Bab. 27

1766 Words
     Pagi ini ketika aku membuka kedua mata ku dari tidur nyenyak ku, rasanya kepala ku sangat sakit sekali. Sampai rasanya aku tidak kuat untuk bangun dari kasur tempat aku tidur. Untuk sedikit mengangkat kepala ku saja aku tak kuat, karena sakit kepala yang menyerang ku. Tenggorokan ku juga sakit. Dan pastinya mata ku saat ini masih bengkak, karena semalam setelah aku makan malam di meja makan bersama ayah dan ibu aku kembali menangis di dalam kamar sampai tidak terasa aku pun ketiduran semalam pastinya dengan bekas air mata yang masih berada di kedua pipi ku. Aku pun berniat untuk tidak masuk sekolah hari ini, aku akan bilang kepada Duma untuk tolong membuatkan surat untuk ku dengan keterangan sakit. Tangan ku pun meraba-raba di kasur untuk mencari handphone ku. Ketika aku sudah mendapatkan handphone ku, pun aku langsung membuka aplikasi w******p dan mencari kontak Duma.       "Duma aku ingin minta tolong dengan kau. Tolong buatkan aku surat sakit ya... Hari ini aku izin tidak sekolah. Kepala ku sedang sakit. Terima kasih Duma," lalu aku langsung mengklik tombol di pojok kanan yang berlogo pesawat kertas yang berwarna hijau dan putih. Tepat pesan ku terkirim, ternyata Duma pun sedang online dan langsung membuka pesan dari ku sehingga tanda centang 2 nya pun berubah menjadi berwarna biru, karena Duma sudah membuka pesan dari ku tersebut.       "Okay, nanti akan aku buatkan. Cepat sembuh ya sayang!!!! Nanti pulang sekolah kalau sempat aku akan jenguk kau ke rumah ya~" balas pesan dari Duma. Aku langsung membaca pesan dari nya tersebut. Aku tersenyum melihat balasan pesan dari nya.        "Iyaaa, terima kasih Duma sekali lagi," balas ku. Lalu, aku pun langsung mematikan data seluler di handphone ku. Kemudian, aku langsung menutup kembali kedua mata ku untuk tidur kembali. Tapi, baru saja aku memejamkan kedua mata ku. Pintu kamar ku pun terketuk.             Tok tok tok!!!       "Aruna? Kau tak sekolah nak? Ini sudah jam tujuh lewat lima belas menit loh. Nanti kau telat," pasti itu panggilan dari ibu. Aku pun melihat jam di dinding kamar ku terlebih dahulu. Benar saja Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit, tidak terasa cepat sekali waktu berjalan.        "Aruna!" Terdengar suara ibu lagi memanggil ku kembali. Pun aku langsung menjawab panggilan dari ibu dengan suara ku yang lemah, "Iya Bu...," Mungkin karena ibu tidak mendengar suara ku, karena kan suara ku juga tadi menjawab dengan pelan. Jadi, ibu langsung membuka pintu kamar ku. Ketika pintu sudah terbuka, muncullah sosok ibu yang berdiri di ambang pintu kamar ku dengan wajah yang heran menatap ku.       "Loh kok masih tidur di kasur Aruna? Kau tak sekolah?" tanya ibu sambil berjalan menuju ke arah ku. Sebelum itu, ibu membuka gorden kamar ku dan jendela agar sinar matahari masuk ke dalam kamar ku.        "Aku izin tidak masuk sekolah hari ini Bu, kepala ku sedang sangat sakit," jawab ku sambil memijit pelan kening ku. Ibu yang mendengar aku sakit pun langsung panik, ibu cepat-cepat berjalan mendekati ku, lalu menaruhkan punggung tangan kanan nya di atas kening ku.        "Perasaan tadi malam kau tidak kenapa-napa, tapi kok pagi-pagi malah badan kau panas ya?" gumam ibu pelan. Aku yang masih menahan pusing di kepala ku pun hanya diam saja tidak menanggapi pertanyaan dari ibu. "Kita ke dokter aja gimana?" tawar ibu.        "Tak usah Bu," ucap ku menolak tawaran dari ibu.        "Tapi badan kau panas sekali Aruna,"       "Tak apa ibu, jika aku minum obat sekarang, nanti juga cepat sembuh,"        "Oh yaudah, kalau gitu ibu ke dapur dulu buat ambil obat, juga sekalian ibu akan buatkan bubur untuk kau," aku pun hanya mengangguk saja. Ibu pun segera pergi ke dapur. Dan aku melanjutkan tidur ku kembali. ---        "Hei Emma!" panggil Abraham tiba-tiba dari belakang Emma yang sedang membuatkan bubur untuk Aruna. Emma yang di panggil seperti itu pun membalikkan badan nya menghadap ke suami nya.         "Ada apa?" tanya Emma, lalu ia pun kembali melanjutkan pekerjaan nya membuat bubur untuk anak nya yang sedang sakit itu. Terdengar suara deritan kursi yang di tarik oleh seseorang. Emma yakin pasti Abraham lah yang menarik kursi makan itu.         "Jadi gini, coba tolong kau itu kalau saya sedang ajak bicara, kau jangan membelakangi saya, saya itu suami kau," lagi. Suami. Abraham selalu saja menggunakan kata panggilan suami untuk sebagai tameng nya. Jika suami, apakah ada suami yang menyuruh istri nya itu bekerja dengan keras sedangkan ia yang malah menghabiskan uang-uang dari hasil kerja keras istrin nya itu. Memangnya ada? Tidak ada bukan? Jika ia mengaku sebagai suami. Kenapa Abraham tidak melakukan peran nya sebagai suami yang baik, yang sayang kepada keluarga nya. Jika ia tidak menyayangi Emma sebagai istrinya, minimal sayangi lah anak semata wayangnya itu. Aruna. Emma yang sudah lelah, pun ia langsung saja menuruti perintah dari suami nya itu. Emma membalikkan badan nya mengahadap suami nya yang sedang duduk di kursi makan dengan sambil meminum secangkir kopi yang telah di buatkan oleh Emma tadi.         "Ada apa Abraham?" tanya Emma dengan to the point. Emma sudah yakin sekali pasti suami nya itu akan meminta uang lagi kepada nya. Abraham yang duduk dengan sebelah kaki nya yang ia angkat ke atas kursi langsung saja menjawab pertanyaan dari Emma.        "Kau tau kan kalau kemarin saya itu kalah berjudi? Terus saya tak punya banyak uang untuk membayar kekalahan saya kemarin. Jadi, kemarin itu saya mengutang sama temen saya buat bayarin. Dan saya bilangnya hari ini itu akan saya ganti, tapi saya bingung mau gantiin uang dia kayak gimana, saya kan tak punya uang terus saya juga tak memiliki pekerjaan tetap seperti kau yang bekerja di cafe yang memiliki gajih di tiap bulan," ucap Abraham dengan bertele-tele. Emma yang sudah sangat malas sekali mendengar omong kosong dari suami nya itu rasanya ingin sekali menampar mulut suami nya itu ketika sedang berbicara. Enak sekali mulut nya itu bilang, kalau ia kalah judi dan terus apa hubungan nya sama Emma.          "Lalu? Mau kau itu apa bilang seperti itu?" tanya Emma dengan wajah yang sudah malas sekali melihat muka suami nya itu.         "Ya, saya mau minta duit buat gantiin uang temen saya kemarin itu," jawab Abraham yang akhirnya menyebutkan keperluan nya tersebut. Lelah, itu lah yang Emma rasakan saat ini. Karena, Emma sudah malas sekali melihat wajah suami nya itu, Emma kembali melanjutkan pekerjaan nya yang sedang mengaduk bubur untuk Aruna.          "Kau butuh berapa memang?"          "Hanya tiga ratus lima puluh ribu aja," ucap Abraham dengan santai. Emma yang mendengar nominal yang di sebutkan oleh suami nya itu tadi langsung segera menghentikan sejenak tangan nya yang sedang mengaduk bubur.           "Apa? Tiga ratus lima puluh ribu? Ya saya mana ada uang segitu, kau pikir saja saya kerja itu bayaran nya bulanan bukan harian, terus kau minta sekarang juga uang sebanyak tiga ratus lima puluh ribu itu darimana? Kau tau Aruna juga sedang sakit saat ini, dan kau bukannya membnatu saya mengurusi Aruna tapi kalau malah seenaknya minta uang seperti itu," oceh Emma kepada suami nya yang tidak tahu diri itu.           "Yaudah, sekarang kau itu ada megang berapa uang?" tanya Abraham masih dengan santai tidak memedulikan ocehan dari istri nya itu.           "Saya tidak lagi megang duit! Kau ini minta terus. Sekali-kali kau lah yang memberikan saya duit, jangan kau minta ke saya terus, pusing saya lama-lama sama kau itu," ucap Emma.         "Yakan saya tidak ada pekerjaan, jadi bagaimana saya mau ngasih kau uang hah? Kau kan tau sendiri kegiatan saya sehari-hari itu gimana,"         "Ya kau itu cari pekerjaan! Kita itu sudah hidup susah, dan kau malah tambah main judi gini, malah itu menghabiskan uang aja. Sangat tidak berguna!" ucap Emma yang sudah sangat kesal dengan sikap suami nya selama ini.         "Kau pikir mendapat pekerjaan itu gampang? Dan jika aku bekerja memang saya ini mau kerja apa? Saya ini tak memiliki keahlian apapun," jawab Abraham. Emma yang sudah sangat kesal dengan jawaban-jawaban Abraham yang seenaknya itu. Langsung saja Emma mematikan kompor yang sedang menyala tadi karena sedang membuat bubur. Lalu, Emma memindahkan bubur yang ada di dalam panci ke sebuah mangkok beling. setelah itu, tak lupa Emma mengambil obat untuk Aruna. Kemudian, Emma langsung mengangkat nampan yang berisi bubur di dalam mangkok, obat-obatan, serta segelas air putih untuk Aruna konsumsi. Emma berjalan meninggalkan Abraham yang masih setia meminum kopi nya di meja makan itu.          "Hey! Emma, kau berani-berani nya meninggalkan saya seperti itu! Hey," panggil Abraham. Pun Emma pula sudah masuk ke dalam kamar Aruna. ---         "Huh! Kalau ada Aruna pasti aku tak kesepian seperti ini," ucap Duma sambil membuka tutup bekal makanan yang ia bawa dari rumah.          "Aruna lagi apa ya? Terus dia sakit apa ya? Apa aku jenguk dia nanti pas pulang sekolah aja?" gumam Duma. Tiba-tiba ada seseorang murid laki-laki yang duduk di samping kursi Duma. Duma yang sedang makan pun sedikit terkejut. Lalu, Duma menoleh ke samping nya dengan ekspresi wajah yang seperti bertanya ada apa?          "Kenapa Duma? Ngomong-ngomong sendirian aja nih, biasanya sama si miskin itu," ucap murid laki-laki itu. Duma yang mendengar ucapan teman kelas nya menjelekkan Aruna pun langsung melihat dengan sinis ke arah murid laki-laki itu.         "Kau itu ada masalah hidup apa sih, kok kayak nya seneng banget ngehina Aruna. Emang Aruna pernah ada salah sama kau?" ucap Duma yang membela Aruna.          "Loh kok kau malah marah-marah, kan aku nanya baik-baik loh," ucap Akbar. Murid laki-laki yang duduk di sebelah Duma itu.          "Kau itu nanya nya kenapa harus menghina Aruna? Kenapa kau nyebut Aruna si miskin? Memang kau itu udah sekaya apa sih sampai bilang orang lain miskin kayak gitu," ucap Duma dengan mata nya yang melotot kesal kepada Akbar.         "Lah kan emang dia miskin, kan aku ngomong secara fakta. Bener dong aku. Sekarang salah aku dimana coba?" tanya Akbar yang masih tidak mau mengakui kesalahan nya. Duma yang sudah sangat kesal langsung menutup bekal makanan yang sedang ia makan tadi sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras. Duma melampiaskan kekesalannya itu kepada tutup bekal makanan nya itu.          "Dasar kau itu belum punya apa-apa, semua fasilitas yang kau pake itu bukan milik kau, tapi milik orang tua kau tau! Jangan sombong deh jadi manusia. Jangan sok paling kaya sedunia deh, masih banyak orang-orang yang lebih kaya dari kau itu, kau itu tidak ada apa-apanya," ucap Duma yang wajah nya sudah merah karena marah-marah.         "Uuuu takuttttt! Iya deh, aku mah ngalah aja, kasian tuh muka Duma udah merah kayak banteng mau nyeruduk orang. Udah ah mau pergi aja. Duma nya marah-marah terus jadi takut deh Akbar nya," ucap Akbar yang suara nya di imut-imut kan.          "Sudah sana kau pergi! Dasar anak sombong, liat aja kalau Tuhan mencabut harta-harta yang kau miliki baru kau tau rasa, cih!" ucap Duma berdecih. "Huh! Sabar ... sabar Duma. Kau itu harus sabar oke? Jangan terbawa emosi, hufft!" gumam Duma sambil membuang napas nya perlahan. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD