Bab. 62

1955 Words
        "Ibu aku berangkat dulu ya?" ucap ku berpamitan kepada ibu yang sedang makan sarapan nya di meja makan sendirian. Ibu menoleh ke arah ku. Menaikkan sebelah alis nya. Kenapa ibu menatap ku seperti itu? Semoga ibu tidak akan melarang ku untuk pergi bekerja hari ini. Aku sangat tidak enak juga dengan paman Bontor, masa aku harus berhenti bekerja di minimarket nya, padahal kemarin-kemarin aku sangat memohon-mohon dengan paman Bontor untuk bisa memberikan sebuah pekerjaan kepada ku di minimarket milik nya itu.          "Mau kemana?" tanya ibu sambil beranjak dari kursi yang ia duduki itu dan pergi melangkah menuju wastafel untuk menaruh piring bekas nya makan tadi. Aku terdiam sebentar.          "Mau bekerja Bu," ucap ku pelan. Ibu yang sedang mencuci piring di wastafel pun langsung menolehkan kepala nya menatap ke arah ku, meminta penjelasan dari ucapan yang aku lontarkan tadi.          "Bekerja? Ibu belum memberi kau ijinnya loh Aruna, kok kamu seenaknya membuat keputusan tanpa mendengarkan keputusan dari ibu terlebih dahulu. Kamu udah tidak menghormati ibu lagi? Begitu?" ucap ibu. Aku pun menundukkan kepala ku, tidak berani menatap ke arah ibu. Ya Tuhan, bantu aku saat ini.         "Ibu.... Aku bukannya tidak menghormati ibu, tapi ini sangat penting sekali untuk ku ibu. Lagian, aku di rumah mau ngapain? Aku tidak suka berdiam diri di rumah saja tanpa melakukan apa-apa Bu," ucap ku masih keukeuh untuk bisa mendapatkan ijin dari ibu agar aku bisa bekerja hari ini. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku. Sekarang sudah jam delapan. Seharusnya aku suda berada di sana, tapi saat ini aku masih berada di rumah. Aku sudah sangat telat sekali. Ya ampun, masa hari kedua ku bekerja ini aku sudah telat? Aku tidak ingin mengecewakan paman Bontor yang sudah memberikan kepercayaan nya kepada ku.          "Kau sudah kelas dua belas Aruna, seharusnya kau memanfaatkan waktu libur kau ini untuk belajar mempersiapkan ujian-ujian yang akan datang nanti, seharusnya kau mikir kesana bukannya malah kau berpikir untuk bekerja. Di rumah ini masih ada ibu yang masih kuat mengeluarkan tenaga ibu untuk mencari uang," ucap ibu yang masih melarang ku untuk bekerja. Aku menghembuskan nafasku dengan kasar. Kenapa ibu belum bisa mengerti juga. Aku bukannya ingin meremehkan pekerjaan ibu, namun mengingat sekarang pengeluaran di rumah ini sudah sangat banyak. Aku berpikir, apa bisa ibu membiayai kuliah ku nanti setelah aku lulus dari sekolah menengah atas ku ini. Ketika aku ingin menjawab ucapan ibu, namun tiba-tiba ponsel ku pun berbunyi. Aku melihat siapa yang menelpon ku saat ini. Benar saja, di sana tertera nama paman Bontor. Aku pun dengan cepat mengangkat panggilan dari nya itu.         "Pagi paman," sapa ku terlebih dahulu. Paman Bontor terbatuk sebentar sebelum menjawab sapaan dari ku.         "Iya pagi, Aruna," balas nya. Aku yakin paman Bontor saya ini akan menanyakan keberadaan ku saat ini.          "Aruna, tadi Dora memberitahu paman kalau kau belum juga datang ke minimarket? Hari ini kau tidak bekerja?" tanya paman Bontor. Kan! Benar saja pasti paman Bontor menanyakan itu. Aku bingung mau menjawab apa. Sebaiknya, setelah panggilan ku dengan Paman Bontor, aku harus segera berangkat pergi ke minimarket. Aku tidak peduli dengan ibu yang akan memarahi ku nantinya, pokoknya aku tidak boleh mengecewakan pan Bontor yang sudah sangat baik kepada ku.          "Iya paman, aku ada urusan sebentar. Sebentar lagi aku akan ke minimarket kok paman," ucap ku memilih untuk berkata seperti itu, daripada aku harus bicara jujur bahwa ibu tidak mengijinkan aku bekerja.         "Oh yaudah, cepat ya Aruna, soalnya hari ini ada barang datang," ucap paman Bontor.          "Iya paman," ucap ku dengan pasti. Setelah itu, paman Bontor pun langsung menutup sambungan telepon nya. Aku memasukkan kembali ponsel ku ke dalam tas kecil yang ku gendong di punggung ku. Aku menatap ibu dengan memohon.         "Ibu... Aku harus berangkat sekarang, tadi aku sudah di telepon harus segera ke tempat kerja ku," ucap ku. Namun, ibu tidak merespon ucapan ku ini. Aku yakin saat ini ibu sedang marah kepada ku. Aku berpikir, nanti saja aku akan membujuk ibu. Nanti setelah aku pulang kerja, aku akan langsung meminta maaf kepada ibu.         "Ibu aku berangkat sekarang," pamit ku. Kemudian, aku pun pergi dari dapur menuju pintu depan. Aku berjalan pergi menuju ke depan gang untuk kembali menaiki ojek untuk mengantarkan aku ke minimarket milik paman Bontor.  ---         Pintu kamar milik Abraham dan Emma pun terbuka dan menampilkan sosok Abraham dengan wajah nya yang khas bangun tidur. Dengan rambut nya yang acak-acakan dan juga hanya menggunakan celana training tanpa menggunakan baju. Itulah kebiasaan Abraham ketika bangun tidur. Kemudian, Abraham pergi ke dapur dan langsung duduk di kursi makan. Di sana masih ada Emma yang masih membereskan dapur nya. Hari ini memang Emma berangkat kerja lebih siang, tidak seperti biasanya. Emma melirik Abraham yang langsung saja mengambil secentong nasi dari rice cooker. Memang seperti itulah kebiasaan Abraham. Terkadang Abraham memakan sarapan nya tanpa mencuci muka atau menyikat gigi nya terlebih dahulu.          "Kemana anak kau itu? Masih pagi tidak ada di rumah? Main aja bisanya, buang-buang duit," tanya Abraham kepada Emma. Emma tidak menjawab pertanyaan dari suami nya itu. Emma sangat malas sekali menanggapi nya.          "Kalau suami bertanya itu di jawab. Jangan didiamkan seperti ini. Tidak sopan," sindir Abraham. Emma menghela napas nya dengan kasar. Suaminya ini suka sekali memancing emosi Emma. Padahal Emma sudah ingin memberikan jarak dengan suaminya, Emma lelah jika terus-menerus ribut dengan suaminya itu. Emma butuh ketenangan.         "Kalau kau tidak tau apa-apa, jangan ngomong sembarangan tentang Aruna," ucap Emma yang sedikit geram dengan ucapan Abraham tentang Aruna tadi. Abraham menaikkan kedua bahunya. Tidak peduli.          "Dia itu anak perempuan, kau jaga pergaulan dia itu. Jangan sampai anak kau itu masuk ke pergaulan bebas. Dan juga jangan sampai dia membuat malu keluarga ini," ucap Abraham yang sok menasehati. Emma memutar kedua bola mata nya itu. Merasa jengah dengan Abraham. Pintar sekali dia menasehati orang, tapi sendiri nya malahan yang membuat malu keluarga ini.          "Sudahlah, saya itu tau semua nya tentang Aruna, tida seperti kau yang tidak tau apa-apa tentang Aruna, kau jangan sok peduli dengan Aruna," ucap Emma.          "Ya terserah kau saja, saya kan sebagai ayah nya hanya memperingati nya saja agar tidak terjerumus ke pergaulan bebas, kalau mau berteman, suruh anak kau itu cari teman nya yang baik, kalau bisa yang kaya. Siapatau kan anak kau nanti juga kecipratan kekayaan dari kawan nya itu," ucap Abraham tidak tau malu.          "Gila kau!" ketus Emma sambil berjalan pergi meninggalkan Abraham yang sedang makan di meja makan. Daripada berlama-lama di rumah ini, lebih baik Emma segera pergi berangkat bekerja. Emma pun masuk ke dalam kamar nya dan mengganti pakaian rumah nya dengan pakaian seragam cafe nya itu. Emma memakai make up nya tipis agar wajah nya terlihat lebih fresh. Setelah semuanya sudah siap, Emma dengan segera keluar dari kamar dan langsung pergi tanpa berpamitan dengan suami nya itu. Namun, ketika Emma ingin menutup pintu rumah nya, tiba-tiba pintu rumah nya itu pun di tahan oleh seseorang. Disana Abraham yang menahan pintu tersebut. Emma menatap suami nya dengan bingung.         "Kau mau kemana?" tanya Abraham yang masih menggunakan handuk yang dililitkan di pinggang nya itu dengan rambut nya pun masih meneteskan air. Iya, Abraham batu saja selesai mandi. Dan kebetulan Abraham melihat istrinya sudah mau pergi, jadi Abraham pun menyusul istri tersebut dengan cepat.         "Ya saya mau kerja lah," ucap Emma sewot. Emma menaikkan sebela alisnya menatap penampilan suami nya itu. "Kau mau apa? Selesai mandi harusnya kau pakai baju kau yang benar," ucap Emma. Abraham pun berdecak.          "Saya minta uang lima puluh ribu, saya ada urusan. Dan saya tidak memegang duit sama sekali," ucap Abraham sambil menadahkan telapak tangan nya ke hadapan Emma. Emma menatap datar telapak tangan suaminya itu. Tanpa pikir panjang lagi dan Emma pun tak ingin kembali ribut, jadi Emma segera mengambil uang selembar lima puluh ribuan dan langsung ia taruh ke telapak tangan suaminya tersebut. Abraham pun tersenyum dengan lebar.         "Nah gitu dong, udah sana kau berangkat kerja. Cari uang lebih banyak lagi supaya kita bisa menjadi orang kaya hahhahaahha," ucap Abraham sambil tertawa-tawa dengan keras. Emma menatap aneh suami nya tersebut. Lantas, Emma pun langsung pergi dari hadapan Abraham.         Ketika Emma berjalan, dan Emma pun melewati para ibu-ibu yang sedang membeli sayuran. Emma pun dengan sopan menyapa ibu-ibu tersebut. Emma tidak ingin dianggap sombong oleh para tetangga-tetangganya.          "Beli sayuran Bu?" tanya Emma basa basi. Namun, bukannya Emma mendapatkan respon yang positif, malahan ibu-ibu yang sedang membeli sayuran itu pun bisik-bisik tepat di hadapan Emma. Emma mengernyitkan keningnya heran. Ada apa semua ibu-ibu disini.         "Mau kerja ya Em?" tanya salah satu ibu-ibu dengan postur badannya yang gemuk. Emma pun mengangguk sambil tersenyum sopan.         "Iya Bu," jawab Emma. "Yaudah ya Bu, saya pergi dulu," ucap Emma pamitan. Namun, ketika Emma ingin melanjutkan langkahnya, Emma merasa terusik dengan salah satu ucapan yang di lontarkan oleh salah satu ibu-ibu yang membeli sayuran disana.         "Ish, dia itu kok jadi ibu, apa tidak kasihan dengan anak nya," ucap salah satu ibu-ibu yang menggunakan jilbab.          "Ada apa sih?" saut ibu-ibu lainnya.         "Itu loh, anaknya. Si Aruna, masa anaknya di suruh bekerja, padahal kan anaknya masih sekolah. Harusnya si Emma itu mikir dong, anaknya masih remaja, harusnya anaknya bisa menikmati masa-masa remaja nya, tapi ini malah di suruh cari duit. Kan tega sekali si Emma itu," Emma yang masih belum pergi pun mendengar ucapan dari para ibu-ibu tersebut yang menjelek-jelekkan dirinya. Sakit hati Emma mendengar ucapan-ucapan mereka, yang mereka saja tidak tau kebenaran nya itu seperti apa. Mereka berbicara seperti itu seolah-olah mereka itu tau kebenaran yang sebenarnya.         "Kenapa sih ibu-ibu semua ini selalu saja mencari kejelekan keluarga saya? Keluarga saya ada salah dengan kalian semua? Apa keluarga saya membebani kalian semua, sehingga ibu-ibu semua ini merasa terbebani, merasa terusik dengan kehadiran keluarga saya? Ibu-ibu, saya tinggal disini tidak ingin mencari musuh Bu, kalian semua tetangga saya. Saya sudah anggap kalian semua menjadi keluarga saya. Tapi, kenapa kalian sepertinya sangat tidak suka sekali dengan keberadaan keluarga saya disini?" ucap Emma dengan suara yang bergetar. Semua ibu-ibu yang sedang memilah milih sayuran pun langsung menghentikan kegiatan mereka, mereka menatap Emma dengan diam. Emma yang tidak mendapatkan respon apapun dari para ibu-ibu tersebut pun langsung saja pergi dari hadapan mereka semua. Emma berjalan cepat, sehingga terlihat seperti berlari. Emma mengusap air mata nya yang terjatuh di pipinya. Sakit hati Emma rasanya. Memang Emma akui, keluarga nya ini sangat berantakan. Emma memiliki suami yang tidak bertanggung jawab kepada keluarganya. Tapi, Emma tidak ingin keluarga kecil nya itu di jelek-jelekkan oleh orang-orang disana. Emma tidak ingin. Biarpun keluarga Emma berantakan, setidaknya Emma tidak pernah mengumbar aib yang ada di keluarga nya itu.          Sesampainya Emma di depan gang rumah nya, Emma menunggu salah satu bus yang lewat di halte bus tersebut. Namun, sampai saat ini bus pun tak ada yang berhenti di halte. Emma melirik jam uang berada di pergelangan tangan nya itu.          Tinn! Tinn! Tinn!          Emma mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara bunyi klakson mobil. Emma mengernyitkan keningnya menatap mobil yang terparkir di hadapannya itu. Tidak lama, jendela mobil itu pun terbuka dan terpampang lah seseorang yang menyetir mobil tersebut. Ternyata itu adalah suami dari sahabat kecil nya. Lamtiar. Di sana Jogi, sebagai suami Lamtiar sedang menatap ke arah Emma.         "Mau berangkat kerja ya Emma?" tanya Jogi kepada Emma. Emma pun lantas mendekati mobil milik Jogi tersebut.          "Iya, ini lagi nunggu bus," jawab Emma.          "Kalau begitu bareng sama saya aja Emma, kebetulan kantor saya juga melewati cafe tempat kau bekerja," Emma yang mendapat tawaran dari suami Lamtiar pun merasa tidak enak untuk menerima tawaran tersebut. Emma berpikir sebentar, menimbang-nimbang tawaran dari Jogi.          "Tidak apa-apa kok, ayo masuk ke dalam mobil. Akan saya antarkan," ucap Jogi sambil melirikkan matanya ke arah jok mobil yang berada di sebelah nya. Emma pun mengangguk, dan langsung saja berjalan memutari mobil dan membuka pintu mobil yang di sebelah Jogi. Emma duduk disana. Dan kemudian, Jogi pun langsung saja menjalankan mobilnya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD