Chapter 2

1263 Words
From : Olivia - Tunangan Pak Hendra Ren. Siang ini aku mau bawain makanan buat Hendra. Dia bisa makan siang ngga ya? Renata menghela napasnya ketika membaca pesan tersebut. Sebenarnya untuk masalah makan siang, Hendra bisa saja. Akan tetapi entah bila makan siang bersama Olivia. Biar bagaimana pun Renata harus menyampaikan pesan itu kepada Hendra. Seperti permintaan Olivia sejak awal. Gadis itu sangat mempercayai Renata sebagai gadis yang bisa menjadi mata-mata Hendra. Renata sendiri merasa miris dengan kenyataan itu. Bila Olivia tahu seperti apa hubungan yang terjalin antara Hendra dan dirinya, pasti dia akan dibunuh. Renata mengambil berkas yang harus ditandatangani oleh Hendra. Dirinya akan menyampaikan pesan dari Olivia itu seraya meminta tanda tangan Hendra. Olivia akan lebih sering mengirim pesan kepada dirinya karena bila gadis itu mengirim pesan kepada Hendra, Hendra tidak pernah membalasnya. "Permisi, Pak. Ini ada berkas yang perlu ditandatangani." Renata meletakkan berkas itu di atas meja Hendra. Hendra yang tengah menatap tabletnya pun mengalihkan fokus sejenak dan mulai membuka berkas yang dibawa Renata. Ia membaca berkas itu sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan. Setelah Hendra menutup berkas, Renata pun menarik napas untuk mulai mengatakan pesan yang dikirimkan Olivia. "Pak. Mbak Olivia mau datang kesini untuk makan siang bersama." Hendra mendongakkan kepalanya dan menatap Renata. "Kantor bukan tempat kencan," ujarnya. Mendengar ucapan itu, Renata ingin sekali rasanya berteriak di hadapan Hendra dan mengatakan bahwa kantor bukan tempat untuk melakukan hubungan intim. Akan tetapi ia tidak mungkin melakukannya. "Tapi Mbak Oli-" "Kamu dibayar berapa sama dia?" tanya Hendra memotong ucapan Renata. Renata pun terdiam atas pertanyaan Hendra itu. "Apa lebih dari yang saya bayar ke kamu?" Renata secara impulsif langsung mengepalkan tangannya. Ia kemudian tersenyum dan mengambil berkas dari atas meja Hendra. "Terima kasih, Pak. Saya permisi." Renata lantas membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah meninggalkan ruangan Hendra itu. "Siapa yang izinin kamu keluar?" Renata menutup matanya sejenak. Ia lantas membalikkan tubuhnya dan menatap Hendra. "Ada apa ya, Pak?" "Kamu belum jawab pertanyaan saya." Renata sangat ingin melempar berkas di tangannya ke arah mata Hendra yang menatapnya dengan dingin tersebut. "Mbak Olivia nggak bayar saya." "Terus ngapain kamu mau aja disuruh-suruh sama dia?" "Saya cuma pengen bantuin Mbak Olivia aja." Hendra pun terdiam dan tetap menatap Renata dengan tajam. "Bantuin apa?" Tentu saja membantu agar Olivia tidak menjadi gadis yang sakit hati karena perlakuan Hendra. Setidaknya dengan Renata yang membantu memberikan kabar mengenai Hendra setiap harinya, itu bisa membantu Renata merasa sedikit lega. "Kamu itu cuma dimanfaatin sama dia. Mulai sekarang, nggak usah lagi ngelakuin apa yang dia suruh. Bilang aja saya sibuk." "Tapi, Pak. Mbak-" "Kamu nggak berhak ikut campur hubungan saya sama dia." ------- "Halo, Mbak?" "Gimana, Ren?" "Coba aja dateng ke kantor kalo Mbak mau." "Hendra gimana?" "Saya nggak tau si Mbak." "Kamu sekarang dimana?" "Lagi makan siang sama pacar hehe." "Oalah gitu. Maaf ya ngeganggu. Ya udah makasih ya, Ren." "Iya sama-sama, Mbak." Renata lantas menutup sambungan telepon itu. "Tunangannya bos?" Renata menganggukkan kepala atas pertanyaan dari Roni itu. Roni pun terkekeh seraya menatap Renata. "Nggak usah ketawa." "Kayaknya aku ngerti kenapa kamu tiba-tiba ngajak ketemu kesini." Renata pun hanya berdecak sebal. "Si tunangannya sama bos lagi berantem karena apa?" Sebenarnya Renata tidak memiliki pacar. Ia hanya mengaku-ngaku kepada Olivia bahwa dirinya memiliki seorang kekasih. Itu karena ketika awal-awal Olivia mengenalnya, Renata sempat dilabrak. Untuk mengamankan posisinya itu, ia meminta tolong kepada sepupunya yang juga bekerja di Jakarta untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Untungnya Olivia percaya. Semenjak itu Olivia justru sering curhat kepadanya mengenai pertunangan dengan Hendra. Bahkan Olivia juga meminta tolong kepada Renata agar menjadi CCTV Hendra dan melaporkan segalanya kepada Olivia. "Bukan berantem. Tapi si bos tadi nyebelin." Biasanya Renata akan meminta Roni untuk makan bersama bila terjadi sesuatu dengan Hendra dan Olivia. Sebut saja pelarian agar Renata tidak perlu berada di tengah-tengah mereka. "Bukannya bos kamu emang nyebelin, Ren?" "Iya juga sih." Sebenarnya bisa dibilang Hendra itu adalah bos yang sangat killer. Hanya saja karena wajahnya yang tampan dan pesonanya yang luar biasa, sikap killer itu seolah termaafkan. Hendra itu sangat tampan namun sayangnya ia terlalu dingin. Akan tetapi berbeda cerita bila sudah urusan ranjang. Lelaki itu sangat panas. Renata langsung menggelengkan kepalanya ketika ia mulai memikirkan mengenai Hendra. Ia sedang kesal karena ucapan lelaki itu jadi dirinya melarikan diri dengan makan siang bersama Roni. Ponsel Renata di atas meja tiba-tiba saja bergetar. Ia membulatkan matanya ketika Hendra menelpon dirinya. "Duh! Ngapain, sih?" keluhnya. Roni pun ikut menatap ke ponsel Renata. "Lah, baru aja diomongin. Orangnya nelpon." Renata memilih untuk mendiamkan panggilan tersebut. Ia tidak mengangkat ataupun menolaknya. "Nggak diangkat?" tanya Roni. "Males." Panggilan masuk itu terhenti dan kemudian berganti dengan sebuah pesan masuk dari Hendra. From : Pak Hendra angkat! Renata menghela napasnya. Tidak lama kemudian, panggilan telepon itu kembali masuk. "Angkat aja deh, Ren. Dari pada nyari masalah." Renata kembali menghela napasnya. Ia lantas mengangkat telepon itu. "Ha-" "Dimana?" "Makan siang, Pak." "Ke ruangan saya sekarang." "Tapi saya-" "Sekarang." "Pak, saya-" Tut tut tut Sambungan telepon pun terputus. Renata rasanya ingin berteriak dengan keras kepada lelaki itu. Dirinya sedang berada di restoran yang cukup jauh dari kantor. Dirinya bahkan belum menyentuh makan siang di hadapannya karena sejak tadi sibuk menerima panggilan masuk dan pesan ke ponselnya. Lalu lelaki itu sekarang memintanya datang ke ruangan seolah Renata bisa melakukannya dengan cepat. Padahal butuh beberapa waktu untuk melakukannya. "Itu orang jadi manusia kenapa nyebelin banget, sih!" "Ha? Gimana, Ren?" tanya Roni. Renata kemudian menatap Roni. "Ron, kamu hari ini nggak ada jadwal kerja kan?" Roni pun menatap Renata dengan pandangan penuh curiga. "Kenapa?" "Temenin aku bolos kerja, ya?" "Kamu gila?!" Renata pun menganggukkan kepalanya. Rasanya ia sudah gila sejak hari pertama bekerja sebagai sekretaris Hendra. -------- Renata menghela napas begitu ia tiba di depan pintu apartemennya. Dirinya menatap sejenak ke pintu apartemen Hendra. Ia tinggal di apartemen yang diberikan lelaki itu. Apartemennya tepat berada di hadapan lelaki itu. Dirinya lantas membuka pintu dan melangkah masuk. Karena masih gelap, ia pun menyalakan lampu ruang tamu. Klik Ruangan pun seketika menjadi terang karena Renata telah menyalakan lampu. "Kemana aja kamu?" "Astaga!" Renata langsung memegang dadanya karena merasa terkejut. Ia membulatkan matanya menatap Hendra yang duduk di sofa ruang tamu apartemennya. Lelaki itu menyilangkan tangan depan d**a dan kemudian menatap Renata dengan dingin. "Bapak ngapain disini?" Meskipun mereka sering berhubungan badan, baik Renata maupun Hendra tetap menggunakan panggilan sopan terhadap satu sama lain. Layaknya mereka benar-benar hanya bos dan sekretaris. "Nunggu kamu yang katanya sakit." Renata pun merasa mati kutu. Tadi dirinya memang mengirimkan pesan kepada mbak Ari yang merupakan resepsionis ruangan Hendra. Wanita itu yang selalu membantunya selama ini. Termasuk ketika Renata merasa sangat kesal dengan Hendra jadi menggunakan jurus ampuh untuk menghindar yaitu surat izin sakit. Dirinya mengaku sakit dan meminta tolong mbak Ari untuk membuat surat keterangan sakit jadi Renata bisa kabur dari kantor. Hendra pun bangkit dari duduknya dan menatap Renata. "Kemana aja kamu?" tanyanya lagi. Renata menghela napasnya. "Kalo Bapak mau main, saya mandi sama makan dulu sebentar. Renata hendak melangkah namun Hendra kembali berbicara. "Kamu beneran sakit atau cuma mau bolos kantor?" Renata menggigit bibirnya karena mulai merasa khawatir. Sejauh ini selama dirinya bolos kerja dengan alasan sakit, Hendra tidak pernah sampai memergokinya seperti ini. "Saya udah bilang supaya kamu ke ruangan saya. Tapi malah ngakunya sakit dan matiin HP." Renata memang sengaja mematikan ponselnya karena yakin bahwa Hendra pasti akan menerornya. "Saya mohon maaf, Pak. Tadi saya pengen jalan-jalan ke mall." Hendra masih saja menatapnya dengan dingin. "Lain kali kalau mau bolos, jujur saja. Saya pasti kasih. Jangan ngaku-ngaku sakit " Renata menganggukkan kepalanya. "Jangan buat saya khawatir," ujar Hendra kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD