Bab. 64

2103 Words
        "Terima kasih ya," ucap Emma ketika Emma sudah turun dari mobil Jogi. Iya, malam ini Emma diantar pulang dengan Jogi. Tadi, kebetulan Jogi juga melihat Emma berjalan dari cafe menuju halte bus, kemudian Jogi menawarkan untuk pulang bersama saja. Lagian, Emma juga adalah adalah sahabat baik dari istrinya. Dan Emma pun tentu saja awalnya menolak, tapi akhirnya Emma pun menerima tawaran dari suami sahabat nya itu.          "Maaf ya selalu ngerepotin kau Jogi," ucap Emma tidak enak. Jogi tersenyum ke arah Emma.         "Ah! Tidak apa-apa, kau kan teman Lamtiar, jadi otomatis kau juga adalah teman saya," ucap Jogi santai. Emma mengangguk paham. Beruntung sekali sahabat nya itu. Lamtiar. Mendapatkan suami yang baik seperti Jogi.         "Mau mampir dulu tidak?" tawar Emma. Jogi pun dengan cepat menggelengkan kepalanya.         "Tidak usah, saya langsung pulang saja. Udah malam juga soalnya," Emma pun mengangguk paham. "Yaudah, saya pergi dulu ya," ucap Jogi.         "Sekali lagi terima kasih," ucap Emma kemudian. Lalu, Jogi pun langsung menjalankan mobilnya. Emma membalikkan tubuhnya dan berjalan untuk masuk ke gang rumah nya. Namun, langkah Emma terhe to karena ada yang memanggil dirinya. --- Aruna          Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dan aku pun baru pulang dari salah satu restoran, tempat paman Bontor mentraktir aku dan pegawai minimarket lainnya. Aku berjalan menuju gang rumah ku, namun di depan sana aku melihat ibu yang baru turun dari mobil. Kening ku mengernyit. Ibu diantar oleh siapa? Namun, aku tidak asing dengan mobil itu. Aku seperti mengenali mobil itu. Sepertinya itu mobil ayah Duma? Tapi, kok ibu bisa pulang dengan om Jogi? Setelah mobil itu pergi dan aku melihat ibu yang ingin berjalan masuk ke dalam gang, aku pun langsung saja memanggil ibu.          "Ibu!!" panggil ku dengan suara yang cukup keras. Ibu pun membalikkan kembali badannya untuk melihat sumber suara yang memanggil dirinya. Aku langsung berlari kecil untuk menghampiri ibu di depan sana. Ketika aku sudah berada di dekatnya, aku pun langsung bertanya tentang mobil tadi.          "Itu ... Ibu pulang sama siapa?" tanya ku. Namun, ibu pun tidak langsung menjawab. Ibu diam sebentar.           "Itu om Jogi, tadi ketemu di jalan, dan ia menawarkan dirinya untuk mengantarkan ibu pulang," ucap ibu menjelaskan.           "Oh begitu," ucap ku. Aku dan ibu pun berjalan bersama untuk menuju rumah.           "Kenapa kau baru pulang sekarang? Biasanya jam tujuh malam kau sudah pulang bukan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk membenarkan pertanyaan ibu yang terakhir.          "Iya, tadi bos ku mentraktir semua pegawai di minimarket nya untuk makan bersama," jawab ku jujur.          "Kau besok sudah sekolah, artinya hari ini adalah hari terakhir kau kerja kan?" tanya ibu memastikan.          "Iya Bu, dan aku juga sudah berpamitan dengan bos ku dan teman-teman ku di sana. Ehm! Ibu ... Boleh tidak aku melanjutkan kembali pekerjaan ku ini?" tanya ku dengan berani. Aku tak menatap wajah ibu, jadi aku tidak bagaimana raut wajah nya sekarang.           "Aruna, kau masih ingat perjanjian kita di awal bukan? Kau hanya bekerja selama dua minggu ini, dan itu tidak lebih. Tolong mengerti kan ibu ya nak, ibu tidak mau kau dicap jelek oleh para tetangga-tetangga di sini," ucap ibu memperingati ku. Aku menghembuskan napas ku kasar. Lagi-lagi tentang omongan orang. Kenapa sih ibu harus memikirkan omongan orang? Huh! Aku pun tidak melanjutkan kembali percakapan ku dengan ibu ini. Aku dan ibu berjalan dengan tanpa berbincang lagi, sampai ketika kami pun sampai di rumah kami. Aku menunggu ibu yang membukakan pintu rumah tersebut. Setelah pintu terbuka aku pun segera masuk ke dalam dan langsung berjalan ke kamar ku.            Aku mengambil amplop putih yang ada di dalam tas ku. Itu adalah uang gajih ku, hasil aku bekerja keras selama 2 minggu ini. Aku pun belum menghitung berapa total uang gajih ku itu. Aku akan menghitung nya ketika aku sudah membersihkan badan ku. Aku pun menaruh amplop putih itu ke dalam tas ku kembali. Lalu, aku segera mengambil handuk dan baju ganti ku dan langsung berjalan keluar kamar untuk menuju kamar mandi. ---          Jogi memakirkan mobil nya di halaman depan rumah nya itu. Setelah Jogi memakirkan mobil nya, Jogi pun langsung saja berjalan menaiki tangga untuk menuju pintu rumah nya. Jogi memencet bel rumah nya itu. Tak lama istrinya lah yang membukakan pintu rumah nya tersebut.           "Lama sekali bang ngambil dokumen nya?" tanya Lamtiar. Iya, tadi setelah Jogi mengantarkan pulang anaknya, Jogi kembali ke kantor untuk mengambil berkas kerjaan nya yang ketinggalan. Jogi harus menyiapkan materi presentasi besok di kantor nya. Jogi menyerahkan dokumen yang ia bawa kepada istrinya, menyuruhnya untuk menaruh dokumen tersebut di ruangan kerjanya.           "Iya tadi, saya sekalian antar sahabat kau pulang," jawab Jogi. Lamtiar menutup pintu rumahnya setelah Jogi masuk ke dalam rumah, tak lupa Lamtiar mengunci pintu rumah nya tersebut.          "Emma? Kok bisa ketemu?" tanya Lamtiar lagi.          "Tadi ketemu di jalan," jawab Jogi lagi. "Saya ingin mandi dulu ya, gerah sekali tubuh saya," ucap Jogi lagi. Kemudian, Jogi pun berjalan menuju kamar nya dan segera membersihkan tubuh nya itu. Lamtiar pun berjalan menuju ruangan kerja suami nya itu untuk menaruh dokumen yang di berikan oleh Jogi tadi. --- Aruna           Aku tersenyum ketika selesai menghitung uang gajih ku. Paman Bontor sangat baik sekali. Padahal aku bekerja di tempat nya hanya 2 minggu, namun paman Bontor bisa-bisanya dengan baik hatinya memberikan ku gajih sebanyak dua juta. Aku tersenyum menatap uang gajih ku ini. Aku pun kembali menaruh nya di dalam amplop putih tadi, dan aku memikirkan dimana aku taruh uang ini. Aku harus bisa mengamankan uang ini. Ayah tidak boleh sampai tau kalau aku memiliki uang sebanyak ini. Aku mencari-cari tempat untuk menyembunyikan uang ini. Aku berpikir untuk sementara ini mungkin aku taruh uang ini di selip-selipam buku-buku ku saja. Nanti, rencananya aku akan membuka rekening di bank. Aku yakin pastinya uang aku akan aman jika tersimpan di dalam bank. Aku melihat jam dinding di kamar ku, sekarang sudah pukul sebelas. Aku harus segera tidur agar besok aku tidak kesiangan. Karena, besok adalah hari pertama aku kembali masuk sekolah. Aku pun mematikan lampu kamar ku dan segera berbaring di atas kasur ku. Aku pun segera memejamkan kedua mata ku.  ---           Aku membuka kedua mata ku ketika mendengar suara ribut-ribut yang berada di luar kamar ku. Aku menghidupkan lampu kamar ku terlebih dahulu, dan aku melihat jam dinding di kamar ku. Sekarang masih pukul lima lebih dua puluh menit, tapi kenapa masih pagi buta seperti ini di luar sudah terdengar suara ribut-ribut. Apa yang sebenarnya diributkan oleh ayah dan ibu pagi-pagi seperti ini. Apa mereka tidak malu dengan para tetangga-tetangga yang mungkin saja mendengar keributan mereka itu. Aku berdecak kesal ketika suara ibu pun bertambah keras. Aku mengambil ikat rambut ku dan aku pun menguncir rambut lurus panjang ku. Aku memutar kunci kamar ku dan langsung ku buka pintu kamar ku. Pandangan pertama kali yang aku lihat adalah ibu yang sedang memukul-mukul d**a ayah. Aku mengernyitkan kening ku, ada apa sebenarnya ini. Aku pun terkejut ketika tiba-tiba ibu menampar pipi ayah dengan keras.           "Ibu!!!" panggil ku kepada nya. Aku berjalan cepat ke arah ibu. Aku pun menahan ibu yang kembali ingin meluapkan emosi nya kepada ayah. Aku sudah melihat wajah ayah yang sudah babak belur.            "Ibu! Ini ada apa semuanya? Dan kenapa wajah ayah babak belur seperti ini? Ayah! Ayah sadar!" ucap ku yang berusaha menyadarkan ayah. Aku yakin saat ini kesadaran ayah masih dibawah pengaruh alkohol. Ketika aku ingin membantu ayah, suara ibu pun menginterupsi ku, melarang ku untuk membantu ayah.           "Biar Aruna! Biarkan ayah kau seperti itu! Tidak usah membantu nya, sekarang kau mandi dan bersiap-siap untuk sekolah saja," ucap ibu yang tidak ingin di bantah. Aku pun langsung saja mengikuti perintah darinya. Aku takut jika aku membantah ibu. Emosi ibu saat ini pasti belum mereda, jadi aku tidak ingin mendapatkan semburan dari kemarahan nya itu.            Aku pun kembali masuk ke dalam kamar ku untuk mengambil baju seragam ku, lalu aku pun kembali keluar menuju kamar mandi. Aku merenung di dalam kamar mandi, ada apa sebenarnya semua ini. Masih pagi-pagi sekali udah ribut-ribut seperti ini. Memang kesalahan apalagi yang ayah perbuat sampai ibu tadi terlihat marah sekali. Aku pun dengan cepat membersihkan tubuh ku, dan segera memakai baju seragam ku. Setelah semuanya selesai aku pun langsung keluar dari kamar mandi dan melihat ibu yang sedang memasak untuk menyiapkan sarapan.            "Ibu..." panggil ku pelan. Ibu terlihat menghapus air mata nya, kemudian ibu menoleh ke arah ku. Aku pun pura-pura tidak tau jika ibu tadi menangis.            "Iya kenapa sayang?" jawab ibu dengan suaranya yang serak. "Kau siap-siap lah dulu di kamar, masakan ibu belum matang," ujar ibu. Bukan, aku bukan menanyakan tentang masakan ibu. Tapi, aku ingin menanyakan tentang tadi. Apakah aku harus menanyakan masalah tadi? Atau aku harus bersikap diam saja? Aku tau ini masalah diantara orang tua ku, namun aku sangat penasaran hal apa yang diributkan oleh mereka. Tapi, mengingat suasana hati ibu yang sedang tidak baik-baik saja seperti ini. Aku pun mengurungkan niat ku untuk bertanya dengannya. Aku membalikkan badan ku pergi meninggalkan ibu yang sedang memasak di dapur.           Aku mencabut charger ponsel ku. Kemudian, aku menghidupkan data seluler ponsel ku, dan masuklah banyak sekali notif yang muncul. Kebanyakan dari grup kelas. Aku pun tak membuka grup tersebut, aku beralih ke pesan yang dikirimkan oleh Duma.           "Jangan sampai telat ke sekolah nya, see you!"            Begitulah pesan yang dikirimkan olehnya. Aku terkekeh melihat nya. Beginilah tingkah nya karena kelamaan jomblo, sebenarnya Duma ini cantik banyak sekali laki-laki di sekolah yang menyukai Duma, bahkan ada yang terang-terangan yang menyatakan cinta nya kepada Duma, namun lagi-lagi Duma pun menolak nya dengan berdalih ia ingin fokus dengan sekolah dulu, ia tidak ingin berpacaran dulu. Aku pun dengan segera membalas pesan darinya. Setelahnya aku mengambil sepatu sekolah ku dan langsung memakai nya, setelah itu aku mengambil tas sekolah ku dan langsung berjalan keluar kamar, tak lupa aku mengunci pintu kamar ku. Semenjak hari ayah yang berani masuk ke dalam kamar ku, aku menjadi trauma. Takut ayah akan kembali melakukan perbuatan itu.            Aku pergi ke dapur dan langsung duduk di kursi makan. Aku pun memperhatikan ibu yang sedang menyiapkan sarapan untuk ku. Aku pun tanpa ingin bertanya-tanya, langsung saja aku menghabiskan sarapan ku dengan cepat. Aku ingin segera berangkat ke sekolah, aku tidak nyaman sekali jika berlama-lama di rumah ini. Suasana di rumah ini seperti memabwa aura negatif ke dalam diri ku. Setelah aku menyelesaikan saarpan ku, aku pun pamit kepada ibu. Dan langsung berjalan keluar rumah menuju halte untuk menunggu bus datang. ---          Setelah Aruna pergi kes sekolah, Emma pun berjalan menuju kamar nya untuk menghampiri suaminya. Emma menatap tajam suami nya yang tertidur nyenyak itu. Emma yang melihat wajah lebam suaminya itu pun tidak berniat untuk mengobati nya, Emma sudah terlanjur sakit hati, karena Emma mengetahui fakta bahwa suaminya itu menggoda istri orang lain di luar sana. Iya, Emma tahu tentang ini, karena tadi suaminya lah yang berbicara langsung. Saat tadi Emma menanyakan mengapa wajah suaminya itu babak belur, dan suaminya pun langsung menjawab karena habis dipukuli oleh suami dari sekarang perempuan yang digoda oleh Abraham. Lantas, Emma yang mendengar jawaban dari suaminya itu langsung saja marah besar. Emma percaya bahwa omongan orang mabuk itu adalah omongannya yang sebenarnya. Apa-apaan suaminya itu, berani-beraninya bertingkah menggodai istri orang. Dan karena Abraham menggoda istri orang lain itulah, Abraham terkena bogeman mentah dari suami si istri yang di goda oleh Abraham.           "Bangun!!!!! Jangan tidur saja kau!" ucap Emma sambil menarik kasar selimut yang dikenakan oleh Abraham.          "Abraham!!! Saya ingin cerai!!!!!" ucap Emma langsung. Iya, Emma sudah tidak tahan sekali untuk hidup bersama dengan Abraham lagi. Abraham yang mendengar akta cerai yang dilontarkan oleh istrinya pun langsung saja membuka kedua matanya dengan lebar. Kemudian, Abraham langsung bangun dan terduduk di kasur.          "Apa? Kau mau cerai?" tanya Abraham memastikan. Emma pun mengangguk dengan pasti. Abraham tersenyum miring.          "Jadi kau lebih memilih cerai dengan ku? Kau tidak lagi sayang dengan anak kau itu lagi kah? Kau lupa perjanjian kita dulu? Jika kau ingin bercerai dengan saya, maka kau sudah tau konsekuensi yang akan kau terima nantinya. Dan kau harus siap-siap untuk kehilangan anak kesayangan kau itu," ucap Abraham sambil menatap remeh Emma.           Emma memejamkan kedua matanya, menahan amarah yang bergejolak di hatinya itu. Inilah yang Emma tidak suka. Selalu saja Abraham mengancam Emma dengan mempertaruhkan anak nya ini. Emma tidak ingin Abraham sampai menyakiti Aruna. Emma sangat lemah jika berhubungan dengan Aruna. Emma tidak ingin Aruna di bawa-bawa ke dalam permasalahan rumah tangga nya ini. Emma pun hanya bisa pasrah sekarang. Sekeras apapun Emma melawan Abraham, tentunya Emma pun akan selalu kalah. Emma akan langsung menyerah jika Abraham sudah menyangkut pautkan dengan Aruna. Emma membalikkan badannya dan pergi keluar dari kamarnya. Sedangkan Abraham hanya tersenyum sinis melihat istrinya nya yang meminta cerai tadi itu.          "Dasar! Sok berani sekali dia meminta cerai dengan saya," ucap Abraham. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD