4. Perasaan Gundah

1507 Words
Fina terbangun karena aroma masakan enak menyeruak di hidung. Memaksanya untuk segera mengakhiri kematian suri sebelum kepalanya semakin berdenyut hebat akibat kebanyakan tidur. “Selamat siang, Veris.” Senyum itu merekah di wajah manis Mario. Tubuh atletisnya yang hanya dibalut t shirt pas badan berwarna putih polos dan celana tidur biru langit tengah menyandar di samping kaca besar yang menghadap langsung langit dan jalanan ibukota dari lantai 23 hotel berbintang ini. Perlahan Mario mendekati Fina dan duduk di sisi tempat tidur sambil menghadap pada Fina. Mata indahnya terus memandangi hingga membuat jantung Fina bergetar. Siapapun wanita jika dipandang intens seperti ini juga pasti akan bereaksi sama seperti Fina. “Abang udah pesen nasi goreng udang kesukaanmu plus telor ceplok setengah matang, sama teh s**u anget. Kamu makan ya,” kata Mario tak ketinggalan diiringi senyum dewanya. Fina tersenyum miring lalu beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah selesai dengan aktivitas mandi, tubuhnya menjadi segar seolah nyawa telah kembali dari langit ketujuh. Namun betapa bodohnya Fina, karena lupa membawa pakaian ganti sekaligus pakaian dalam baru untuk ia kenakan. Fina menjatuhkan harga dirinya untuk memanggil Mario dan meminta tolong untuk mengambilkan apa yang dibutuhkan di dalam koper, karena tidak mungkin Fina mengenakan handuk yang hanya menutupi sebatas d**a hingga separuh pahanya ini keluar dari kamar mandi. “Bang Iyo..., aku mau minta tolong boleh?” “Boleh. Mau minta tolong apa, Veris?” “Emmhh ..., tolong ambilin baju sama underwear, dong, di koperku.” “Keluar sendiri kenapa memangnya?” jawab Mario dengan nada malas. “Anu bang, itu ... Di sini nggak ada jubah mandi.” Fina menunggu sekian menit tidak ada nada sahutan dari Mario. Fina mulai gelisah di dalam kamar mandi. Ditambah lagi suhu udara di dalam sini cukup dingin. “Koper kamu pakai key lock. Abang nggak tahu key lock-nya. Keluar ajalah. Masa malu sama suami sendiri?” Fina dapat mendengar saat ini Mario tengah tertawa geli di atas penderitaannya. Dengan segenap rasa malu tertahan di ubun-ubun, Fina keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk menyelimuti sebagian tubuhnya. Dia berjalan dengan tertunduk dan tidak berani menatap Mario sedikitpun. Fina mendengus kesal ketika tubuh Mario kini berada tepat di hadapannya dan dengan sengaja menghalangi langkah Fina. “Bang Iyo minggir dong! Aku mau lewat, nih,” pinta Fina setengah putus asa tetap dengan posisi tertunduk. Jemari Fina berhasil mendorong perut sixpack Mario. Akhirnya Mario sedikit bergeser dari tempatnya berdiri dan memberi Fina ruang untuk melewati tubuhnya. Namun yang terjadi, tangan kokoh Mario merengkuh Fina ke dalam pelukannya, secepat kilat Mario sudah berhasil memeluk istrinya itu dari belakang. Tangannya melingkar sempurna dari belakang pundak hingga ke depan d**a Fina. Hidungnya tak hentinya menciumi rambut basah Fina. “Padahal kita belum ngapa-ngapain semalam, tapi kamu udah keramas aja, Veris?” Fina berusaha melepas tangan Mario, tapi yang terjadi tangannya dengan cepat berpindah melingkar dari pinggang hingga perut Fina. Dan Mario menenggelamkan bibirnya di tengkuk sebelah kanan Fina. “Apa-apaan, sih, kamu bang. Aku teriak loh!” pekik Fina di tengah rasa gelisah dan putus asa. Bukannya takut Mario malah tertawa terbahak, hingga kepala yang tadinya berada di tengkuk Fina sekarang menjadi tegak kembali. Lalu perlahan tangan kokoh Mario melepas pelukan Fina. Fina berdecak kesal, berjalan tergesa menuju kopernya, mengeluarkan apa yang ia butuhkan, segera kembali ke kamar mandi dan membanting pintu kamar mandi hingga berbunyi dentuman cukup keras. Mario hanya mendecakkan lidah beberapa kali melihat perlakuan barbar Fina. Setelah berganti pakaian yang lebih pantas Fina keluar dari kamar mandi dan mendapati Mario sedang duduk manis di depan televisi sedang menyesap nikmat espresso hangatnya. Fina menghampirinya dan segera menikmati nasi goreng hampir dingin yang telah dipesan Mario beberapa waktu yang lalu. “Siang ini kita checkout ya.” Fina mengangguk dengan mulut penuh nasi goreng hingga kedua pipinya menggembung. Mario tertawa lirih melihat wajah Fina, lalu menjawil pelan pipi kembung yang sudah seperti ikan maskoki katanya. “Kamu kok nggak nanya kenapa kita checkout atau mau ke mana kita setelah dari hotel?” Wajah manis Mario berubah menjadi serius dan datar karena Fina tak juga menggubris pertanyaannya. Fina meletakkan begitu saja piring yang telah kosong, lalu meneguk air putih dingin di gelas tinggi nan ramping yang disodorkan Mario untuknya hingga tandas. Setelah meletakkan gelas yang telah kosong, Fina beranjak dari duduk sofa, melangkah menuju entah ke mana dia juga tidak tahu. Yang jelas menghindar dari tatapan tajam manik mata hitam Mario yang membuat jantung Fina selalu berdebar tidak menentu. Lengan kokoh Mario mencoba menahan, menarik pelan hingga Fina kembali terduduk di sofa warna merah maroon di depan televisi plasma. “Kamu belum jawab pertanyaan, Abang?” “Mau jawab apa, Bang? Terserah Bang Iyo mau bawa aku ke mana saja. Kan aku sudah jadi istri Bang Iyo sekarang. Puas?” Fina menjawab ketus dan sekenanya. Mario menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan. “Kamu nggak bahagia sama pernikahan kita, Veris? Apa masih ada yang mengganjal di hati kamu?” tanyanya lembut, lebih lembut dari sesaat yang lalu. Pertanyaan bodoh macam apa ini Mario? Tidak seharusnya mengajukan pertanyaan yang dia sendiri tahu jawabannya. Fina menikah dengan Mario bukan lagi karena cinta yang sempat bersemi di hatinya, dulu. Fina mau menikah dengan Mario lebih kepada ingin melihat ibunya bahagia di masa tua, hanya ingin melihat ibunya tenang melihat Fina tak lagi sendiri karena sudah ada orang yang dipercaya untuk menjaga dan menuntun putrinya dunia akhirat, yaitu Mario. Dan bodohnya Mario tahu alasan sebenarnya Fina menerima pinangannya beberapa bulan yang lalu, tepat satu tahun jatuhnya talak dari mantan suami Fina. “Veris? Apa kamu tidak bahagia?” tanyanya sekali lagi. Fina memberanikan diri menatap mata sendu itu. Dilihat bayangan tubuhnya di balik manik mata gelap Mario. “Tidak bisakah kamu buka hatimu untuk Bang Iyo sedikit saja? Tidak bisakah kamu kasih sedikit saja kepercayaan kalau Bang Iyo bisa membahagiakan kamu?” “Seharusnya Bang Iyo menanyakan hal itu jauh sebelum memutuskan untuk melamar dan menikahiku.” Mario terdiam masih tetap menatap Fina, sedangkan Fina menatap ke sembarang arah tidak berani menatapnya. “Seharusnya kamu juga menolak lamaran Abang kalau kamu memang tidak bisa membuka hati dan memberi kepercayaan kamu untuk Abang,” ucap Mario, penuh kesedihan. “Aku bahagia jika melihat ibuku bahagia. Dan kebahagiaan ibuku itu adalah melihatku menikah sama Bang Iyo. Siapa lagi yang akan aku bahagiakan selain ibuku setelah Ayahku telah tiada?” ucap Fina sinis. “Maafin Abang kalau dulu meninggalkan kamu menikah dengan gadis pilihan eyang. Apa mungkin karena itu kamu menutup pintu hati kamu untuk Abang dan nggak percaya lagi sama Abang?” tanya Mario penuh nada putus asa di dalamnya. Fina masih dengan posisi yang sama. Sedetik, dua detik, tiga detik air mata mulai merembes membasahi tulang pipinya. Mario memegang kedua pundak Fina pelan, menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi, lalu mencium kening Fina sekilas. Momennya tidak pas untuk membahas hal-hal berbau kesedihan dan kekecewaan. Tidak lama Mario beranjak dari hadapan Fina dan segera menelpon seseorang dari ponsel yang berada di atas meja kopi. “Susi, gue bentar lagi checkout. Lo ke sini sekarang aja kalau mau ngambil pakaian pengantinnya... Iya jam satu gue cabut. Buruan ya!” Mario memutus sambungan teleponnya. Dan berjalan mendekati Fina yang masih mematung dengan posisi duduk masih sama seperti sesaat sebelum Mario beranjak dari hadapannya. “Abang mau sholat dhuhur. Kamu mau jamaah atau mau beberes dulu?” tanya Mario. Fina mengangguk menyetujui ajakan shalat berjamaah dari Mario. Ada perasaan tenang di hati Fina setiap kali melaksanakan ibadah bersama Mario, seolah tercipta kenyamanan tiada tara dan beban di hati seolah berangsur berkurang. Padahal baru beberapa saat yang lalu perasaan Fina sedang tidak menentu pada Mario, hatinya merasa gundah ketika Mario memberondongnya dengan pertanyaan seputar perasaan yang Fina sendiri tidak tahu akan bermuara di mana. Bisa dibilang salat berjamaah adalah kegiatan yang tidak pernah Fina lakukan dengan mantan suaminya dulu, karena waktu mereka berdua banyak dihabiskan untuk bekerja. Meski terkadang bisa dilakukan di hari libur, tapi tidak mereka lakukan. Hidup Fina bisa dikatakan jauh dari Tuhan saat itu. Salat wajib dilakukan sekenanya, bahkan bisa dibilang sesempatnya saja. Tidak ada satupun dari Fina maupun mantan suaminya untuk saling mengingatkan ibadah wajib umat muslim itu. Dan itulah satu-satunya harapan ibu Fina ingin melihat putrinya menikah dengan Mario, karena berharap Mario bisa mendekatkan Fina pada Tuhan. Setelah selesai salat berjamaah Fina mulai berkemas dan berganti baju dengan pakaian lebih rapi dari sebelumnya. Seseorang yang tadi berbicara dengan Mario di telepon telah datang dan mengambil baju pengantin yang mereka gunakan saat acara pesta pernikahan semalam. Mario memeriksa seisi hotel, memastikan tidak ada satupun barang miliknya maupun Fina yang tertinggal, Fina dan Mario berjalan beriringan menuju meja resepsionis yang berada di lantai dasar hotel berbintang ini. Sepanjang jalan Mario menggamit jemari Fina dan disatukan di sela-sela jari-jarinya. Mario menggenggam tangan Fina dengan erat, hingga Fina bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan menjalar hingga hati. Namun pikiran Fina masih menerawang mencari jawaban atas pertanyaan Mario tadi. Apakah dia tidak bahagia menikah dengan Mario? Apa dia bisa membuka pintu hatinya untuk Mario seperti dulu? Apakah dia masih bisa mempercayai Mario yang dulu pernah membuatnya patah hati karena menikahi perempuan lain, ketika Fina sedang berada di puncak asmara pada Mario? Meskipun dia sudah menikah dengan pria lain hingga telah menjadi janda, dan istri Mario pun sudah meninggal sejak lama, entah kenapa rasa kecewa itu masih membekas di hati Fina. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD