Bab. 49

1933 Words
      Abraham berjabat tangan dengan orang yang di temui ya itu dalam sebuah cafe yang ia datangi. Namun, pria yang di temui Abraham itu pun memberikan sebuah amplop yang entah isi nya itu apa.       "Apa pak ini?" tanya Abraham sambil menunjuk sebuah amplop di atas meja yang di sodorkan ke hadapan Abraham.       "Terima saja, amplop itu. Anggap saja itu adalah bonus untuk kau," ucap pria tersebut. Abraham pun tersenyum dengan sangat lebar. Lalu, tanpa pikir panjang lagi Abraham langsung menyambar amplop berwarna coklat yang berada di atas meja itu. Dan amplop tersebut Abraham masukkan ke dalam saku jaket nya.       "Ingat tapi Abraham! Urusan ini hanya kita saja yang tau. Jangan sampai kau bocorkan bisnis kita ini ke orang lain ataupun ke keluarga kau sendiri. Semuanya saya percayakan kepada kau. Saya harap kau tak akan mengkhianati kepercayaan dari saya ini," ucap pria itu serius dengan Abraham yang sedang cengar-cengir, karena telah menerima amplop yang mungkin itu berisikan banyak uang.       "Tenang saja pak, bapak bisa pegang omongan saya kok. Saya ini orangnya dapat dipercaya, tak mungkin saya mengkhianati kepercayaan yang telah bapak berikan kepada saya, apalagi bapak ini sudah baik dengan saya, dengan memberikan uang yang berada di dalam amplop ini untuk saya," ucap Abraham kepada pria tersebut.         "Ya ya ya, terserah kau! Pokoknya ingat pesan dari saya itu. Dan kau kerjakan pekerjaan ini dengan benar. Saya pamit dulu," ucap pria tersebut sambil bangun dari kursi yang telah di duduki itu.        "Eh! Pak! Ini gimana?" tanya Abraham sambil jari telunjuk nya itu menunjuk ke arah makanan dan minuman yang berada di atas meja. Pria berjas hitam yang di panggil oleh Abraham pun menoleh dan melihat arah jari telunjuk Abraham.        "Sudah saya bayar," ucap pria berjas hitam tersebut. Kemudian, pria itu pun langsung pergi keluar cafe.        "Terima kasih pak!!" ucap Abraham dengan suara yang sedikit keras sampai-sampai orang-orang yang berada di dalam cafe itu melihat Abraham dengan bermacam-macam tatapan. Ada yang menatap Abraham sinis karena merasa terganggu dengan suara keras dari Abraham, dan ada juga tatapan yang heran melihat Abraham. Abraham yang menyadari jika ia sedang menjadi pusat perhatian di dalam cafe itu pun langsung menundukkan kepala nya sambil mengucapkan kata maaf kepada pengunjung cafe lainnya. Lalu, Abraham pun langsung saja menghabiskan makanan dan minuman yang berada di atas meja nya itu dengan lahap, terlihat seperti tidak pernah makan selama berhari-hari. --- Aruna        "Besok adalah ujian terakhir kan Aruna?" tanya Duma yang duduk di samping mejaku. Saat ini aku dan Duma sedang belajar untuk ujian di jam kedua. Dan karena mata pelajaran yang akan di ujikan di jam kedua nanti adalah fisika, kebetulan Duma bilang kepada ku tadi, ia ingin aku mengajari nya. Karena, Duma memang dari dulu tidak paham sekali dengan mata pelajaran fisika. Duma sangat membenci mata pelajaran fisika.        "Iya Duma," jawab ku sambil membaca buku cetak fisika. Aku sedang menghafal kembali rumus-rumus yang telah di pelajari di mata pelajaran fisika ini.        "Yes!! Setelah itu, sudah kan? Kita tidak belajar lagi? Kita tinggal nunggu pembagian rapot aja kan?" tanya Duma memastikan.        "Iya benar, tapi jika nilai ujian kau ada yang di bawah KKM atau nilai-nilai kau di smeua mata pelajaran ada yang kosong, maka kau nanti akan memperbaiki nilai tersebut, nanti kau akan diberikan tugas oleh guru yang bersangkutan," ucap ku menjelaskan sistem perbaikan nilai di sekolah ku ini kepada Duma.        "Oh gitu ya? Aduh aku kok jadi deg-degan sih, takut nilai ku di bawah KKM nih Aruna," ucap Duma.        "Makanya belajar yang bener, biar kau bisa lancar mengerjakan ujian kau. Apalagi ini ujian kenaikan kelas, pasti sekolah bakalan ketat sekali menyaring anak-anak kelas sebelas untuk bisa di naikkan ke kelas dua belas. Bisa dikatakan penentuan lah semester ini," ucap ku mengingatkan Duma.        "Oiya ya? Yaudah ayo Aruna ajarin aku fisika ini, kan kah tau sendiri aku bodoh sekali dalam mata pelajaran fisika ini," ucap Duma sambil menarik-narik tangan kanan ku.        "Aduh iya iya! Kau jangan menarik-narik tangan ku gini dong Duma," ucap ku sedikit meringis, karena tarikan dari tangan Duma itu cukup sakit di tangan ku.        "Hehehe iya, maaf ya Aruna ku sayang. Yaudah, jadi materi ini gimana?" ucap Duma sambil menunjukkan kepada ku tentang salah satu materi di mata pelajaran fisika yang tidak ia pahami. Namun, ketika aku ingin menjelaskan materi nya kepada Duma, tiba-tiba saja meja ku pun terdorong dengan sangat kuat sampai aku pun terhimpit dengan meja belajar ku dengan kursi yang ku duduki ini, sehingga membuat perut ku pun terasa sakit. Sampai-sampai botol air minum ku yang di dalam nya masih terisi air yang aku letakkan di atas meja pun tumpah, karena aku pun tidak tau kalau tutup botol air minum ku itu tidak tertutup dengan kencang sehingga air itu pun mengenai buku cetak serta buku tulis yang ku letakkan di atas meja.         "Aw!" ucap ku sambil memegang perut ku itu. Aku melihat yang mendorong meja ku itu adalah salah satu murid laki-laki yang entah ia dari kelas mana.         "Eh sorry sorry!" ucap murid laki-laki itu sambil membenarkan meja ku itu.        "Woi lah, kau sih ngedorong aku keras-keras, jadi nabrak meja ni cewe kan, ah!" ucap murid laki-laki itu yang menyalahkan teman nya yang sudah mendorong dirinya sampai mengenai meja ku.        "Ya maaf! Namanya juga becanda, tadi kan kau mukul badan aku, terus daritadi kau gangguin aku main game, ya bukan salah aku lah bro!" ucap teman nya itu.        "Aruna! Kau tak apa-apa?" tanya Duma khawatir. Aku yang di tanya pun tidak bisa menjawab nya, karena memang perut ku terasa sakit akibat terbentur oleh meja yang terdorong oleh murid laki-laki tadi. Aku yang tadi nya memejamkan mata ku sambil menahan rasa sakit yang mendera di perut ku, aku pun merasa ada air yang menetes ke atas rok sekolah ku. Aku membuka mata ku dan melihat ke atas meja ku. Seketika aku pun langsung melotot melihat buku-buku cetak dan buku catatan pelajaran ku yang sudah basah terkena air minum ku yang tumpah itu.        "Astaga Duma!" ucap ku terkejut.        "Iya? Kenapa Aruna? Perut kau sakit sekali? Mau ku antar ke UKS dulu?" tanya Duma beruntun. Aku pun menggelengkan kepala ku. Aku tak peduli perut ku yang masih sakit ini, aku langsung saja mengangkat buku cetak dan buku catatan pelajaran ku yang sudah basah terkena air minum ku itu.        "Oh astaga! Aruna, buku kau basah!" ucap Duma yang langsung membantu ku untuk menyingkirkan buku-buku ku yang terkena air itu.         "Heh! Gimana sih?! Kalau kau mau bermain jangan dalam kelas dong! Saat ini sedang ujian, harusnya kau mikir untuk belajar mempersiapkan ujian untuk jam kedua, bukannya malah main-main seperti ini! Mikir dong pakai otak!" ucap Duma memarahi murid laki-laki itu yang hanya berdiri saja tanpa berniat membantu ku untuk mengeringkan meja ku yang basah penuh air ini.         "Santai dong mba! Teman kau aja tidak marah-marah, kok mba nya yang emosi," ucap murid laki-laki itu yang tidak ingin di salahkan.        "Kau ini udah salah bukannya minta maaf, malah seperti itu. Kau itu udah besar! Otak nya di pake dong! Liat tuh buku teman ku jadi basah kan?! Kalau seperti ini kau mau tanggung jawab hah?!" ujar Duma yang masih memarahi murid laki-laki itu. Aku di sini masih berusaha mengeringkan buku-buku cetak yang di pinjamkan oleh sekolah dan buku catatan pelajaran ku. Untuk meja aku sudah mengelap nya dengan tisu hingga kering.         "Yaelah, ribet banget sih kau ini jadi cewe! Buku nya tinggal di jemur aja kali di bawah matahari, nanti juga kering sendiri, tak usah di bawa pusing deh," ucap murid laki-laki itu yang tidak mau mengalah.         "Duma! Duma udah ya, udah biarin aja, ini urusan aku, biarin aja," ucap ku yang langsung memotong Duma ketika Duma ingin membalas ucapan murid laki-laki itu.        "Tapi kan Aruna, ini tidak bisa di biarin, yang ada dia itu nanti kebiasaan ketika membuat kesalahan dia tidak ingin meminta maaf secara tulus, dia tidak akan menyalahkan dirinya sendiri," ucap Duma dengan mata nya masih menatap murid laki-laki tersebut.        "Heh! Mulut kau ya! Tolong di jaga ya, kau itu tidak tau siapa aku! Kau tidak mengenali diri ku, kalau ngomong jangan asal ya, dan tadi juga aku udah minta maaf kok. Telinga kau b***k? Kau tak mendengar permintaan maaf ku hah?!" ucap murid laki-laki tersebut dengan mata nya yang sudah memelototi Duma.         "Apa?! Kapan?? Kapan? Hah?!!" ucap Duma. Aku pun menarik bahu Duma agar Duma duduk di kursi nya.         "Duma! Udah dong diam, udah kok biarin aja, udah aku maafin juga. Tidak apa-apa," ucap ku kepada Duma.         "Tuh kau dengar? Tadi saya udah minta maaf, telinga kau saja yang b***k!" ucap murid laki-laki tersebut, kemudian murid laki-laki itu yang tidak tau dari kelas apa, pun ia membalikkan badan nya pergi keluar kelas. Mungkin ia pergi ke ruangan ujian nya, karena memang dia tidak satu ruangan dengan ku dan Duma.         "Aruna! Kau ini lain kali jangan mudah memaafkan seseorang dong, yang ada mereka nanti nambah ngelunjak dengan diri kau, yang ada mereka juga nanti malah lebih mudah menindas diri kau," ucap Duma yang kesal dengan ku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ku saja merespon ucapan Duma.         "Lebih baik aku bantu aku untuk mengeringkan buku-buku ini" ucap ku dengan menaruh buku catatan ku yang basah ke atas meja yang berada di hadapan Duma.         "Kau ini ya Aruna! Jangan terlalu baik, kau harus sedikit tegas dengan mereka itu," ucap Duma sambil membantu mengeringkan buku-buku ku.         "Mau gimana lagi Duma, di sini aku adalah orang minoritas. Di sini, di sekolah ini aku adalah orang yang tidak memiliki status tinggi, aku hanya orang miskin. Aku tidak akan bisa melawan mereka yang notabene nya memiliki orang tua yang berstatus tinggi," ucap ku merendahkan diri ku sendiri.         "Hey Aruna! Dengarkan aku ya, mereka itu tidak ada apa-apanya jika tidak ada orang tua nya. Mereka itu sama miskin nya, yang kaya itu orang tua mereka Aruna," ucap Duma menyadarkan diri ku. Aku hanya diam saja mendengar ucapan nya.         "Ya Aruna? Kalau kau ada yang menjahili kau, atau ada yang berbuat kesalahan baik itu sengaja ataupun tidak sengaja dengan kau, kau harus bertindak tegas dengan mereka," ucap Duma menegaskan diri ku.         "Kau sih enak bicara nya Duma, disini aku yang sulit melakukan nya. Ketika aku melawan mereka, tentu saja itu akan membuat ku merasa terancam, merasa tidak aman selama bersekolah di sini nanti. Saat ini aku tidak ingin ambil pusing Duma. Tugas ku saat ini hanya belajar yang benar, sekolah yang benar agar aku bisa mendapatkan nilai terbaik dan siapatau dengan nilai terbaik ku itu, aku bisa mendapatkan beasiswa kembali untuk bisa melanjutkan pendidikan ku ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini aku tidak ingin mencari masalah. Cukup masalah yang waktu itu aja, yang masalah antara aku, Tiwi, dan mendiang Mela. Aku tidak ingin memiliki masalah kembali di sekolah ini, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi murid kelas dua belas," ucap ku tanpa menatap Duma dengan tangan ku yang masih sibuk mengeringkan buku-buku milik ku yang basah itu.         "Iya, tapi kan tidak selalu kau harus mengalah. Tidak selalu kau hanya diam saja Aruna," ucap Duma.        "Ah sudahlah biarkan, lagian aku juga tau kok, menurut ku untuk masalah seperti ini tidak perlu di perpanjang, karena aku pun sudah tau bagaimana cara mereka, cara orang-orang kaya itu bersikap atas kesalahan yang telah di perbuat, menurut mereka mungkin ini hanya biasa saja, menurut mereka ini bukan salah mereka. Tapi, sudahlah Duma, ayo cepat bantu aku keringkan buku-buku ini, sebentar lagi bel masuk berbunyi," ucap ku yang tidak ingin membahas kembali masalah tadi.         "Huh! Dan kau tidak jadi lagi membantu mengajari ku pelajaran fisika ini deh," keluh Duma.         "Yaudah, kau itu pasti bisa Duma mengerjakan ujian nanti. Ayo! Semangat dong, jangan mengeluh seperti ini," ucap ku sambil tersenyum menyemangati Duma. Duma menoleh ke arah ku dan membalas senyuman ku dengan senyuman nya yang lebar. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD