Bab. 75

1670 Words
"Mau berangkat sekarang bang? baru juga pukul enam, tumben pagi sekali," ucap Lamtiar ketika ia membuka pintu kamarnya dan melihat suaminya itu yang sedang memakai sepatu kerja nya. Namun, Jogi tidak menggubris pertanyaan yang dilontarkan dari istrinya barusan. Lamtiar berdecak kesal, lagi-lagi ucapannya tidak di ladeni oleh suaminya. "Bang!" panggil Lamtiar lagi sambil berjalan mendekati Jogi yang sedang duduk di pinggir kasur yang sedang mengenakan sepatu. Lamtiar sempat mengernyit heran karena mencium aroma parfum yang cukup menyengat. Biasanya Jogi tidak suka memakai parfum yang terlalu menyengat seperti ini. Tidak! Tidak! Ia tidak boleh berpikiran negatif tentang suaminya. "Hari ini saya akan berangkat lebih pagi ke kantor. Pekerjaan saya di sana sedang banyak sekali, karena kantor sedang melakukan sebuah proyek baru," jawab Jogi yang langsung menjelaskan, agar istrinya itu tidak lagi bertanya macam-macam. "Oh gitu, yaudah ayo cepat ke meja makan, saya akan menyiapkan sarapan buat kau," ucapan Lamtiar sambil berjalan kembali menuju dapur. "Tidak usah, saya akan sarapan di kantin kantor saja, dan nanti tolong bilangkan kepada Duma-" ucap Jogi yang terpotong karena mendengar ponselnya itu berbunyi. Jogi pun langsung saja membuka ponselnya itu dan melihat pesan yang dikirim oleh seseorang. Setelah itu, ia pun buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana kerjanya tersebut. Lamtiar menatap Jogi heran. Dan tadi Lamtiar juga sempat sedikit melirik sebuah pesan yang terpampang di layar ponsel suaminya itu. Namun, sialnya mata lamtiar tidak terlalu jelas melihat apa isi pesan tersebut dan siapa pengirim pesan tersebut. "Oh iya nanti kau katakan kepada Duma untuk berangkat ke sekolah naik taxi saja, saya tidak bisa mengantarnya ke sekolah pagi ini," ucap Jogi. Kemudian, Jogi pun langsung saja beranjak pergi dan tak lupa ia mengambil terlebih dahulu tas kerjanya itu. Tanpa pamitan dan tanpa mengecup kening istrinya, Jogi berlalu dari hadapan lamtiar. "Bang!" panggil Lamtiar, namun Jogi tetap saja melanjutkan langkahnya menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahnya. Lamtiar pun berjalan terburu-buru menyusul Jogi yang masih berada di depan rumahnya itu. Namun, tepat Lamtiar tiba di pintu depan rumahnya, mobil Jogi pun sudah melaju meninggalkan rumahnya ini. Lagi-lagi hampir menghela napasnya dengan kasar. Tidak biasanya Jogi berangkat kerja tanpa sarapan terlebih dahulu. Memang suaminya itu pernah berangkat kerja tanpa sarapan di rumah, tapi tentunya Lamtiar akan membuatkan bekal kepada Jogi untuk memakan sarapannya ini di kantor, karena Lamtiar paham betul bahwa suaminya itu sangat sibuk sekali di kantor. Mengingat pesan yang diterima oleh Jogi tadi pagi, Lamtiar entah kenapa sedikit penasaran tentang isi pesan tersebut. "Ibu!" Lamtiar membalikkan badannya, ketika mendengar bahwa anaknya itu memanggilnya. Lamtiar tersenyum melihat anaknya yang sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya. "Ibu ngapain berdiri di sana?" tanya Duma sambil menaruh tas sekolahnya di salah satu kursi. "Ah! Tidak, tadi ibu mengantarkan ayah kau ke mobilnya untuk berangkat kerja barusan," jawab Lamtiar. "Loh kok Ayah berangkat duluan? terus aku berangkat sama siapa dong? Tidak biasanya ayah berangkat kerja secepat ini," respon Duma yang sedikit kesal karena ditinggal oleh Jogi. Lamtiar tersenyum kecut, anaknya saja heran kenapa ayahnya berangkat pagi seperti ini dan rela meninggalkan anaknya berangkat ke sekolah dengan menggunakan taxi. "Nanti kau naik taxi saja ya, dan ongkosnya nanti biar ibu yang akan membayarnya ya sayang," ucap Lamtiar memberikan perhatiannya kepada anaknya tersebut. Duma pun berdecak kesal dan langsung saja berjalan menuju dapur dan duduk di meja makan untuk segera melakukan sarapan paginya. Lamtiar pun segera bergegas menyusul Duma ke dapur. Lamtiar mengambil piring yang berada di hadapan duma dan mengambil secentong nasi goreng dan ia taruh di atas piring milik Duma, setelah itu ia pun langsung saja memberikan piring yang sudah terisi oleh nasi goreng yang ia buat tadi ke Duma. --- Aruna "Ayah aku berangkat sekolah sekarang," ucap ku pamit kepada ayah yang sedang memakan sarapannya di meja makan. Namun, Ayah tidak menggubris ucapanku. Jadi, aku lebih baik langsung saja pergi dari hadapan ayah. Aku menutup pintu rumahku dan langsung saja berjalan menuju halte untuk menunggu bus yang melintas. "Eh Aruna!" Aku pun membalikkan badanku, ketika mendengar ada yang memanggil namaku. Aku pun melihat Bu Asih yang berjalan ke arahku. Aku menatapnya dengan tatapan yang bertanya-tanya. Setahunya, Bu Asih ini adalah salah satu tetangga yang cukup kurang menyukai keberadaan keluarga ku ini. Tapi, kenapa Bu Asih memanggilku? "Eh Aruna tadi saya melihat ibu kau di halte terus duduk di sana, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Terus saya lihat ternyata ada mobil yang menghampiri ibu kau. Karena, kebetulan kaca jendela mobilnya terbuka, jadi saya bisa melihat siapa yang menjemput ibu kau di halte tadi. Dan ternyata yang menjemput ibu kau itu seorang pria, bisa-bisanya ibu kau itu pergi sama pria lain seperti itu, sedangkan suaminya sendiri ada di rumah. Masih pagi sekali lagi. Tidak mungkin bukan ibu kau bekerja sepagi itu, emang dia tidak mengurusi kalian apa di rumah?" ucap Bu Asih dengan tatapan tidak sukanya. Aku pun memejamkan kedua mataku, menahan emosi ku ketika mendengar ucapan Bu Asih tadi. Padahal ini masih pagi, tapi ada saja omongan-omongan yang menjelekkan ibu. "Bu Asih maaf sebelumnya kalau saya kurang sopan sama ibu, ya. Bukannya apa ya Bu, sekarang ini masih pagi, Ibu bisa-bisanya bilang seperti itu seolah-olah Ibu ku itu bukan ibu yang baik, bukan istri yang baik. Bisa tidak sih Bu, ibu Asih itu tidak usah mengusik keluarga aku. Ibu jangan seolah-olah tahu keluargaku itu seperti ini. Lagian memang ibu Asih ini terusik atau gimana?" ucap ku yang sudah sangat kesal sekali dengan bu Asih yang berbicara seolah-olah kalau ibu ku ini seorang ibu yang tidak becus mengurusi keluarganya. "Heh! Tidak sopan sekali kau berbicara seperti itu sama orang yang lebih tua. Belaga nya aja sekolah di sekolahan elit sopan santun nya mana? kosong, akhlak kau kosong. Saya pikir mau seorang siswa yang sekolah di sekolahan elit itu berkelas, memiliki sopan santun yang sangat baik tahu-tahunya malah lebih buruk seperti ini," ucap Bu Asih dengan kedua matanya yang memelototi ku. "Eh Aruna! saya kan cuman bertanya aja, kok malah kau bilang seperti itu. Apa maksudnya? Saya ini orang tua loh, tidak baik buat kau berbicara kasar seperti itu sama saya, saya paham apa yang kau omongin itu. Orang ditanya baik-baik malah dibales kayak gitu, kurang ajar namanya!" lanjut Bu Asih yang memarahi ku. "Loh Aruna tidak berbicara kasar loh sama Bu Asih. Lagian gini aja deh bu, ibu Asih juga pagi-pagi seperti ini bukannya mengurusi keluarga ibu sendiri dirumah malah ngurusin keluarga orang. Udahlah Bu saling intropeksi diri masing-masing aja, jangan suka ikut campur sama urusan orang," ucap ku yang aku harap dengan ucapan yang aku lontarkan tadi ini membuat Bu Asih itu paham. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kesopanan terhadap orang-orang yang ada di daerah tempat tinggalku ini. Dari dulu aku sudah sangat sopan sekali dengan mereka, tapi apa balasannya mereka malah meremehkanku ataupun keluargaku. Sekarang aku paham bahwa orang-orang yang tinggal di dekat rumahku ini, mereka tidak bisa dibaikin. Semakin aku dan keluargaku membaiki mereka, semakin mereka memperlakukan keluargaku dengan semena-mena. "Dasar anak sombong, miskin aja belagu, kurang ajar!" ucap Bu Asih menghinaku. "Iya bu aku memang miskin, tapi walaupun aku miskin, tapi aku punya otak yang cemerlang. Tidak seperti anak ibu, sudah hidupnya miskin, untuk sekolah aja malah sering bolos. Nah, jadi ibu Asih mending urusin aja tuh anak ibu, suruh sekolah yang bener biar bisa membanggakan ibu Asih dan suami Bu Asih. Sudah ya Bu, Aruna sekarang mau pergi ke sekolah mau menimba ilmu, mau mencari ilmu," ucap ku. Kemudian aku pun langsung saja pergi dari hadapan Bu Asih. Aku tidak ingin berlama-lama lagi berhadapan dengan Bu Asih itu. Aku tidak ingin mengeluarkan kalimat-kalimat yang membuat Bu Asih sakit mendengar ucapan ku nantinya. Sudah cukup, sampai di sini saja. Aku tidak ingin sampai aku dan keluargaku kembali diinjak-injak oleh mereka. Untuk masalah ucapan Bu Asih mengenai ibu, nanti akan aku tanyakan langsung ketika ibu sudah pulang bekerja. Aku tidak ingin memiliki pikiran buruk tentang ibu. Karena Bu Asih, pagi ini membuat mood ku menjadi buruk. Ayo! Aruna, semangat! Aku mencoba tersenyum aku mengusir kalimat-kalimat yang lontarkan oleh Bu Asih tentang ibuku tadi di dalam pikiranku. Aku pun langsung saja memasuki bus yang berhenti di depan halte yang sedang aku pijaki ini. Aku memasangkan earphone ke kedua telingaku. Aku ingin menaikkan mood ku kembali menjadi bagus dengan mendengar lagu-lagu kesukaanku. --- "Terima kasih ya Jogi, kau sudah mengantarkan saya kerja," ucap Emma kepada Jogi yang duduk di kursi kemudi. Ya, Jogi dan Emma berjanjian untuk berangkat kerja bersama. Maka dari itu, Jogi tadi berangkat lebih pagi tidak seperti biasanya dan Emma pun juga ikut berangkat lebih pagi. Hubungan mereka semakin dekat saja. Jika dilihat hubungan mereka tidak seperti orang yang berteman, melainkan orang yang memiliki hubungan lebih dari seorang teman. Setelah sarapan bersama tadi, maka Jogi langsung mengantar Emma ke cafe tempat nya bekerja. "Iya, sama-sama. Lain kali kita buat janji seperti ini lagi ya," ucap Jogi dengan santai. Emma tersenyum, menganggukkan kepala nya. Namun, mengingat Jogi adalah suami dari sahabat nya, membuat Emma tidak enak hati. "Tapi, saya jadi tidak enak dengan Lamtiar. Harusnya kau sarapan bersama keluarga kau, tapi kau malah sarapan dengan saya," ucap Emma yang tidak enak hati. Jogi menggelengkan kepala nya, "Tidak apa-apa, lagian kan kalian sahabatan juga. Tidak mungkin Lamtiar akan marah dengan kau," "Iya, lagian saya mengajak kau sarapan bersama tadi, maksud saya itu saya menganggap sebagai ucapan terima kasih saya dengan kau, karena kau sudah sering membantu saya Jogi. Terima kasih banyak sudah mau saya repotkan ya," ucap Emma sambil menyentuh lengan kiri Jogi. Jogi pun tersenyum, mengangguk paham. Tapi, anehnya entah kenapa Jogi menganggap itu semua bukan hanya sebagai ungkapan terima kasih. "Baiklah saya masuk ke dalam dulu ya," ucap Emma sambil membuka pintu mobil yang ada di samping nya. Setelah Emma turun dari mobil Jogi. Jogi pun langsung saja mengendarai kembali mobilnya, bergabung bersama kendaraan-kendaraan lainnya di jalan raya. Emma pun langsung saja membalikkan badannya dan berjalan masuk ke dalam cafe. "Cie! Diantar sama siapa tuh? Suami kau Emma?" tanya Winda sambil menggoda Emma. "Hush! Cuman teman saya kok Win. Udah lanjut kerja lagi nanti dimarahin sama bos lagi," ucap Emma sambil berjalan masuk ke dalam dapur. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD