Bab. 60

2007 Words
         Aku membuka kedua mata ku. Melirik sebentar ke arah jam dinding yang ada di kamar ku. Sekarang sudah pukul enam pagi. Aku pun merentangkan kedua tangan ku ke atas. Setelah itu mengambil ikat rambut ku di atas meja kecil yang ada di sebelah tempat tidur ku. Aku pun mengikat cepol rambut panjang ku. Sebelum aku mandi, aku membuka jendela kamar ku dan sinar matahari pun langsung menerpa wajah ku. Pun dengan segera aku mengambil handuk dan pakaian ganti ku, aku berjalan keluar kamar dan menuju kamar mandi yang ada di dapur. Ketika aku berjalan ingin menuju kamar mandi yang ada di dapur, aku melihat ayah yang tertidur di kursi panjang depan tv dengan hanya menggunakan kaos dalam nya dan celana training nya saja. Aku menatap pintu kamar ibu sebentar, apa iya ibu masih mengunci pintu kamar nya? Aku pun berjalan kembali menuju kamar ibu untuk mengecek pintu kamar nya, apakah masih terkunci atau tidak. Namun, ketika aku menekan knop pintu kamar ibu, pintu itu pun langsung terbuka. Dan aku melihat di dalam kamar ibu semuanya sudah rapih, tapi aku tak melihat keberadaan ibu sampai saat ini. Apa iya ibu sudah berangkat ke cafe? Tapi sekarang kan masih pagi sekali. Aku pun berjalan kembali menghampiri ayah berniat untuk membangunkan nya untuk pindah ke dalam kamar nya saja.           "Ayah! Bangun," panggil ku kepada nya. Aku melihat slayah sepertinya tidur nya sangat nyenyak sekali, sampai-sampai air liur nya saja sedikit keluar mengenai pipi nya itu. Aku menggoyangkan bahu ayah.          "Ayah, pindahlah ke kamar ayah tidur nya, tidak enak dilihat jika ayah tidur dilur sini. Takut nya nanti ada yang datang," ucap ku. Dan ya, kedua mata ayah pun langsung terbuka. Ia mengucek sebentar kedua mata nya. Dan ia pun langsung menatap diri ku.          "Ibu kau mana?" tanya ayah langsung. Aku berpikir sebentar, aku juga bingung ibu kemana. Atau mungkin ibu pergi keluar untuk membeli makanan sarapan? Aku pun menjawab pertanyaan ayah dengan mengembangkan kepala ku, tidak tahu. Ayah pun berdecak kesal.          "Ck! Apa-apa tidak tau, bodoh sekali kau ini!" ucap ayah memaki ku. Aku menghela napas ku ketika mendengar makian dari mulut nya itu. Ini masih pagi loh... Kenapa sih ayah tidak pernah bicara dengan memikirkan terlebih dahulu kalimat apa yang ia lontarkan itu, kenapa dia tidak pernah memikirkan ucapan nya apakah akan menyakiti hati lawan bicara nya atau tidak. Aku yang tidak ingin memperpanjang lagi, lantas aku bangun dan pergi menuju kamar mandi untuk segera bergegas mandi. Hari ini aku akan menemui paman Bontor di minimarket nya jam sembilan nanti. Aku melihat jam dinding sebentar, sekarang masih pukul enam lebih tiga puluh menit, artinya aku masih punya banyak waktu sebelum aku menemui paman Bontor nanti. ---           Setelah aku membersihkan tubuh ku, aku berjalan keluar untuk menjemur handuk ku yang basah. Namun, ketika aku sedang menjemur handuk ku, ada 2 orang ibu-ibu yang melintasi rumah ku. Aku pun bersikap ramah kepada mereka. Aku pun menyapa mereka. Namun, respon mereka pun itu membuat ku tidak nyaman. Mereka menatap ku dengan tatapan yang sinis. Aku pun mencoba untuk tetap tersenyum ke arah mereka.           "Eh gimana Aruna, ayah kau itu? Katanya kemarin dia itu menjambret di pinggir jalan ya? Ayah kau di bawa ke kantor polisi tidak tuh?" tanya salah satu ibu-ibu yang mengenakan tutup kepala, kalau di agama Islam itu namanya adalah jilbab. Aku pun menahan malu mendengar pertanyaan yang dilontarkan dari ibu-ibu tersebut.            "Eh kok diam aja sih, di jawab dong. Apa ayah kau itu tidak dibawa ke kantor polisi? Duh bisa jadi bahaya ini Bu, kalau misal si suami Emma itu tidak diserahkan ke kantor polisi, yang ada nanti suami Emma bisa saja maling ke rumah kita. Pokoknya kita harus jaga-jaga aja ya, waspada," ucap ibu yang menggunakan jilbab itu lagi. Aku mengerutkan keningku mendengar penuturan dari ibu-ibu tersebut.           "Loh kok ibu bilangnya seperti itu sih Bu? Tidak baik loh Bu bicara seperti itu," ucap ku. Tadinya, aku ingin mengelak, namun karena memang benar ayah melakukan itu semua, jadi aku tidak mencoba untuk mengelak nya.           "Lah kan memang iya kan? Saya bicara dengan sesuai fakta loh, saya tidak melebih-lebihkan. Dan warga di sini juga harus lebih waspada, siapa tau ayah kau itu bisa melakukan hal itu lagi kan," aku diam saja. Aku tidak merespon ucapan nya itu.           "Udah yuk Bu, kita pergi aja dari sini. Tidak ada gunanya juga kita bicara sama anak dari seorang tukang maling ini," kemudian kedua orang ibu-ibu itu pun pergi meninggalkan aku yang masih berdiri diam.           Aku memikirkan ucapan ibu-ibu tersebut, katanya aku adalah seorang anak dari tukang maling? Aku tersenyum miris. Selain aku anak dari seorang penjudi, aku pun anak dari seorang tukang maling juga. Hah! Betapa rusak nya keluarga ku ini. Sungguh aku malu sekali jika aku nantinya akan sering sekali keluar-keluar rumah bertemu para tetangga yang tinggal di dekat rumah ku ini. Malu. Malu rasanya aku memiliki keluarga yang seperti ini. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Aku pergi ke dapur dan menarik kursi makan untuk aku duduki. Namun, mata ku melihat ada secarik kertas di bawah dekat kaki kursi yang aku duduki ini. Aku pun segera mengambil nya dan membaca tulisan yang ada di atas kertas putih tersebut. Di sana tertulis kalau ibu sudah berangkat ke cafe tadi jam lima lebih tiga puluh menit, dan ibu tidak sempat untuk membuatkan sarapan untuk ku dan ayah. Pagi sekali ibu berangkat kerja. Pantas saja ibu tidak pulang sampai saat ini, aku pikir ibu sedang pergi keluar untuk membeli makanan untuk sarapan. Aku pun bangun dan segera memasak untuk menyiapkan sarapan untuk ku dan ayah. Pagi ini aku ingin memasak sarapan yang simpel aja. Aku akan membuat 2 porsi nasi goreng dan 2 telor ceplok. Aku pun dengan cepat menyelesaikan masakan ku itu.            Setelah aku menyelesaikan sarapan ku dan aku pun sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah ku ini, dari mulai menyapu, mengepel lantai, mencuci baju dan peralatan dapur yang kotor, dan lain-lain. Semuanya sudah aku bereskan. Sekarang sudah pukul delapan lewat tiga puluh menit. Setengah jam lagi aku harus menemui paman Bontor di minimarket nya. Aku mengganti pakaian rumah ku dengan kaos lengan pendek berwarna putih dan kemeja bermotif kotak-kotak yang ku jadikan sebagai outer nya. Setelah aku mengikat rambut ku agar terlihat lebih rapih, aku mengambil sepatu ku yang ku letakkan di kotak sepatu yang berada di bawah kolong ranjang tidur ku. Setelah semuanya selesai, aku mengambil tas slingbag ku. Aku pun pergi keluar kamar. Aku melirik ke pintu kamar milik orang tua ku. Saat ini ayah pun belum keluar dari kamar nya. Apa aku harus kembali membangunkan nya lagi? Tapi, kalau aku membangunkan ia dari tidurnya pasti ayah akan memarahi ku. Sudahlah, aku memutuskan untuk membiarkan nya saja, nnati juga ia akan bangun sendiri. Aku berjalan menuju pintu depan rumah ku. Aku pun membuka dan menutup kembali pintu rumah tersebut. Aku segera berjalan menuju ke depan gang. Aku akan menaiki salah satu ojek yang biasanya sudah banyak sekali yang menangkring di depan sana. ---            "Terima kasih ya bang," ucap ku sambil menyodorkan uang kertas sebanyak lima belas ribu. Setelah ojek yang mengantarkan aku tadi pergi, aku pun membalikkan badan ku menatap minimarket yang berdiri kokoh di hadapan ku ini. Di sana juga banyak anak-anak muda seusia ku duduk di kursi yang di sediakan di depan minimarket tersebut sambil menyantap beberapa cemilan yang di beli dari minimarket tersebut. Aku pun berjalan melangkah untuk masuk ke dalam minimarket tersebut. Tak lupa aku menelpon paman Bontor terlebih dahulu untuk memberitahukannya kalau aku sudah sampai di minimarket milik nya itu. Tidak lama, setelah aku menelpon paman Bontor, ia pun segera turun dari ruangan nya yang berada di lantai 2. Aku pun dengan segera menghampiri paman Bontor.            "Paman," sapa ku sambil mengambil sebelah tangan kanannya, dan aku pun mencium punggung tangan nya itu. Paman Bontor pun menyambut ku dengan senyuman lebar yang menghiasi di wajah nya. Paman Bontor ini usianya sudah sangat tua, kira-kira paman Bontor ini berusia sekitar hampir tujuh puluh tahun. Istri paman Bontor sudah meninggal dari lima tahun yang lalu. Anak-anak paman Bontor pun semuanya sudah menikah dan anak-anak nya itu pun tinggal nya pisah dengan paman Bontor, yang akhirnya pun paman Bontor tinggal hanya seorang diri di rumah nya itu. Aku pernah sekali main ke rumah nya, terasa sekali paman Bontor ini kesepian di rumah nya itu. Tidak ada yang menemani nya, tidak ada yang mengajak nya berbincang-bincang di rumah nya. Mungkin karena itulah, paman Bontor sering sekali menghabiskan waktu nya di minimarket nya itu untuk mengisi kekosongan waktu luang nya.             "Ayo Aruna, ikut paman ke ruangan paman sekarang. Nanti paman akan memberitahukan pekerjaan apa yang ahrus kau lakukan," ucap paman Bontor. Aku pun mengikuti paman Bontor untuk naik ke lantai 2, tempat ruangan paman Bontor berada.             Aku duduk di salah satu sofa yang tersedia di ruangan paman Bontor. Aku memerhatikan ruangan paman Bontor ini, ruangan nya sangat nyaman sekali.             "Ini Aruna, minumlah dulu," ucap paman Bontor sambil menaruh secangkir teh di atas meja di dekat ku. Aku tersenyum mengangguk dengan sopan.            "Terima kasih Paman," ucap ku. Paman Bontor pun duduk di sofa yang berbeda dengan ku.            "Baiklah, sebelumnya paman mau tanya dulu sama Aruna. Ibu Aruna udah tau kalau Aruna mau kerja di sini?" tanya paman Bontor. Aku langsung saja menggelengkan kepala ku.            "Belum paman, niat Aruna nanti akan Aruna langsung kasih tau ibu, kalau Aruna bekerja di tempat paman ini," ucap ku. Paman Bontor pun menggeleng-gelengkan kepala nya menatap ku.            "Begini Aruna, paman bisa saja memberikan pekerjaan sama kau hari ini. Tapi, mengingat kau belum memberitahu ibu kau, paman pun jadi ragu mau memberikan pekerjaan ini," ucap paman. Aku yang tadinya menundukkan kepala ku pun langsung saja mendongak menatap paman Bontor.            "Paman ... Paman Bontor harus percaya sama Aruna ya, nanti setelah Aruna pulang kerja dari minimarket ini. Aruna akan langsung bilang sama ibu di rumah," ucap ku. Aku harus meyakinkan paman Bontor saat ini. Aku tidak mau nantinya paman Bontor tidak akan memberikan pekerjaan nya kepada ku. Aku sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk mengisi waktu luang ku selama liburan sekolah ini. Dan juga selain itu aku juga harus mencari uang untuk bisa membayar uang pendaftaran kuliah ku nanti. Dari sekarang aku harus bekerja keras untuk bisa mengumpulkan uang tersebut. Aku menatap paman Bontor yang sedang berpikir sebentar.             "Kau disini bekerja hanya dua minggu?" tanya paman Bontor kemudian. Aku pun berpikir sebentar. Apa aku harus melanjutkan pekerjaannya saja? Jadi, aku sekolah dan juga sambil bekerja. Ya, itu ide yang cemerlang. Benar, mungkin dengan cara yang seperti itu aku bisa lebih cepat menabung uang untuk kuliah ku.             "Kalau Aruna bekerja di sini sampai seterusnya apakah boleh paman?" tanya ku. Paman Bontor pun terlihat terkejut ketika mendengar pertanyaan ku itu, namun paman Bontor langsung mengubah raut wajah nya menjadi seperti biasa lagi.             "Apa tidak menganggu sekolah kau nak? Sekarang kan kau masih sekolah, apalagi kau sudah kelas dua belas bulan?" tanya paman Bontor. Aku pun memikirkan nya lagi. Memang aku yakin pasti di kelas dua belas ini jadwal ku akan lebih padat dari sebelumnya, di kelas dua belas ini tentunya nanti akan banyak sekali latihan-latihan untuk persiapan ujian kelulusan nanti. Tapi, aku yakin aku pasti bisa melakukan semuanya.            "Tenang saja paman, pekerjaan ini tidak akan menggangu pendidikan Aruna kok. Aruna akan mengatur jadwal nya dengan sangat baik, walaupun Aruna bekerja, Aruna pasti tidak akan melalaikan tugas Aruna sebagai seorang pelajar," ucap ku meyakinkan paman Bontor.            "Baiklah, kalau dari paman sih, paman menyetujui nya asal tidak mengganggu sekolah kau, tapi kalau ibu kau tau bagaimana? Tentunya ibu kau tidak akan memperbolehkannya," ucap paman Bontor. Aku pun dengan segera meyakinkan paman Bontor lagi.            "Tenang saja paman, untuk urusan ibu itu biar Aruna yang mengurus semuanya," jawab ku. Paman Bontor pun mengangguk.            "Baiklah, nak. Hari ini kau sudah boleh bekerja. Nanti di bawah kau tanya saja sama pekerja lainnya, kau bantu mereka ya Aruna di sana," ucap paman Bontor. Aku pun dengan semangat menganggukkan kepala ku. Senang. Perasaan ku sangat senang sekali hari ini, akhirnya aku bisa berkerja.            "Terima kasih Paman, terima kasih banyak," ucap ku sambil menggenggam erat telapak tangan paman Bontor. Paman Bontor pun tersenyum, mengusap puncak kepala ku dengan pelan. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD