Bab. 77

2022 Words
         "Terimakasih Jogi," ucap Emma sambil membuka seat belt nya. Sebelum keluar Emma tidak lupa membawa plastik yang berisi sebungkus soto medan yang telah dibelikan oleh Jogi tadi.           Awalnya Emma sudah menolak agar tidak usah membelikan soto medan ini, tapi Jogi tetap saja memaksa untuk membelikannya. Alasannya, ia membelikan soto medan ini untuk Aruna, karena Jogi mengatakan bahwa ia sudah menganggap Aruna sebagai anaknya sendiri.          Emma pun langsung saja membuka pintu mobil dan langsung turun dari mobil Jogi. "Hati-hati di jalan," ucap Emma sambil menunjukkan senyuman manisnya.           Namun, entah kenapa Jogi sempat terpana oleh senyuman yang ada di wajah Emma tadi. Jogi pun menggelengkan kepalanya tiba-tiba. Emma yang melihat sikap Jogi sedikit aneh pun keningnya mengernyit heran.          "Ada apa?" tanya Emma. Jogi pun segera saja mengalihkan pandangannya ke arah Emma yang berdiri di samping pintu mobil bagian kursi kemudinya.          "Ah! Tidak apa-apa. Baiklah saya pulang dulu ya, jangan lupa soto medannya harus Aruna habiskan," ucap Jogi. Emma pun mengangguk dengan pasti.           Setelah itu Jogi pun langsung saja menjalankan mobilnya dan bergabung bersama kendaraan lainnya di jalan raya.           "Beruntung sekali Lamtiar mendapatkan suami sebaik Jogi," ucap Emma sambil menatap mobil Jogi. Kemudian, Emma pun langsung saja membalikkan badannya dan berjalan masuk ke dalam gang rumahnya.           Dan tanpa disadari percakapan yang dilakukan oleh Jogi dan Emma itu dilihat oleh Abraham. Suami Emma. Abraham tersenyum sinis melihat Emma yang berjalan masuk ke dalam gang rumahnya. Abraham pun langsung saja berjalan mengikuti Emma untuk menuju rumahnya. --- Aruna           Saat ini aku sedang fokus sekali untuk mengerjakan tugas kelompok mata pelajaran kimia, yang mana tugas ini harus dikumpulkan di esok hari. Namanya saja tugas kelompok, tapi aku mengerjakan tugas ini sendirian. Benar-benar ya Citra dan Shela itu. Apa mereka tidak memikirkan bagaimana nantinya nilai mereka?           Aku menghela napasku dengan kasar. Kurang lebih sudah satu jam setengah Aku mengerjakan tugas kimia ini. Aku menenggelamkan wajahku di tumpukan lengan tanganku. Lelah sekali rasanya mengerjakan tugas ini. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau aku juga ikut tidak mengerjakan tugas kelompok ini, lalu siapa yang akan membereskannya.            Aku memejamkan sebentar kedua mataku. Namun, sayup-sayup aku mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kamarku. Aku yakin pasti itu adalah suara ayah dan ibu, yang lagi-lagi mereka meributkan suatu hal. Kali ini masalah apa lagi yang mereka ributkan.           Sekali saja. Sekali saja aku ingin merasakan bagaimana rasanya hidup di tengah-tengah orang tua yang saling menyayangi. Aku tidak pernah merasakan hal itu. Sedari kecil aku hidup dengan dihiasi oleh keributan-keributan yang bersumber dari orang tuaku.           Apa mereka tidak berpikir bagaimana keadaan mentalku saat ini? Kenapa sih masalah sekecil apapun saja mereka ributkan, yang mana aku berpikir masalah tersebut bisa dicarikan solusi yang lebih baik, bisa di bicarakan dengan kepala yang dingin. Tidak harus kena mereka menyelesaikan masalah mereka dengan keributan-keributan atau teriakan-teriakan yang membuat aku lelah mendengarnya.            Aku berusaha mencoba untuk bersikap tidak peduli dengan keributan yang terjadi diluar. Namun, karena aku sudah tidak tahan mendengar suara keributan yang bersumber dari orang tuaku itu. Aku pun langsung saja beranjak dari kursi belajarku. Dengan perbuatan mereka seperti itu membuat diriku tidak fokus dalam belajar.           Aku berjalan kearah pintu kamarku dan membuka pintu kamarku dengan pelan. Aku mengintip keadaan di luar.            "APA SIH?! KAU ITU SELALU SAJA MENUDUH SAYA YANG TIDAK-TIDAK!" Aku melihat wajah ibu yang sudah memerah, karena kemarahannya yang sepertinya sudah meledak-ledak.           "Saya benar kan? Tadi kau pulang dengan pria lain! Apa-apaan kau ini! Kau itu jangan jadi perempuan murahan! Kau harus ingat dong, kau itu masih punya suami. Tidak sepantasnya kau pulang dengan pria lain,"            "Saya dengan dia itu hanya teman saja! Masih baik dia ingin mengantarkan saya pulang ke rumah. Saya tahu saya punya suami. Tapi apakah pantas saya sebagai wanita yang memiliki suami, saya harus bekerja setiap hari pergi pagi pulang malam dan suaminya itu malah santai-santai saja di rumah? Apakah pantas? Menurut kau itu pantas hah?!!"            "Ooh! Kau sudah mulai berani ya melawan suami kau ini hah?! Diajarin apa aja kau sama pria itu?! Jawab saya hah?!!"            Aku yang masih mengintip dari pintu kamarku yang kubuka sedikit pun tiba-tiba terkejut karena melihat ayah yang tiba-tiba mengapit dagu ibu dengan sangat kuat. Aku tau itu sangat kuat, karena aku melihat wajah ibu yang sedikit meringis, menahan sakit.           Aku melihat ibu yang kesakitan pun, langsung saja aku bergegas keluar dari kamar menghampiri ayah dan ibu. Aku pun langsung saja mendorong Ayah dengan sangat keras sampai tubuh ayah pun terbentur di kursi depan tv.            "Apa-apaan Ayah ini?! Ayah tidak usah bersikap kasar dengan ibu ya! Harusnya ayah bisa mikir, kalau di rumah ini tidak ada Ibu, lantas kita bisa makan apa?! Ayah bisa ngasih makan aku? Tidak kan?! Ayah bisa membiayai aku sekolah?! Ayah tidak pernah memberikan kesenangan di dalam keluarga ini. Ayah bisanya hanya memberikan kesusahan di dalam keluarga ini," ucap ku sambil menatap ayah tajam.           Namun, tidak ku sangka. Ayah pun langsung menampar pipi kanan ku dengan keras, sampai aku pun terjatuh ke lantai. Aku memegang pipi kanan ku yang panas akibat dari tamparan yang diberikan oleh ayah kepada ku.           "ARUNA!!!" panggil ibu sambil menghampiri ku yang terduduk di lantai. Ibu pun menatap pipi ku yang memerah karena bekas tamparan dari ayah tadi.           "AYAH SIALAN KAU YA BANG! BERANI-BERANINYA KAU NAMPAR ANAK SAYA!! SAYA YANG MELAHIRKAN! SAYA YANG MENYUSUI! SAYA YANG MENGURUSNYA DARI KECIL SAMPAI SEKARANG SAJA, SAYA TIDAK PERNAH MENAMPARNYA SEKERAS ITU! AYAH MACAM APA KAU INI?!!" marah Ibu kepada ayah.            Aku menatap ayah dengan ayah pun yang sama menatapku dengan tajam Aku ini adalah musuh ayah.            "Sayang, kau tidak apa-apa nak? Mana yang sakit nak? Astaga sampai merah seperti ini," ucap ibu sambil mengelus pipi ku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah ibu. Aku menatap wajah ibu yang menunjukkan bahwa ia khawatir sekali dengan keadaan ku. Aku masih bersyukur sekali memiliki ibu yang sangat menyayangiku. Kalau tidak ada ibu, sepertinya aku akan gila hanya tinggal berdua dengan ayah di rumah ini.           Tiba-tiba saja Ayah pun beranjak dari tempat ia berdiri tadi. Terdengar suara pintu depan yang dibuka oleh ayah, dan ayah pun menutup pintu tersebut dengan keras.            Aku bingung dengan sikap ayah. Sebenarnya aku ini anak kandung Ayah atau bukan? Kenapa saya tidak pernah menunjukkan kasih sayang kepadaku. Apa dia tidak memiliki hati nurani. Kenapa dia terus-terusan bersikap kasar padaku. Seolah-olah dia itu menganggap aku ini sebagai musuhnya bukan anak kandungnya, bukan putrinya.           Aku ingin sekali mendapatkan kasih sayang dari ayah. Aku ingin sekali merasakan bagaimana berbincang-bincang santai, bercanda dengan ayah. Tapi, itu semua tidak mungkin. Aku rasa ayah tidak sudi untuk bermain denganku. Bahkan, aku rasa ayah tidak sudi menganggapku kalau aku ini adalah anak kandungnya.           "Sayang, ayo bangun nak," ucap ibu sambil menarik tangan ku agar aku bangun, dan ibu pun menuntun ku untuk duduk di kursi depan tv.            "Tunggu di sini ya nak, ibu mau ambil kompresan dulu," ucap ibu sambil berjalan ke arah dapur.            Aku menyandarkan badanku ke sandaran kursi. Aku menghela napas pelan. Niatku untuk melerai keributan ayah dan ibu, malah aku yang kena getahnya, malah aku yang kena tamparan dari ayah. Aku mengusap pelan pipi kananku. Rasanya kebas sekali. Aku menutup kedua mataku.           "Sayang," aku membuka kedua mataku ketika tiba-tiba saja ibu duduk di sampingku dengan membawa sebuah baskom kecil yang sudah terisi air dingin dan lap kecil untuk mengompres pipiku. Ibu pun menyulitkan rambutku ke belakang telingaku. Setelah itu ia mengompres pipiku pelan dengan lap yang sudah direndam ke dalam baskom yang sudah terisi air itu.           "Memang dasar kurang ajar ayah kau itu, bisa-bisanya dia menampar pipi kau," gerutu ibu.            Aku hanya mendengarkan gerutuan Ibu saja tanpa berniat untuk meresponnya. Aku masih menikmati kompresan dari tangan ibu di pipiku.            "Sayang, kok belum makan kan? Ini tadi Om Jogi memberikan kau soto medan," ucap ibu yang menggantikan kompresan nya di pipiku.            Aku yang mendengar Ibu menyebut nama om Jogi pun langsung saja membuka kedua mataku. Aku menatap ibu dengan kernyitan di keningku. Om Jogi?            "Ibu pulang bersama lagi dengan om Jogi?" tanya ku langsung. Dan ibu pun langsung saja menganggukkan kepalanya, membenarkan pertanyaan dariku.           "Astaga ibu! dan tadi kalian ribut-ribut itu hanya meributkan soal om Jogi?" tanya ku lagi. Dan Ibu pun kembali menganggukkan kepalanya.           "Ibu kan sudah Aruna bilang, Ibu jangan lagi pulang bersama Om Jogi. Lagian om Jogi memangnya tidak bekerja apa? sampai-sampai sempat-sempatnya mengantarkan ibu pulang," ucap ku yang tak habis pikir dengan perbuatan ibu.            "Om Jogi itu pulang dari kantornya, nah dia itu mampir ke cafe tempat ibu bekerja. Dan kebetulan Ibu juga udah selesai bekerjanya, cafe udah mau di tutup. Dan om Jogi pun menawarkan ibu untuk pulang bersama, ya sudah ibu terima tawaran darinya. Masa mau Ibu tolak, kan ibu tidak enak om Jogi," ucap ibu menjelaskan kepada ku.           "Astaga ibu! Iya kenapa tidak Ibu tolak aja sih. Tidak enak juga lah dilihat sama tetangga setiap hari Ibu pulang dengan mobil, dengan seorang pria lagi. Dan ayah tahu dari mana kalau Ibu itu tadi diantar pulang dengan om Jogi?" tanya ku penasaran.           "Ya mungkin Ayah kau tadi melihat ibu yang turun dari mobil om Jogi, terus sampai rumah ya jadinya gini, ribut. Ayah kau kan kebiasaan asal menyimpulkan saja tanpa bertanya kebenarannya," ucap ibu yang masih kesal dengan ayah.           Disini aku tidak bisa membela siapa-siapa. Di sini posisinya Ibu pun bersalah. Ibu dengan mudahnya menerima tawaran om Jogi untuk mengantarnya pulang ke rumah. Karena, hal ini ayah marah dengan ibu. Tapi di sisi lain juga Ayah bersalah, andai Ayah ingin menjemput ibu pulang bekerja setiap hari, pastinya kejadian ini tidak akan terjadi.            Aku menghela napasku pelan. Bisa gila aku tinggal di sini. Tuhan, kuatkan mentalku. Sehatkan jasmani dan rohani ku. Tuhan, Kuatkanlah diriku ini untuk menghadapi berbagai masalah yang akan menerpa di kehidupanku kedepannya.            "Ayo Aruna, cepat makan habiskan soto ini," ucap ibu sambil menyodorkan sesendok yang sudah terisi dengan soto medan ke arah mulut ku. Aku pun dengan terpaksa membuka mulutku dan memakan soto medan tersebut. ---           "Duma!" teriak Jogi ketika ia masuk ke dalam rumahnya. Namun, bukan putrinya yang muncul, malahan istrinya yang muncul dari dapur dan menghampiri Jogi. Lamtiar pun langsung saja mengambil tas kerja yang dijinjing oleh suaminya itu.           "Mana Duma?" tanya Jogi ketika ia sudah duduk di kursi ruang tamu.           "Habis lembur bang? akhir-akhir ini selalu lembur terus?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Jogi, malah Lamtiar melemparkan pertanyaan ke arah suaminya.            "Iya. Duma mana?"            "Ada di kamarnya. Ayo bang mandi dulu habis itu makan malam," ucap Lamtiar. Setelah itu, Lamtiar pun meninggalkan Jogi di kursi ruang tamu.           "Merintah-merintah saja. Apa dia tidak lihat saya ini baru pulang kerja dan capek seperti ini," ucap Jogi pelan agar istrinya itu tidak mendengar ucapannya.           Jogi pun beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamar putrinya. Hari ini juga Jogi akan meminta maaf kepada putrinya, karena hari ini Jogi tidak mengantar dan menjemput putrinya itu sekolah.           Lebih banyak Jogi di depan pintu kamar anaknya. Jogi mengetuk pintu kamar putrinya tersebut. "Duma?? Buka pintu nya, nak," ucap Jogi sambil mengetuk pintu kamar Duma.           Tidak butuh waktu lama Duma pun langsung saja membukakan pintu kamarnya itu. Terlihat sekali dengan cara pandangan Duma yang menatap ke arah ayahnya ini dengan kesal. "Ada apa?" tanya Duma dengan sedikit jutek.           Jogi maklum dengan kekesalan anaknya tersebut. Jogi menuntun Duma untuk masuk ke dalam kamar anaknya, tidak lupa sebelah tangan kiri Jogi menjinjing sebuah plastik yang berisi soto medan yang tadi ia beli bersama dengan Emma.           "Ayah minta maaf ya sayang, karena hari ini Ayah kita mengantar dan menjemput kau sekolah. Hari ini pekerjaan ayah sangat banyak sekali. Jadi, ayah tidak sempat untuk mengantar atau menjemput kau sekolah. Maafkan ayah ya nak, karena Ayah sibuk sekali hari ini," ucap Jogi yang langsung menjelaskan kepada anaknya, agar anaknya itu tidak salah paham dan tidak marah.           "Lihat! Ayah bawakan apa coba untuk kau! Hari ini Ayah membawakan soto medan untuk anak kesayangan ayah. Ini terimalah, dimakan ya sayang. Ayah kembali ke kamar dulu, ingin membersihkan tubuh ayah yang sudah penuh dengan keringat," ucap Jogi sambil mengecup kening putri semata wayangnya itu.           Duma pun langsung saja menerima soto medan yang telah dibelikan oleh Jogi. Duma pun ikut keluar dari kamarnya menuju dapur untuk menaruh soto medan ini ke mangkuk. Duma sudah memaafkan Jogi. Duma sangat memaklumi kesibukan dari ayahnya itu. Toh, ayahnya bekerja juga untuk menghidupi Duma dan ibunya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD