Bab. 59

1456 Words
       Aku menutup pintu rumah ku setelah Bu Wati pergi dari rumah ku. Ya, tadi Bu Wati yang mengetuk pintu rumah ku. Dan memberikan kabar kepada ibu yang aku pun tak tau kabar apa yang dikasih tau oleh Bu Wati, karena aku meninggalkan Bu Wati dan ibu berbicara di ruang tamu. Namun, setelah Bu Wati tadi pamit pergi aku melihat ibu dengan wajah nya yang merah, seperti menahan amarahnya. Aku bingung, kabar apa yang diinformasikan sama Bu Wati tadi. Setelah aku mengunci pintu rumah ku, terdengar suara ibu yang sepertinya sedang marah-marah dengan ayah di dapur. Lantas, aku pun langsung pergi melangkah menuju dapur. Ketika aku sudah berada di sana, benar saja ibu sedang membentak-bentak ayah yang saat ini ia masih menyantap makanannya. Aku pun melihat makanan-makanan yang ada di meja makan itu saat ini sudah sangat berantakan. Makanan sudah berceceran kemana-mana. Bahkan, mangkuk saja sudah terjatuh ke lantai beserta isi nya.         "Sudah gila ya kau bang?!!! Malu!!!! Kau punya malu tidakk!!! Otak kau itu kemana sih bang, astaga. Saya tidak habis pikir. Sesusah-susahnya hidup saya selama tinggal bersama kau ya bang, saya tidak ada pikiran untuk melakukan perbuatan kejahatan seperti yang kau lakukan hari ini!!!" ucap ibu sambil menunjuk-nunjuk ayah. Namun, seperti biasa ayah tidak menunjukkan respon nya terhadap ibu. Ayah tetap masih melanjutkan kegiatan makannya itu.         "Bang!!!! Dengar saya tidak sih?! Kau ini jangan suka mempermalukan keluarga bang!!!! Hidup kita ini udah susah, bahkan banyak juga tetangga-tetangga kita yang tidak suka sama keluarga kita, dan itu juga saya tidak tau kenapa mereka tidak menyukai keluarga kita ini. Dan sekarang Bu Wati tadi ke rumah dan bilang kalau Abang tadi menjambret tas seorang ibu-ibu???? Buat apa kau melakukan itu semua bang!!! Apa untungnya kau maling-maling seperti itu hah?!!" ucap ibu.         Aku tersentak mendengar ucapan itu tadi. Jadi, benar? Jadi orang yang di kejar-kejar tadi itu ayah? Jadi, aku tidak salah lihat? Aku menggeleng-gelengkan kepala ku menatap ayah miris. Selain, dia suka mabuk-mabukan dan bermain judi, ternyata ayah juga tukang maling. Betapa buruknya ayah aku ini, aku tidak pernah berpikir kalau ayah sampai melakukan perbuatan yang sangat buruk seperti ini. Dia harusnya menjadi sosok ayah yang bisa membimbing anak nya ini menjadi orang yang baik, ayah yang bisa memberikan contoh yang baik kepada anak nya, tapi ini malah sebaliknya. Dia tidak pernah membimbing anak nya ini, dia tidak pernah memberikan contoh yang baik kepada anak nya ini. Seharusnya dia adalah sosok ayah yang bisa menjadi panutan seorang anak nya, namun ayah ku itu tidak akan pernah aku jadikan sebagai panutan di kehidupan ku ini.         Aku pun membalikkan badan ku, meninggalkan ayah dan ibu yang masih berdebat dengan masing-masing saling mengeluarkan suara yang keras. Seakan-akan mereka tidak ingat kalau di rumah ini ada aku. Ada anak nya yang sedari tadi melihat pertengkaran mereka. Aku pergi meninggalkan dapur menuju kamar ku, namun aku melirik ke arah atas meja di depan tv. Di sana ada makanan yang niatnya akan aku makan, namun mendadak aku sudah tidak nafsu makan lagi. Aku pun inisiatif mengambil nasi padang tersebut, membungkus nya kembali. Dan aku pun membawa nasi tersebut bersama dengan diri ku masuk ke dalam kamar. Aku inisiatif untuk memberikan nasi padang ini ke hewan yang melewati jendela kamar ku. Biasanya banyak sekali kucing-kucing kampung yang lewat, yang sedang mencari makan. Setelah aku menutup pintu kamar ku, aku menarik kursi belajar ku ke dekat jendela. Karena, jendela ku ini cukup rendah, jadi aku sangat mudah untuk menaruh nasi ini di atas tanah. Benar saja, ketika aku membuka jendela kamar ku, di sana ada 2 ekor kucing kampung, lantas aku segera menaruh nasi ini ke atas tanah dan memanggil 2 ekor kucing kampung itu untuk mendekati nasi yang aku berikan ini. Aku memperhatikan cara mereka makan. Namun, tiba-tiba aku teringat untuk menghubungi seseorang yang aku anggap mungkin ia bisa memberikan aku sebuah pekerjaan selama 2 minggu ini. Aku pun berdiri dari duduk ku dan langsung mencari ponsel ku. Aku mengambil ponsel ku yang terletak di atas meja belajar ku. Dan aku segera menekan kontak orang tersebut. ---          "Saya melakukan ini karena saya sama sekali tidak ada megang uang!!! Saya sudah kehabisan akal untuk mendapatkan uang, kau tau itu hah?!!! Andaikan kau selalu memberikan saya uang setiap hari nya, saya tidak akan maling-maling seperti ini!!!" ucap Abraham. Emma membanting salah satu piring di atas meja itu sampai-sampai makanan yang ada di dalam piring tersebut acak-acakan di atas meja.           "Mikir!!!!!!! Pakai otak kau itu ya bang! Kenapa kau membuat hidup kau itu tidak bermanfaat seperti ini!!! Kenapa kau terus-terusan melakukan perbuatan yang dibenci oleh tuhan!! Kenapa??? Kenapa hah?!!" cerocos Emma. Abraham mencuci tangan nya di wastafel, menghiraukan ocehan dari istrinya itu.          "Halah! Kau itu jangan sok suci seperti itulah, sekarang lihatlah saya pulang dengan membawa banyak makanan untuk kau dan Aruna. Hari ini saya memberikan kalian makan enak, kalian bisa makan sepuasnya," ucap Abraham yang tidak merasa bersalah. "Dan lihatlah kau ini, bukannya makanan ini di makan, malah di buang-buang seperti ini. Tidak ada rasa bersyukur sekali kau jadi manusia," ucap Abraham sambil menunjuk beberapa makanan-makanan yang tergeletak di lantai, karena Emma tadi sempat membanting bebarapa piring dan mangkok yang di dalam nya masih terisi makanan. Emma memijat keningnya pelan.          "Saya ataupun Aruna, tidak akan sudi untuk makan dari uang hasil maling seperti ini!!! Kau camkan itu! Tidak sudi! Kalau kau mau membahagiakan saya dan Aruna, maka carilah pekerjaan yang benar, cari pekerjaan yang direstui oleh tuhan, bukan pekerjaan maling seperti ini, bahkan sebenarnya maling itu bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah kejahatan!! Nasib baik menimpa diri kau hari ini, masih untung tuhan menyelamatkan kau hari ini dari amukan warga yang mengejar kau," ucap Emma, kemudian Emma pun menarik sebuah kursi makan dan ia pun duduk di sana dengan masih menatap Abraham yang sedang menuangkan air putih dari teko ke gelas nya.          "Ingat ya Abraham, cukup sekali saja kau maling seperti ini. Kau jangan buat malu lagi keluarga ini," ucap Emma memperingati Abraham. Kemudian, Emma tanpa menunggu respon dari Abraham. Emma pun langsung berjalan melangkah menuju kamar nya, dan menutup pintu kamar nya dengan membantingnya, sampai-sampai menimbulkan bunyi suara yang cukup memekakkan telinga. Abraham hanya menatap datar kepergian Emma. Setelahnya, Abraham pun langsung saja mengambil kembali kunci motor yang ada di atas kulkas, dan segera melajukan motor nya itu untuk menuju ke warung biasa tempat ia berkumpul bersama bapak-bapak sepermainan nya itu. --- Aruna                  Aku yang sedang menelepon seseorang yang akan aku temui besok untuk memberikan aku sebuah pekerjaan pun, tiba-tiba sedikit terkejut karena mendengar suara bantingan pintu yang aku yakini itu adalah suara dari pintu kamar ibu. Ada apa sebenarnya ini? Siapa yang membanting pintu tadi?          "Halo Aruna? Kau masih di sana?" aku pun segera tersadar ketika suara paman Bontor memanggil ku di telepon. Iya, paman Bontor inilah yang nantinya akan membantu ku, akan memberikan aku sebuah pekerjaan. Dia, adalah pemilik dari sebuah minimarket yang dekat dari rumah ku. Dan paman Bontor ini sudah menganggap aku sebagai anak nya, mengingat aku dan paman Bontor ini memiliki hubungan yang sangat dekat, sudah seperti keluarga.         "Ah iya paman, berarti besok aku tinggal datang saja kan?" tanya ku.          "Iya nak, silakan datang jam sembilan pagi ya, besok paman sudah ada di sana sekitar jam segitu," jawab paman Bontor. Aku pun mengangguk.         "Baiklah paman, terima kasih banyak ya," ucap ku kepadanya.         "Iya, paman tutup telpon nya ya,"          "Iya paman," kemudian, paman Bontor pun langsung mematikan sambungan telepon nya tersebut. Aku tersenyum senang mengingat besok paman Bontor akan memberikan aku sebuah pekerjaan. Aku pun menaruh ponsel ku diatas kasur, dan aku langsung beranjak dari tempat tidur ku, berinisiatif untuk melihat keadaan di luar. Aku berjalan keluar kamar. Disana sudah tidak ada lagi teriakan-teriakan dari ibu maupun ayah. Kemana mereka? Aku mencoba untuk membuka pintu kamar ibu, namun ternyata dikunci dari dalam. Aku pun berniat untuk melihat ke dapur. Dan aku terkejut melihat keadaan dapur sekarang. Piring, mangkuk, dan makanan-makanan pun berceceran kemana-mana. Astaga! Aku pun mencoba melihat keadaan di luar rumah. Dan benar saja motor ayah yang tadinya terparkir di halaman depan rumah, sekarang sudah tidak ada. Berarti ayah pergi keluar meninggalkan rumah. Dan yang membanting pintu tadi berarti itu adalah ibu. Aku menghela napas kasar. Kapan keluarga ini bisa bersikap harmonis seperti layaknya keluarga pada umumnya. Kemudian, mengingat keadaan di dapur sangat berantakan, aku pun tanpa pikir panjang segera membereskan dapur tersebut agar kembali rapih dan bersih. Dan setelah semuanya beres, aku pun kembali masuk ke dalam kamar ku dan segera bersiap tidur untuk menyambut esok hari. Aku sudah tidak sabar untuk bekerja besok. Dan untuk masalah ijin dari ibu, itu nanti saja aku akan pikirkan. Yang penting aku mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu, kan lumayan uang dari hasil aku bekerja selama 2 minggu itu. Uang tersebut rencananya akan aku tabung untuk persiapan aku mendaftar ke perguruan tinggi negeri nantinya.  []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD