Bab. 29

1822 Words
     "Aruna, aku pulang dulu ya. Sudah jam enam sore nih," ucap Duma dengan sambil merapihkan rambut nya yang di kuncir kuda tersebut. Aku yang sedang menonton tv langsung menoleh ke arah Duma yang sudah bersiap-siap membereskan buku-buku sekolah nya untuk di masukkan ke dalam tas nya. Memang tadi itu Duma sambil mengerjakan tugas bersama ku. Karena, tubuh ku juga sudah sedikit enakan, jadi aku memutuskan besok untuk pergi ke sekolah dan ternyata besok ada tugas yang harus dikumpulkan. Jadi, sekalian saja kami mengerjakan tugas bersama-sama.        "Oh yaudah, kau pulang sama siapa?" tanya ku.        "Sepertinya aku naik ojek online deh, soalnya ayah balik ke kantor lagi tadi, karena ayah harus menghadiri rapat," jawab nya sambil membuka aplika ojek online di ponsel nya tersebut. Aku mengangguk paham.       "Oh gitu, yaudah. Itu lagi di pesan? Kau tau alamat di sini?" tanya ku. Duma pun menggelengkan kepalanya, lalu ia dengan segera menyerahkan ponsel nya kepada ku. Aku yang langsung paham pun, dengan segera mengambil ponsel yang berada di tangan Duma. Lalu, aku segera mengetik kan alamat rumah ku sebagai titik jemput di aplikasi ojek online tersebut. Setelahnya, aku langsung memberikan kembali ponsel nya kepada Duma. Duma pun langsung saja memesan ojek online tersebut.        "Duma udah makan belum?" tanya ibu tiba-tiba dari dapur. Saat ini ibu sedang memasak untuk makan malam tiba. Duma mendongakkan kepala nya untuk melihat ibu yang muncul dari arah dapur itu.       "Nanti Duma makan di rumah kok Bu," jawab Duma dengan sopan.        "Loh? Makan di sini aja. Ibu kebetulan lagi masak loh,"        "Udah sore Bu, takut nya ibu nungguin Duma di rumah," ucap Duma masih tetap menolak ajakan dari ibu ku untuk makan bersama.        "Oh yaudah kalau gitu, terus ini mau pulang sekarang?" Duma mengangguk memberikan jawaban nya. "Sama siapa?" tanya ibu lagi.       "Ini lagi pesan ojek online," jawab Duma sambil menunjukkan layar ponsel nya yang masih dengan membuka aplikasi ojek online nya tersebut. Tidak lama, terdengar bunyi klakson motor dai luar. Aku mengira pasti itu ojek online yang telah di pesan oleh Duma.        "Oh itu udah di depan ojek nya, kalau gitu Duma pulang dulu ya Bu, Aruna," ucap Duma sambil bangkit dari tempat ia duduk. Lalu, Duma berjalan ke arah ibu yang masih berdiri di dekat kursi yang aku duduki. Duma berniat untuk berpamitan kepada ibu ku dengan bersalaman dengan ibu ku.        "Aruna pulang dulu ya, besok jangan lupa masuk ya kalau udah sembuh hehehehe," ucap Duma sambil menyengir sedikit. Aku pun mengangguk.        "Ayo aku temani ke depan," ajak ku.        "Oh yaudah hati-hati ya Duma, ibu tak bisa antar ke depan. Soalnya ibu lagi masak di dapur, takut nya masakan nya gosong," ucap ibu. Duma pun mengangguk sambil tersenyum kepada ibu.        "Duma pulang ya Bu,"       "Iya," lalu, Duma dan aku pun langsung berjalan ke depan. Kemudian, Duma mengambil sepatu nya yang ia taruh di dekat rak sepatu. Lalu, ia pun langsung memakainya.        "Yaudah, aku pulang dulu ya Aruna. Besok jangan lupa masuk loh, aku di kelas tak ada teman yang aku ajak ngobrol," ucap Duma.       "Ngobrol terus. Sekolah itu untuk belajar Duma, bukan untuk mengobrol," ucap ku dengan bercanda.       "Ish, maksud ku bukan begitu,"        "Hahaha iya iya, aku paham. Yaudah sana pulang, tuh Abang ojek nya udah nungguin kau tuh,"        "Okeh, sampai jumpa besok! Dahh!!" ucap Duma smabil melambaikan tangan nya kepada ku, lalu ia segera berjalan pergi meninggalkan halaman rumah ku menuju tukang ojek yang sudah menunggunya itu. Lalu, ia langsung naik ke jok motor milik tukang ojek yang ia pesan tadi. Kemudian, motor tukang ojek itu pun melaju pergi dari hadapan ku.           Aku pun langsung berbalik untuk segera masuk ke dalam rumah. Ketika aku ingin menutup pintu, dengan tiba-tiba wajah ayah muncul dengan ekspresi yang seperti sedang pusing. Aku terkejut melihat nya dengan muncul secara tiba-tiba itu.       "Minggir!" ucap ayah dengan ketus. Lalu aku segera menggeser tubuh ku ke samping untuk bisa mempersilahkan ayah masuk ke dalam. Setelah ayah masuk, aku langsung menutup pintu rumah. Aku melihat ayah yang langsung berjalan ke arah kamar nya. Membuka pintu kamar nya dengan kasar, lalu menutup pintu kamar nya itu dengan kasar pula sampai terdengar suara yang cukup keras dari pintu kamar nya itu. Sampai-sampai ibu yang sedang masak di dapur pun langsung segera muncul untuk melihat apa yang terjadi. Ibu melihat ke arah ku dengan tatapan bertanya kenapa. Aku pun dengan langsung menggeleng tanda tak tahu. Aku berjalan ke dapur dan langsung menarik kursi untuk aku duduki.         "Tadi ayah kau Aruna?" tanya ibu sambil menggoreng ikan.        "Iya ibu," ucap ku sambil menuangkan air di teko ke dalam gelas ku. Lalu, aku langsung meminum air tersebut.       "Kenapa sih dia itu, pulang-pulang kok kayak orang kesambet apa aja," gerutu ibu. Aku pun menghela napas.        "Iya, setiap hari ayah itu bawaannya seperti pusing terus. Entah apa yang ada di pikiran nya itu," ucap ku. Ketika aku dan ibu sedang membicarakan ayah, tiba-tiba ayah pun langsung datang ke dapur dan menarik kursi makan. Aku dan ibu pun langsung diam, tidak melanjutkan kembali perbincangan kami.        "Tadi saya liat ada orang yang baru saja keluar dari rumah ini, memang ada tamu tadi?" tanya ayah.        "Itu tadi teman ku yah, datang menjenguk aku tadi," jawab ku.       "Tumben sekali teman kau ada yang berkunjung ke rumah," ucap ayah sambil mengambil nasi. Aku hanya diam saja tidak menanggapi ucapan dari ayah. Lalu, ibu yang sudah selesai menggoreng ikan pun langsung di taruh nya piring yang sudah berisi ikan goreng yang asap nya pun masih mengepul itu di atas meja makan. Lalu, ayah langsung saja mengambil ikan yang baru saja di taruh oelh ibu. Kemudian, ia pun langsung menyuapkan nasi dengan bersama ikan goreng yang telah ia ambil tadi ke dalam mulut nya itu. Aku menatap ayah yang sedang makna dengan lahap nya. Aku berpikir, kuat sekali lidah ayah untuk mengunyah ikan goreng yang masih panas itu. Namun, ayah pun ternyata menyadari bahwa aku sedang menatap nya.          "Apa? Kenapa kau menatap saya seperti itu?" tanya nya. Aku dengan segera mengalihkan pandangan ku. Aku pun tak menjawab pertanyaan dari ayah itu.         "Aruna, ayo dimakan nak, biar kau segera minum obat," ucap ibu yang mengambilkan nasi ke dalam piring ku. Tak lupa ibu menambahkan ikan goreng, tahu, tempe, juga sambal terasi yang telah di buat nya.alu, ibu pun menaruh piring yang sudah terisi nasi dan lauk nya ke hadapan ku. Aku pun dengan segera memakan makanan yang telah ibu siapkan. Ketika aku sedang mengunyah, ayah pun berbicara, "tuh dengar ibu kau. Cepat makan biar sembuh. Pake acara sakit segala. Nyusahin saja kau tau itu? Liat hari ini ibu kau tak bekerja karena harus menjaga kau di rumah yang sedang sakit," ucap nya sambil masih mengunyah makanan yang ada di atas piring nya itu. Aku menoleh ke arah ayah.         "Eh tidak begitu Aruna, justru ibu senang bisa berada di samping kau ketika kau sedang sakit," ucap ibu. "Ayah kau itu yang salah, dia tidak tahu apa-apa. Abraham lebih baik kau diam saja. Jika kau tidak bisa ikut membantu ku untuk merawat Aruna, lebih baik kau jangan mengeluarkan ucapan-ucapan yang omong kosong seperti tadi," lajut ibu yang berbicara kepada ayah yang masih makan dengan santai nya.          "Terserah, saya kan hanya berbicara saja. Siapa tau kau merasa seperti yang saya ucapkan tadi kan? Kita tak tau isi hati kau bagaimana?"          "Apa maksud kau? Aruna sakit ya itu kewajiban orang tua nya untuk bisa merawat nya sampai sembuh, jika kau tidak membantu saya lebih baik diam saja. Jangan banyak omong," ucap ibu yang sepertinya tersulut emosi dengan perkataan dari ayah tadi. "Sudah Aruna, kau lanjutkan makannya, Jangan dengarkan ucapan ayah kau itu," ucap ibu sambil melanjutkan kembali kegiatan nya yang sedang mengelap kompor yang sedikit kotor bekas ibu memasak tadi. Aku juga tak mengambil pusing yang di ucapkan oleh ayah. Aku tau ibu seperti apa. Ibu itu sayang sekali dengan ku. Jadi, tentu saja ucapan ayah itu hanya omong kosong saja. Aku pun melanjutkan kembali kegiatan makan ku. ---         "Emma pintu nanti jangan di kunci," ucap ayah yang sudah menyelesaikan makan nya tersebut. Aku yang sedang masih makan pun hanya diam saja, tidak berniat untuk ikut campur urusan ayah dan ibu.          "Kenapa? Memang kau mau kemana lagi?" tanya ibu yang sedang mencuci piring di wastafel.          "Sudahlah jangan banyak tanya, jangan ikut campur urusan saya. Kau tidak mengerti," ucap ayah sambil menuangkan air yang ada di dalam teko ke dalam gelas nya itu. Lalu, ayah pun langsung meminum air tersebut.          "Apa yang saya tidak mengerti, kau keluar hanya untuk bermain judi dan berminum-minum di warung pojok biasa itu kan?" tanya ibu yang pastinya tepat sasaran. Tentu saja, tebakan ibu itu pasti benar. Memangnya apalagi kegiatan ayah selain bermain judi dan minum-minum di malam hari, lalu kembali pulang di tengah malam hari. Yang mana waktunya orang-orang istirahat dan ayah pun baru pulang tentu dengan keadaan nya yang pasti nya selalu mabuk.          "Ya terus urusan nya sama kau itu apa? Terserah saya mau ngapain di luar. Kau itu urusi saja rumah dan anak kau itu. Oh ya satu lagi tentunya cari duit banyak-banyak biar hidup kita tidak susah," ucap ayah. Aku yang mendengar ucapan ayah itu pun menatap nya dengan tatapan yang heran. Apa tidak terbalik? Apa ayah tidak merasa malu, hidup bergantungan dengan ibu? Padahal ayah bisa saja mendapatkan pekerjaan. Sebagai kuli bangunan juga bisa, karena tentu saja tenaga ayah yang masih sangat kuat. Tapi, karena ayah malas itulah yang tidak ingin mencari pekerjaan. Ayah hanya bisa meminta, meminta, dan meminta uang terus kepada ibu. Menadahkan tangan nya kepada ibu.           "Apa? Saya harus mencari duit banyak-banyak agar hidup keluarga ini tidak susah? Sekarang saya atau kau yang kepala rumah tangga di keluarga ini? Apa peran kau di dalam keluarga ini? Apa yang telah kau berikan di dalam keluarga ini? Tidak ada bukan? Kau di rumah ini hanya tidur, makan, dan mandi. Kau tidak pernah mau untuk bekerja sama untuk mencari duit dengan saya," ucap ibu yang sudah kesal dengan ayah.          "Kau itu sebagai istri ya ngertiin saya lah, saya kan tidak punya pekerjaan. Jadi, apa yang mau saya kasih kepada keluarga ini," ucap ayah yang masih tidak sadar diri.          "Kau itu punya badan besar, tenaga kau itu masih kuat. Bantu lah saya untuk cari tambahan uang. Apalagi nanti, Aruna akan kuliah di perguruan tinggi. Kau harus bantu saya untuk bisa membayar biaya pendidikan dia,"          "Halah! Kuliah kuliah amat, lulus SMA saja sudah syukur. Dan kau Aruna cukup tau diri, keluarga kita susah. Jangan lah kau itu berharap untuk bisa kuliah,"         "Abraham! Jangan pernah kau bilang seperti itu lagi kepada Aruna," ucap ibu. Aku pun hanya mendengarkan perdebatan mereka disini.          "Halah sudahlah! Buang-buang waktu saya saja meladeni kau yang keras kepala itu," ucap Abraham yang sudah bangun dari tempat ia duduk. Lalu, berjalan ke pintu depan untuk segera pergi dari rumah.         "Kau yang keras kepala!" ucap ibu dengan sangat emosi. Lalu, ibu menatap ke arah ku.         "Aruna jangan kau dengarkan ucapan ayah kau itu ya, kau tidak usah memikirkan biaya kuliah. Ibu pasti akan membantu membiayai kau kuliah," aku pun mengangguk tersenyum, untuk meyakinkan ibu bahwa aku tidak apa-apa. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD