Bab. 76

1900 Words
Aruna                 Bel pulang pun telah berbunyi. Kami semua siswa-siswi SMA Pelita Nusa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing menuju gerbang depan untuk segera pulang ataupun hangout bersama teman-teman akrabnya.          "Heh! Aruna! Kerja kelompoknya nanti saja ya, kami berdua sedang ada urusan jadi tidak bisa hari ini untuk mengerjakan tugas kelompok ini," ucap Citra sambil merangkul Shela.          Aku yang sedang memasukkan beberapa buku paket buku tulis ke dalam tas sekolahku pun langsung saja mendongakkan kepalaku ke arah Citra dan Shela yang sedang berdiri di hadapan mejaku.         Aku heran dengan mereka bisa biasanya mereka menganggap gampang tugas kelompok ini. Padahal kan tugas kelompok ini akan dikumpulkan esok hari dan mereka malah seenaknya membatalkan perjanjian nya dengan ku hari ini untuk mengerjakan tugas kelompok bersama. Andai aku bisa kelompok dengan Duma, pasti aku tidak akan kesusahan seperti ini. Sayangnya pembagian kelompok tadi itu dibagi secara langsung oleh guru mata pelajaran kimia.         "Urusan apa? memang urusan kalian itu lebih penting daripada urusan tugas kelompok kita?" tanyaku pada mereka.         Citra mengibaskan rambut lurus panjangnya itu. "Ya iyalah lebih penting. Urusan ku dan Shela itu lebih penting daripada tugas kelompok ini. Kau itu kan pintar, kau kerjakan saja tugas itu sendiri, pasti tidak sampai sejam juga udah selesai, lagian kalau ada kami memang kami bisa bantu apa?" ucap Citra dengan wajah yang angkuh nya.         "ini namanya tugas kelompok, bukan tugas individu. Andai ini tugas individu, ya aku bisa aja sendirian mengerjakannya, tapi ini itu tugas kelompok, artinya kita harus mengerjakan tugas ini bersama-sama dan kita juga bisa mendapatkan nilai bagus dari hasil kerjasama kita itu, kalau kerja sama kita ini optimal," ucapku yang masih keukeuh untuk memaksa mereka, agar mereka bisa mengerjakan tugas kelompok ini di hari ini juga.         Enak saja mereka bilang aku yang harus mengerjakan tugas ini sendirian. Lantas fungsi kelompok yang telah dibagikan oleh Bu Ratna tadi itu apa. Aku tidak ingin menjadi babu mereka. Enak sekali jadi mereka, aku yang mengerjakan sendirian tapi mereka juga tetap mendapatkan nilai.         "Eh Citra, Shela, kalian tau diri dikit dong. Masih untung kalian itu bisa satu kelompok dengan Aruna, setidaknya kalian bantu-bantu dikit di kelompok kalian itu, masa iya tugas kelompok itu kalian bebani ke Aruna semua, terus fungsi kalian di kelompok itu apa? jangan menjadi beban dong kalau kalian jadi anggota kelompok," sambar Duma yang sedari tadi sudah sangat jengah ketika mendengarkan perdebatan antara aku dengan Shela dan Citra.         "Eh Duma! Kau diam saja deh, jangan ikut campur urusan di kelompok kami, urusin saja kelompok kau sendiri, tidak usah urusin kelompok orang," saut Shela yang kesal mendengar ucapan Duma tadi.         "Udah ya Aruna, pokoknya semua tugas kelompok ini aku dan Shela menyerahkan semuanya kepada kau. Aku tidak peduli, yang penting aku dan Shela nanti dapat nilai," ucap Citra.         "Ya, tidak bisa gitu dong,"          "Udah ya, kalau kau perlu uang atau apa kau hubungi aku atau shela aja oke? intinya aku dan Shela juga membantu kau, dan nanti presentasi juga aku dan shela akan membantu. Jadi, kau tidak usah sok merasa terbebani dengan adanya tugas ini. Yuk shel!" ucap Citra sambil menarik lengan Shela dan berlalu dari hadapan ku keluar kelas.         Aku menghembuskan napas ku dengan kasar. Aku mendudukkan tubuhku di kursi ku. Kenapa mereka itu bisa-bisanya menyia-nyiakan pendidikan mereka ini. Apa mereka tidak berpikir, bagaimana orang tua mereka membayar uang sekolah mereka dengan bersusah payah. Aku tahu mereka itu orang kaya tapi setidaknya mereka itu harus bersyukur.         Mereka diberikan fasilitas oleh orang tua mereka bukannya dimanfaatkan dengan baik, tapi mereka malah seenaknya menggunakan fasilitas yang telah diberikan. mereka itu kerjaannya hanya bermain, bermain, dan bermain saja. Apa mereka tidak tahu bagaimana susahnya orang-orang yang ingin bersekolah tapi tidak memiliki uang?          "Mau aku bantuin Aruna?" tanya Duma sambil menyentuh bahuku. Aku menolehkan kepalaku ke arah Duma yang duduk di sampingku.          Duma yang bukan satu kelompok denganku saja, dia ingin membantuku. Tapi, Citra dan Shela yang notabene nya satu kelompok dengan ku, mereka malahan tidak peduli dengan tugas kelompoknya itu.         Aku tersenyum tipis ke arah Duma. "Tidak usah Duma, biar aku saja yang mengerjakannya. Kasihan juga dengan kau, kalau kau membantu tugas kelompok ku. Kau kan punya kelompok sendiri dan tentunya materi kita juga berbeda," jawab ku menolak dengan halus tawaran Duma.         "Baiklah, Kalau kesulitan hubungi aku saja, nanti aku akan membantu kau juga kok. Tapi, aku yakin sih kalau kau itu tidak akan merasa kesulitan dengan tugas kelompok ini, kau kan muridnya cerdas," ucap Duma sambil menyengir dan menggaruk pelan kepala nya itu.         "Semua orang pintar, asalkan dia itu mau belajar," ucap ku yang tidak suka jika Duma sudah memuji-muji ku. Aku tidak suka dipuji-puji oleh orang. Entahlah memang aku merasa aku tidak secerdas itu, sampai-sampai orang-orang tidak henti-hentinya memuji kepintaranku. Bukannya aku sombong, tapi aku memang tidak suka jika dipuji berlebihan oleh orang lain.         "Ayo kita pulang. Ayah kau sudah menjemput?" tanya ku sambil memakai tas sekolah ku.         Duma pun mengecek ponselnya terlebih dahulu, mungkin ia ingin melihat balasan pesan dari ayahnya tersebut. Kemudian, Duma pun menggelengkan kepalanya.         "Apa? Belum dijemput atau gimana?" tanya ku.         "Ayah belum membalas pesan dariku," jawab nya.         "Baiklah, ayo kita tunggu di depan. Aku akan menunggu kau sampai kau dijemput oleh ayah kau," ucap ku.         Duma pun mengangguk. Lalu, ia langsung saja menggandeng tanganku untuk berjalan beriringan bersamanya. ---          Aku dan Duma duduk di kursi halte, melihat orang-orang yang berlalu lalang dengan kendaraannya. Pikiranku pun berkelana untuk memikirkan masa depanku nanti. Entah bagaimana jadinya masa depanku nanti. Aku hanya bisa berharap sama Tuhan untuk memberikan kesuksesan di dalam hidupku.          Kepalaku menoleh ke arah cafe yang berada di dekat sekolahku. Di sana banyak sekali murid-murid SMA Pelita Nusa yang sedang berbincang-bincang santai dengan teman-temannya di cafe tersebut. Disana hanyalah orang-orang yang kaya saja.          Aku rasa mereka sudah tau masa depan mereka masing-masing bagaimana. Tentunya sebagian orang yang memiliki orang tua yang bekerja sebagai pemilik perusahaan, sebagian mungkin mereka akan meneruskan perusahaan orang tua mereka. Terjamin bukan kehidupan masa depan mereka? Mereka tidak akan bersusah payah untuk memulainya dari nol.          Tidak seperti aku. Aku yang masih bingung akan masa depanku nanti seperti apa. Apakah aku bisa menjadi orang yang sukses atau tidak? Aku yang hanya memiliki ayah yang hanya penjudi dan pemabuk dan dan ibuku yang hanya sebagai pekerja di sebuah cafe bisa apa? Aku harus bekerja keras untuk menggapai kesuksesan ku. aku harus mulai dari nol.          Sebentar lagi ujian-ujian di kelas dua belas ini akan dimulai. Di mana aku harus bisa mempersiapkan diriku untuk mengerjakan berbagai ujian di kelas dua belas ini dan aku harus bisa juga mempersiapkan diirku untuk persiapan ujian tes masuk ke perguruan tinggi negeri.          Aku melirikkan kedua mataku ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang sudah pukul tiga sore. Kurang lebih sudah setengah jam aku dan rumah duduk di halte ini. Aku menatap Duma yang sedang menatap ke arah jalan raya, menunggu ayahnya untuk segera menjemputnya.          "Pesan kau masih belum dibalas?" tanya ku memulai pembicaraan. Duma menolehkan kepalanya ke arahku dan menggelengkan kepalanya. Aku menghembuskan napasku pelan. Kalau begini caranya, jam belajar ku pastinya nanti akan terpotong.          "Sepertinya ayah kau sedang sangat sibuk. Dan tidak memungkinkan ayah kau untuk menjemput kau di sekolah saat ini, Duma. Bagaimana kalau kau naik taksi atau ojek online saja untuk mengantarkan kau pulang? Sekarang sudah sore, aku rasa dugaanku benar, ayah kau memang benar-benar sangat sibuk di kantor, sehingga ayan kau tidak sempat untuk membalas pesan dari kau," ucapku.          Aku melihat Duma yang sedang berpikir sebentar. Kemudian, ia pun mengecek ponselnya kembali. Aku menghela napasku. "Bagaimana Duma?" tanya ku kembali.          "Ya, sepertinya dugaan kau benar Aruna. kalau begitu aku akan memesan taksi terlebih dahulu. Kau ingin aku pesankan juga?" tanya nya. Aku pun dengan sigap langsung menggelengkan kepalaku menolak tawaran darinya.           Dari mana uangnya aku membayar taxi tersebut. Lebih baik aku naik angkutan umum saja, ongkosnya lebih terjangkau. Lagipula aku tidak punya cukup uang untuk membayar taxi dan semacamnya seperti itu.          Aku pun kembali menemani Duma untuk menunggu taksi yang dipesan secara online dari ponselnya itu.          Tidak lama taksi yang dipesan oleh Duma tadi pun tiba dan berhenti di depan halte. Duma pun langsung saja berdiri dari duduknya. Aku mengikuti Duma yang turun dari tangga halte dan menghampiri taxi tersebut. Duma pun langsung saja masuk ke dalam taxi tersebut.          "Aku duluan ya Aruna, terima kasih telah menemaniku," ucap Duma.           Aku pun mengangguk dan mengacungkan kedua jari jempol ku. Setelah itu taxi yang ditumpangi oleh Duma pun langsung saja berjalan dan bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya.          Aku pun langsung saja membalikkan tubuhku mencari sebuah objek ataupun angkutan umum yang melintas. Aku mengedarkan pandanganku dan tepat saja yang sedikit jauh dari gerbang sekolah, Aku melihat ada satu ojek yang menangkring di sana. Aku pun dengan segera melangkahkan kakiku untuk menghampiri ojek tersebut.          "Bang, ojek ya," ucap ku memanggil bapak-bapak yang sedang duduk sambil memakan cimol. Merasa dirinya terpanggil, ia pun langsung saja berdiri dan menghampiri ku.          "Oke dek, mau kemana?" ---          "Em! kok kau mau-maunya bekerja seperti ini? Memang suami kau tidak bekerja apa?" tanya Jogi yang duduk di hadapan Emma.           Ya, saat ini mereka sedang berada di salah satu warung kaki lima. Dan mereka pun sedang memakan soto medan. Sekarang ini juga sudah pukul enam sore, dan Jogi pun kembali mengantarkan Emma untuk pulang ke rumah, seolah-olah kegiatan ini sudah menjadi kegiatan rutin Jogi yang harus dilakukannya. Dan karena ini juga, Jogi tidak bisa menjemput Duma, anak semata wayangnya itu di sekolah.           Tadi, Jogi sudah memberitahu Duma, kalau hari ini Jogi akan lembur. Jadi, Jogi tidak bisa menjemput nya di sekolah. Biarkan lah, sekali ini Jogi membohongi putri kecil kesayangannya itu. Entahlah, bisa-bisanya Jogi memilih menjemput Emma yang hanya sebagai teman nya daripada menjemput Duma yang sebagai anak kesayangannya itu.          "Ya mau bagaimana lagi, Kalau saya tidak bekerja nanti keluarga saya mau makan apa? Dan kau tahu sendiri Jogi, suami saya bagaimana. Suami saya tidak bekerja," ucap Emma sambil memakan soto medan yang ia pesan.          "Kenapa tidak bekerja?"           "Ya mau kerja apa? suami saya juga hanya lulusan sekolah dasar," jawab Emma lagi.          "Oh iya, memang suami kau itu pemabuk sekali ya?" tanya Jogi yang penasaran dengan suami dari Emma. Emma pun dengan berat hatinya mengangguk, membenarkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Jogi.          "Hem ... Ya udah kau tidak usah khawatir Emma. Kalau kau perlu bantuan atau apapun kau bisa menghubungi saya saya. Dan dengan senang hati saya akan membantu kau ataupun Aruna," ucap Jogi yang bersedia untuk memberikan bantuannya kepada Emma.          Emma pun tersenyum terharu mendengar ucapan dari Jogi. Namun, seketika senyuman Emma luntur. Emma merasa tidak enak, jika harus terus-menerus merepotkan Jogi.           "Terima kasih Jogi atas tawaran bantuannya. Rasanya saya sudah banyak kali merepotkan kan diri kau, saya tidak enak hati lagi untuk meminta bantuan dengan kau. Dan saya juga tidak enak dengan Lamtiar, jika saya terus-terusan merepotkan kau yang notabene nya sebagai suami dari Lamtiar," ucap Emma.          Jogi pun menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba saja Jogi menggeserkan tempat ia duduk agar lebih dekat dengan Emma. "Tidak usah merasa tidak enak, Lamtiar juga akan paham lah dengan kondisi kau sebagai sahabatnya itu. Jujur saya merasa kagum sekali dengan kau. Kau perempuan yang pekerja keras demi menghidupi keluarga kecil kau," ucap Jogi sambil menatap Emma kagum. Dan entah kenapa Emma pun tersenyum dengan salah tingkah karena ditatap seperti itu oleh Jogi.          "Namanya juga dituntut oleh keadaan Jogi. Sudah sudah, ayo lanjutkan makannya. Hari sudah sore, nanti kau dicari sama Lamtiar lagi, kalau kau pulang telat ke rumah," ucap Emma. Jogi pun langsung saja melanjutkan kegiatan memakan soto medannya itu. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD