Bab. 28

1730 Words
     Tok tok tok!          Saat ini aku sedang duduk menonton tv. Karena hari ini aku izin tidak masuk sekolah. Lalu, terdengar suara pintu depan rumah di ketuk. Karena, ibu sedang menyuci baju di kamar mandi. Jadi, aku lah yang membukakan pintu rumah. Aku pun bangun dari kursi dan segera berjalan menuju ke pintu depan.        "Tumben sekali ada yang bertamu," gumam ku. Karena, memang rumah ku ini jarang sekali orang yang datang untuk bertamu. Aku pun dengan segera memutar kunci pintu agar pintu bisa terbuka. Pun aku terkejut, karena melihat Duma yang berdiri di depan pintu rumah ku dengan kedua tangan nya yang memegang bingkisan yang berisi buah-buahan yang segar.        "Eh? Loh Duma? Ada apa? Kok ke rumah?" tanya ku langsung kepada nya.        "Aku tidak disuruh masuk dulu nih? Kaki ku pegal nih berjalan dari depan gang ke rumah kau," aku pun terkekeh kecil mendengar keluhan Duma.       "Oh iya, ayo ayo masuk Duma," ucap ku sambil menggeser tubuh ku agar Duma bisa masuk ke dalam. Setelah ia melepaskan sepatu sekolah nya, ia pun langsung masuk ke dalam.        "Eh ini siapa Aruna?" tanya ibu tiba-tiba muncul dari kamar mandi dengan baju nya yang sudah agak basah, mungkin karena terciprat air. Karena, di rumah nyuci baju pakai papan gilesan, bukan mesin cuci.        "Oh ini temen Aruna ibu, kenalin Duma namanya," ucap ku. Duma pun langsung ingin mencium tangan ibu ku, tapi ibu pun melarang nya.       "Eh jangan, tangan ibu basah. Lagi nyuci soalnya. Tadi kirain ibu Aruna di kamar tidur, makanya ibu keluar. Taunya udah dibukain sama Aruna. Yaudah, itu Duma ya namanya? Duduk aja di sana, ibu siapin minum dalam cemilan dulu ya," ucap ibu. Duma pun langsung menuruti perintah dari ibu ku.       "Eh iya, hampir lupa. Ini Duma bawain bingkisan buat Aruna," ucap Duma sambil menyerahkan bingkisan buah-buahan kepada ibu. Ibu pun langsung menerima nya.       "Eh repot-repot banget Duma," ucap ibu sambil menerima bingkisan dari Duma dengan wajah yang tidak enak. "Terima kasih ya Duma,"        "Iya, sama-sama Bu," balas Duma dengan tersenyum.        "Ayo Duma duduk di sana, maaf ya rumah nya acak-acakan terus kecil," ucap ku sedikit tidak enak. Duma berjalan di belakang ku, lalu ia duduk di salah satu kursi di depan tv.       "Tak apa lah Aruna, yang penting kan bisa membuat kita nyaman," Aku tersenyum menanggapi nya.       "Ngomong-ngomong, tadi kau sama siapa kesini? Diantar ayah kau?" tanya ku membuka pembicaraan. Duma yang tadinya sedang menatap tv, lalu menoleh ke arah ku.       "Oh iya tadi aku di antar ayah, tapi hanya sampai depan gang saja. Lalu, setelahnya aku berjalan. Terus juga tadi sempat nanya-nanya sama orang letak rumah kau. Ternyata jarak nya cukup jauh juga ya," ucap Duma bercerita. Aku mengangguk menyetujui ucapan nya jika jarak rumah ku memang sedikit jauh dari gang. Tak lama, ibu pun datang dengan kedua tangan nya yang memegang nampan berisi cemilan biskuit dan segelas minuman dengan rasa jeruk. Mungkin ibu menyediakan buavita untuk minuman Duma. Karena, memang di kulkas hanya tinggal jus buavita saja.        "Maaf ya nak Duma, di rumah ibu hanya ada ini," ucap ibu tak enak sambil menaruh biskuit dan minuman yang di bawa nya ke atas meja.         "Eh tidak apa-apa loh Bu, kan Duma juga kesini buat jenguk Aruna yang lagi sakit. Malah, Duma yang merasa tak enak udah ngerepotin ibu," ucap Duma.        "Terima kasih ya udah mau jengukin Aruna, jujur ibu malah baru ini liat ada teman Aruna yang datang ke rumah," ucap ibu sambil duduk di kursi lain. Aku juga terharu ada yang menjenguk ku ketika aku sakit. Benar sekali. Apa yang diucapkan oleh ibu sangat benar. Selama aku sekolah, aku tidak pernah membawa teman ke rumah. Jadi, ibu tidak tahu teman-teman ku itu seperti apa. Bahkan, ibu merasa khawatir kalau aku tidak memiliki teman satu pun. Tapi, aku berbohong kepada ibu, aku bilang kepada ibu kalau aku itu sebenarnya memiliki teman, tapi tidak dekat gitu. Hanya sebatas teman di sekolah. Aku berbohong seperti itu agar ibu tidak merasa khawatir lagi kepada ku. Dan hari ini, aku baru merasakan kalau aku memiliki teman yang sebenarnya. Teman dalam artian yang selalu membantu ku setiap saat, walaupun itu ia adalah orang baru di hidup ku. Aku tidak akan menyia-nyiakan Duma. Aku akan selalu berada di samping Duma, di saat dia senang maupun dia sedang sedih.         "Eh yaudah ya, ibu mau ke belakang dulu. Mau lanjut nyuci lagi," pamit ibu dan langsung beranjak pergi ke belakang.        "Ayo Duma, di makanin itu biskuit nya,"         "Iya. Oh ya, kau anak tunggal ya Aruna?" tanya Duma.         "Iya, kenapa?"         "Tidak kok, aku juga anak tunggal tau," ucap nya.        "Oh ya?"        "Iya, kadang aku kesepian di rumah. Apalagi aku juga kan orang baru di sini," ucap nya.         "Memang kau asal nya dari mana?" tanya ku. Selama ini aku juga tak tau Duma ini asal nya dari mana. Sebelum menjawab pertanyaan dari ku, Duma mengambil segelas jus yang telah di siapkan oleh ibu ku tadi untuk ia minum. "Oh aku itu dari desa Adat Ragi Hotang," jawab Duma. Aku terkejut. Karena, ibu juga asal nya dari desa yang sama oleh Duma.          "Oh ya? Kalau gitu sama dong dengan ibu aku," ucap ku.          "Hah? Memang ibu kau dari desa itu juga? Berarti kau juga asal nya dari sana dong," ucap Duma yang juga terkejut, kalau ibu ku berasal dari satu desa yang sama dengan nya.          "Oh bukan, dulu ibu ku itu lahir di sana. Terus pindah deh ke kota. Aku juga sebenarnya belum pernah ke sana," jawab ku. Duma hanya mengangguk paham sambil mengunyah biskuit yang berada di tangan nya itu. Kami pun lanjut mengobrol-ngobrol ringan. Duma menceritakan bagaimana dia tadi di sekolah, ketika aku tidak masuk hari ini. ---         "Hei Abraham!" panggil seseorang dari belakang, ketika Abraham sedang berjalan kaki menuju warung pojok tempat biasa ia bermain judi dan berminum-minum dengan teman-teman nya yang lain. Abraham yang merasa dipanggil pun langsung membalikkan badan nya ke belakang untuk melihat siapa yang memanggil nya tadi.         "Eh Bonar, ada apa?" tanya Abraham sambil tersenyum juga mengusap tengkuk nya. Bonar pun berjalan dengan cepat ke hadapan Abraham. "Kok malah nanya ada apa?" tanya balik Bonar kepada Abraham. Abraham dengan gerak gerik nya yang tidak nyaman itu pun langsung menjawab, "oh uang itu ya? Nanti ya Bonar, kemarin saya juga kalah lagi main nya. Nanti akan saya bayar kok tenang aja. Saya kan masih tinggal di sini dan saya tidak akan kabur kok," ucap Abraham.          "Bukan masalah kabur atau tidak nya, kau kan berjanji hari ini akan membayar nya. Tadi itu saya mau langsung nagih ke rumah kau, tapi ternyata ketemu di jalan. Jadi, saya panggil kau saja langsung. Sekarang mana? Saya tidak ingin mendengar alasan lagi lah Abraham," ucap Bonar dengan menadahkan telapak tangan nya ke arah Abraham bermaksud meminta uang nya itu kembali.           "Aduh Bonar, kan sudah saya bilang. Kalau sekarang saya belum megang uang nya Bonar," ucap Abraham.         "Ya saya tidak peduli Abraham, saya juga butuh uang sekarang. Istri saya itu marah-marah di rumah karena tidak punya uang, kau tau sendiri lah istri jika tak diberi uang pasti marah-marah. Kalau istri kau kan beda istri kau kan bekerja kan? Pusing saya di rumah istri saya marah-marahin saya terus," ucap Bonar dengan wajah yang frustasi. Abraham menghela napas nya kasar.          "Bonar, saya juga sedang berusaha untuk mencari uang buat ganti uang yang saya pinjam ke kau itu. Dan juga tadi pagi itu saya udah minta ke istri saya, tapi istri saya juga sedang tak ada uang. Malahan anak saya sekarang lagi sakit. Istri saya juga lagi pusing di rumah itu, tenang saja nanti kalau umat nya udah ada akan saya antarkan ke rumah kau langsung," ucap Abraham sambil menepuk bahu Bonar pelan.          "Kau tak ada megang uang sedikit pun kah? Lima puluh ribu atau seratus ribu saja? Tak apa kau cicil segitu yang penting saya pulang ini saya ngasih ke istri saya uang. Kalau saya pulang sekarang dan tidak membawa uang bisa abis saya di rumah sama istri saya," ucap Bonar.          "Kau ini tak paham kah omongan saya dari tadi? Kalau saya ada megang uang, sekarang juga saya bayar sama kau, Bonar. Saya juga sedang susah ini. Uang aja saya tak megang sedikit pun. Rokok aja saya ngutang di warung Bonar, berikan lah waktu buat saya untuk mencari uang buat gantiin uang kau itu," ucap Abraham yang masih sabar menghadapi Bonar yang memaksa-maksa itu.           "Terus sekarang gimana?" tanya Bonar yang bingung. Abraham pun mengusap wajah nya dengan kasar. Abraham saja sedang pusing karena tak ada megang uang dan juga akhir-akhir ini sering sekali ia kalah dalam bermain judi. Nah ini, Bonar datang-datang malah nagih utang. Dan sekarang Bonar malah bertanya dengan Abraham, bagaimana solusinya?          "Astaga Bonar! Ya kau itu tunggu saja. Nanti malam saya akan bermain lagi, doakan saja saya nanti malam menang judi agar saya bisa membayar uang kau. Dan kalau kau malas pulang ke rumah, ayo ikut saja sama saya ke warung biasa, kita ngobrol-ngobrol sambil ngopi di sana," ucap Abraham memberi usul.           "Ya saya mau sih ikut, tapi kan ngopi juga perlu pake duit buat bayar nya," ucap Bonar. Lalu, dengan tiba-tiba Abraham merangkul Bonar dan mendorong Bonar untuk segera berjalan bersama nya.           "Halah! Di sana kan banyak orang, tenang saja hanya dua gelas pasti ada yang bayarin kita, sudahlah ayo hilangin penat dulu kita ngobrol-ngobrol dengan yang lain," ucap Abraham. Bonar pun mengangguk dengan pasrah ikut bersama Abraham.           "Makanya Bonar, istri kau itu coba kau suruh lah ia kerja. Lihat istri saya, dia tidak perna marah-marah walaupun saya tidak memberikan uang kepada nya, karena apa? Karena, dia itu megang uang sendiri. Jadi, dia tidak bergantung dengan suami nya terus," ucap Abraham sambil memabakar ujung rokok yang telah ia beli tadi dengan mengutang di warung.           "Hah! Kau ini Abraham, seperti tak tau istri saya aja. Istri saya itu kerja nya hanya ngurusin anak di rumah dan ngerumpi sama tetangga-tetangga lain, udah saya suruh ia bekerja, tapi ia tidak mau. Katanya mau kerja apa? Ijazah aja cuman SD aja. Mana ada kerjaan sekarang yang hanya memerlukan ijazah SD, minimal aja SMA," keluh Bonar menceritakan istri nya kepada Abraham. Abraham yang mendengar cerita Bonar pun hanya menggelengkan kepalanya. Menatap kasihan kepada Bonar yang seperti nya sudah sangat capek menghadapi istri nya itu yang selalu saja meminta uang kepada nya. Padahal kan Bonar ini bekerja hanya serabutan saja, tidak memiliki gajih tetap.         "Sungguh malang sekali nasib kau itu Bonar, Bonar, ckckck," ucap Abraham. Mereka pun berjalan terus untuk menuju warung biasa tempat mereka dan bapak-bapak lainnya berkumpul, bermain judi, dan berminum-minum. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD