalau hanya menampung pakaian Mario empat sampai lima setel masih muat. Setelah sedikit berjalan Fina dan Mario memasuki sebuah kapal cepat yang sudah siap berangkat. Untunglah Fina termasuk tipe perempuan tangguh yang tahan banting berada dalam alat transportasi apa pun, baik darat, laut maupun udara. Berbicara soal udara, Fina jadi merindukan mengudara dengan burung besi di atas ketinggian 38000 meter di kaki langit. Menatap angkasa yang Agung, membelah gumpalan awan putih seperti kapas yang terpisah setelah kena terjangan si burung besi, menatap matahari terbit dan matahari terbenam dari ketinggian, hingga terbang dari langit ke langit. Fina merindukan seragam pramugarinya, travel bag dengan bordiran nama maskapai penerbangan kebanggaan negeri ini di bagian depan travel bag dan juga merindukan pilot tercintanya, Captain Rafael Adiyasa. Sejak bercerai dengan Rafael, Fina juga memutus hubungan dengan satu-satunya alat transportasi udara itu. Dia lebih memilih mobil pribadi, kereta api, bus maupun kapal ferry jika akan melakukan perjalanan ke manapun. Fina terpejam menatap laut biru di hadapannya. Dia selalu mencintai laut setelah langit tinggi. Laut dan pantai adalah tempat kedua yang selalu ingin ia datangi setelah berada di atas langit berbagai kota dan negara di dunia ini. Hampir seluruh pantai ingin ia datangi untuk sekadar menghirup aroma anyir laut dan mendengarkan deru ombak memecah lautan. Bisa dibilang Fina adalah Wovger yaitu salah satu penggila pantai. Pemandangan ?sunset menjadi sebuah target keindahan yang selalu ingin ia dapat. Kadang Fina sengaja datang ke pantai jika pesawat mendarat saat sore hari hanya untuk melihat terbenamnya matahari di batas horizon. Pemandangan sunset di pantai memang ibarat harta karun yang menjadi incaran banyak orang. Namun Fina bukan pecinta fotografi yang pasti akan berusaha mendokumentasikan keindahan ini melalui lensa kamera mereka. Fina hanya mengabadikan keindahan tak tertandingi milik Tuhan dengan lensa mata yang dianugerahkan kepadanya dan menyimpannya hanya dalam memori otak saja. Pernah waktu itu Fina mengunjungi tujuh pantai sekaligus dalam kurun waktu satu minggu hanya untuk melihat sunset berbeda di tujuh pantai di Indonesia saat penerbangannya. Dari ketujuh pantai itu ia nikmati bersama dengan Rafael, mantan pilotnya, mantan kekasihnya juga mantan suaminya. Di sinilah mengapa Fina masih belum juga bisa move on dari Rafael. Karena kenangan yang diberikan pria itu tidak terbatas, dan apa yang dipatri di otak Fina adalah semua hal yang disukainya bahkan dari sebelum Fina mengenalnya. Rafael memang pemahat yang hebat, pemahat kenangan sekaligus pemahat luka di hati Fina. “Maaf ya, Veris, Abang cuma bisa mengajakmu ke tempat yang nggak jauh dari Jakarta. Soalnya cutinya cuma dikasih sebentar,” ujar Mario membuyarkan lamunan Fina yang sedang larut mengenang mantan suaminya. “Memangnya kita mau ke mana, Bang?” tanya Fina akhirnya, alih-alih tidak ingin melanjutkan pembicaraan soal liburan. Entahlah Fina sedang tidak ingin berbicara banyak dengan Mario saat ini. Namun dia juga tidak punya alasan kuat untuk tidak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Mario. “Kita akan ke Pulau Pantara, salah satu pulau di gugusan Pulau Seribu,” jawab Mario sambil tersenyum. Di dalam hati Fina terasa ada bunyi retakan saat Mario menyebut kata pantai. Seharusnya Fina senang, tetapi dia pasti akan ingat Rafael nantinya saat berhadapan dengan pantai. Kemudian tidak ada lagi pembicaraan antara Fina dan Mario, karena mereka sama-sama menikmati angin laut dari dek kapal cepat ini dengan laju pikiran masing-masing. Fina dan Mario menjejakkan kaki di pasir putih yang tak lagi panas terbakar sinar matahari. Fina menatap kagum langit di balik hamparan luas lautan biru, perlahan tapi pasti sang surya mulai bergelayut manja pada langit putih seolah enggan meninggalkan langit bertahan sendiri menyambut pergantian waktu. Di ufuk barat, laut seolah lebih kuat daripada langit senja ini. Perlahan laut mulai menyedot rakus bulatan jingga itu. Guratan-guratan cakrawala terlukis jelas tanpa cela sedikitpun. Pemandangan yang sangat indah dan enggan untuk terlewatkan begitu saja. Mario mulai memainkan jari-jari kokohnya di atas kamera SLR senilai belasan juta miliknya untuk mengabadikan pemandangan terindah yang pernah ia lihat, istrinya dan matahari terbenam ke dalam satu frame. Senyum orang yang sangat dicintainya sejak dulu itu bergabung dengan warna jingga yang menyatu dengan warna zamrud laut, tentulah momen yang tidak ingin dia lewatkan begitu saja. Tak satupun angle terlewatkan dari bidikan kamera Mario. Kebetulan Mario memang ahlinya dalam hal fotografi. Fina bahkan tidak menyadari apa yang dilakukan oleh suaminya, karena pandangannya terlalu fokus menatap keindahan matahari terbenam. Langit mulai menggelap, hanya tersisa bias cahaya dari celah-celahnya. Mario mendekati istrinya lalu memeluk tubuh Fina dengan sempurna. Dagunya bertumpu di pundak Fina seolah menemukan tempat ternyaman di situ. Fina membalas memeluk lengan yang melingkar di perutnya lalu menyandarkan kepala di kepala pria yang telah nyaman di posisinya itu. “I love you, Veris,” ujar Mario tulus. “I love you more, Rafael.” Mario menarik pelan napas beratnya, lalu berbisik lirih di telinga Fina yang terpaut hanya beberapa senti saja dari bibirnya. “Mario! namaku Mario bukan Rafael,” ucapnya tegas. Sontak Fina terkejut lalu melepas pelukan Mario. Saat tubuhnya berbalik, Fina berlalu begitu saja meninggalkan Mario yang terdiam memandang langit yang tadinya berwarna biru kehijauan, perlahan berubah menjadi hitam legam seperti bola mata yang menatap nanar hamparan gambar gelap di hadapannya. Mario memejamkan kedua mata berusaha meredam rasa cemburu yang hampir membakar dadanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD