Bab. 24

1827 Words
    "Aruna! Ibu sudah siapkan sarapan kau di meja makan ya," teriak ibu dari dapur. Aku yang sedang memakai baju seragam pun langsung saja membalas ucapan ibu.     "Iyaaa ibuu!!!" aku pun dengan segera merapihkan rambut ku yang masih cukup basah. Karena, pagi tadi aku habis keramas. Setelah itu, aku mengambil baju olahraga di dalam lemari baju ku dan aku masukkan ke dalam tas ku. Setelah semua sudah siap dan tidak ada lagi yang ketinggalan. Aku langsung beranjak pergi menuju pintu kamar untuk keluar dari kamar ku dan segera menyantap makanan sarapan ku yang telah di siapkan oleh ibu di dapur. Aku melihat ibu sudah memakai rapih baju seragam cafe nya. Aku pun menoleh ke arah jam dinding. Jarum jam masih menunjukkan angka 6 lewat 20 menit. Tapi, kenapa ibu sudah sangat rapih sekali pagi ini? Apa ibu mau berangkat kerja sekarang? Tumben sekali. Biasanya ibu akan berangkat kerja jam tujuh lebih tiga puluh menit.       "Ibu tumben sekali sudah pake seragam cafe? Mau berangkat sekarang?" tanya ku ketika aku sudah duduk di kursi meja makan.         "Iya, ibu mau berangkat sekarang. Disuruh bos harus buka pagi hari ini. Karena, id cafe mau ada acara pembukaan menu baru di cafe," ucap ibu menjelaskan kepada ku sambil menaruh segelas s**u di samping piring yang ku gunakan untuk makan.        "Oh ya? Memang menu apa Bu?" tanya ku penasaran. Karena, cafe tempat ibu bekerja itu sering sekali membuat menu-menu baru dan semuanya itu rasanya sangat enak sekali. Aku tahu, karena ibu kadang sesekali membawa makanan dari cafe untuk ku.        "Ada, tapi ibu lupa nama menu nya apa. Ibu tak ingat, soalnya ibu semalam membaca hanya sekilas saja," jawab ibu. Aku pun mengangguk.        "Aruna, ini uang saku sekolah kau," ucap ibu lagi sambil menyodorkan uang kertas yang berwarna hijau dengan nominal 20 ribu rupiah. Aku pun dengan langsung menerima uang saku ku dan ku taruh di saku seragam sekolah ku.        "Oh iya, hari ini kau ada pelajaran olahrag ya? Mau ibu buatkan bekal?" Aku yang mendengar tawaran ibu pun langsung menggelengkan kepala ku. Menolak tawaran nya.        "Tak usah Bu, nanti aku beli makan di kantin saja,"         "Oh yaudah, ibu berangkat sekarang ya, dahhh," pamit ibu sambil melambaikan tangan nya kepada ku. Aku pun membalas lambaian tangan nya. Aku melanjutkan sarapan ku. Dan tiba-tiba saja ayah keluar dari kamar mandi yang berada di dapur dengan hanya menggunakan kaos dan celana bahan nya. Aku tak menghiraukan ayah. Aku tetap melanjutkan sarapan ku. Ayah pun duduk di hadapan ku dan mengambil lauk yang telah di masak ibu ke atas piring nya yang sudah terisi oleh nasi. Aku dengan cepat menghabiskan sarapan ku. Entah, aku merasa seperti aku tak nyaman sekali jika makan hanya berdua dengan ayah. Aku pun sudah selesai dengan sarapan ku. Lalu, aku langsung meminum s**u yang telah di buatkan oleh ibu tadi. Kemudian, aku membawa piring dan gelas makan ku ke wastafel. Aku taruh semuanya di sana. Nanti, ketika aku sudah pulang sekolah baru aku akan membersihkan semua nya. Aku pun mengambil tas sekolah ku yang ku taruh di sebelah kursi yang ku duduki untuk makan tadi. Aku berjalan ke rak tempat aku taruh sepatu sekolah ku. Dan aku pun memakai nya di kursi depan tv. Aku melirik ayah yang masih tetap makan. Bahkan, aku melihat ayah menambah secentong nasi ke atas piring nya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat nya. Setelah, aku mengikat tali sepatu ku. Aku pun berjalan ke arah ayah kembali untuk berpamitan.        "Yah... Aku pamit berangkat sekolah sekarang ya," ucap ku. Ayah yang sedang makan pun menoleh ke arah ku.        "Eh Aruna, sini dulu coba," ucap ayah memerintahkan aku untuk mendekati diri nya yang berada di meja makan. Aku pun menuruti perintah dari nya. Ada apa ya? Tak biasanya ayah ingin mengucapkan sesuatu. Memang ayah memiliki keperluan sama aku? Biasanya ayah tak terlalu mempedulikan keberadaan ku.         "Ya? Ada apa ayah?" tanya ku ketika sudah berada di dekat nya. Posisi ku berada dekat kursi seberang ayah makan. Ayah tak langsung menjawab pertanyaan dari ku. Ia minum terlebih dahulu.         "Ehm! Kau.... Ada duit?" tanya ayah langsung kepada ku. Aku pun terkejut mendengar pertanyaan dari nya. Kok tiba-tiba ayah menanyakan aku ada duit atau tidak? Dan tidak biasanya ayah bertanya seperti itu kepada ku. Aku langsung berpikir ucapan ibu waktu itu. Ibu mengaku bahwa ia yang membeli makanan yang sebenarnya aku beli itu. Apa ini alasan ibu berbohong? Aku rasa iya, itu alasan ibu berbohong. Pasti jika ayah tahu kalau aku sedang memegang duit banyak pasti ayah akan meminta duit kepada ku. Aku pun berdehem kecil, agar aku tidak terlihat berbohong dengan ayah. Aku harus bicara dengan lancar dan tegas, agar ayah yakin bahwa aku tak berbohong kepada nya.         "Aku tak ada duit ayah," jawab ku dengan tegas. Ayah menatap ku dengan intens.        "Benar? Kau tak berbohong kepada ayah?" tanya ayah lagi dengan ekspresi wajah ayah yang seperti sedikit tak mempercayai jawaban dari ku tadi. Aku memasang ekspresi yang sangat-sangat meyakinkan bahwa aku tak berbohong.         "Iya ayah, benar," entah apa yang ada di pikiran ayah. Ayah diam saja. Dan tiba-tiba ayah langsung menyuruh ku untuk pergi berangkat sekolah sekarang.        "Yaudah, sana kau berangkat. Nanti kau telat," tanpa pikir panjang lagi, aku menjulurkan sebelah tangan ku untuk bersalaman kepada ayah.        "Aku pergi ya ayah. Oh ya, jika ayah Ingin keluar nanti jangan lupa untuk kunci pintu rumah dan kunci nya letakkan saja di bawah pot bunga seperti biasanya," ucapku berpesan kepada ayah. Ayah pun hanya mengangguk saja. Aku langsung bejalan keluar rumah untuk pergi ke depan gang mencari angkutan umum yang akan mengantar ku ke sekolahan tempat aku menuntut ilmu. ---        "Kau sudah dapat seragam olahraga kan?" tanya ku kepada Duma yang berada di sebelah ku. Duma pun mengangguk dengan antusias.         "Baiklah, setelah selesai mata pelajaran ini, kita langsung ke toilet untuk ganti baju oke?"         "Okkay!!" tak lama bel pergantian jam mata pelajaran pun berbunyi. Setelah guru jam pertama mengajar di kelas ku pamit untuk keluar dari kelas ku, aku dan Duma langsung saja berdiri dari tempat duduk kami masing-masing. Kami berjalan sambil membawa seragam olahraga menuju ke toilet wanita. Ketika aku dan Duma sudah sampai di toilet wanita, kami masuk ke masing-masing bilik kamar mandi. Aku mengunci pintu kamar mandi yang ku gunakan untuk menggabti baju. Aku menggantungkan seragam olahraga ku. Lalu, aku membuka dengan segera semua baju seragam putih abu-abu aku dan ku ganti langsung dengan baju olahraga ku. Cepat-cepat aku mengganti nya karena, biasanya pak Fadli hanya memberikan waktu kurang lebih 20 menit untuk para siswi mengganti pakaian nya. Setelah aku selesai mengganti baju. Aku langsung keluar dari bilik kamar mandi yang aku gunakan. Hanya tersisa 4 orang saja yang sedang mengaca di kaca kamar mandi. Dan Duma belum terlihat. Huh! Lama sekali aank itu ganti baju aja. Sambil aku menunggu Duma untuk keluar dari kamar mandi nya aku merapihkan rambut ku yang terkuncir sedikit acak-acakan. Sampai, 4 orang siswi teman kelas ku sudah pergi pun, Duma masih saja belum keluar. Sedang apa ia? Apa ia sedang buang air besar? Aku pun berinisiatif untuk langsung memanggil nya.        "Duma!!! Kau sudah selesai belum? Cepat lah pak Fadli sudah menunggu di lapangan sepertinya," ucap ku sambil berkacak pinggang menatap pintu kamar mandi yang di gunakan oleh Duma yang masih saja belum terbuka.        "Duma!!" Aku mengetuk pintu nya itu. Tak lama Duma pun langsung membuka pintu kamar mandi nya dengan rambut yang sudah di kuncir kuda seperti ku.         "Lama sekali kau ini," gerutu ku. Duma hanya menyengir saja.        "Maaf, tadi aku sedikit ribet mengganti baju nya, kau sudah selesai?" tanya Duma. Aku hanya menghela napas mendengar nya.        "Udah daritadi Duma, sudahlah ayo cepat kita harus pergi ke lapangan, jika kita telat datang yang ada nilai kita nanti di kurangi oleh pak Fadli," ucap ku sambil menarik tangan Duma untuk keluar dari kamar mandi tersebut. Aku dan Duma pun berjalan cepat ke kelas untuk menaruh seragam putih abu-abu kami. Setelah itu, aku dan Duma berlari kecil menuruni tangga untuk pergi ke lapangan. Benar saja, pak Fadli sudah duduk di kursi yang ia bawa.          "Apa semuanya sudah lengkap?" tanya pak Fadli ke ketua kelas. Deni pun langsung menghitung anak-anak kelas yang sudah duduk rapih di bawah.         "Iya pak, sudah lengkap semua," jawab Deni.         "Ada yang sakit? Atau izin?" tanya pak Fadli lagi.         "Tidak pak, semua nya masuk," pak Fadli pun mengangguk. Dan langsung saja pak Fadli mengisi absensi nya. Setelah itu, pak Fadli menaruh buku absensi nya beserta pulpen nya di bawah dekat kursi nya.        "Baiklah anak-anak semua. Hari ini kita akan olahraga voli ya. Kalian bapak beri waktu 20 menit untuk berlatih sebelum pengambilan nilai. Oiya pak ketua kelas, tolong ambilkan bola nya itu di pinggir lapangan dekat pohon itu," ucap pak Fadli memerintahkan Deni untuk mengambil bola voli di pojok pinggir lapangan. Deni pun segera bangun dan berlari mengambil bola voli itu.         "Ini pak," ucap Deni sambil memberikan bola nya ke pak Fadli. Pak Fadli pun langsung menerima nya.         "Nah ini, ada 2 bola ya. Yang satu untuk laki-laki dan yang satu untuk perempuan, jadi jangan rebutan. Mainnya gantian ya, nanti dua pulu menit lagi bapak kembali lagi,"         "Okee pakkk," jawab kami semua dengan kompak. Kami semua pun bangun dan langsung berlatih.        "Duma ayo!" ujar salah satu siswi di kelas ku mengajak Duma untuk latihan bareng.        "Ah duluan saja, nanti aku dan Aruna menyusul," ucap Duma. Aku menoleh ke arah nya. Menatap nya dengan sebelah alis ku yang terangkat. Duma yang merasa di perhatikan oleh ku pun langsung menatap ku bingung.         "Apa?" tanya nya dengan ekspresi yang polos. Aku pun hanya menggeleng.          "Aruna, ayo kita gabung dengan mereka. Kita latihan juga biar dapet nilai bagus,"          "Kau saja sana, aku di sini aja," Duma yang mendengar jawaban ku pun mengernyit bingung.         "Loh? Tadi pak Fadli suruh kita untuk latihan loh, nanti kau tak bisa kalau tidak latihan,"          "Aku sudah bisa Duma, sana kau saja latihan dengan mereka," ucap ku sambil mendorong lengan nya untuk segera bergabung dengan anak kelas lainnya.         "Tapi..."         "Udah sana, aku mau di sini saja,"         "Yaudah, aku ke sana dulu ya," ucap nya. Aku pun mengangkat jari tangan jempol ku menyetujui nya. Duma pun pergi dan bergabung bersama siswi lainnya. Aku menghela napas. Sebenarnya, aku ingin sekali bergabung dengan mereka. Tapi, mereka pasti sangat terganggu dengan kehadiran ku di sana. Mereka jelas saja tidak akan menerima keberadaan ku di dekat mereka. Jadi, daripada aku bergabung dengan mereka tapi tak di anggap oleh mereka, lebih baik aku memutuskan untuk tidak bergabung. Sebenarnya, aku sedih sekali. Sudah hampir 2 tahun aku sekelas dengan mereka, tapi karena aku adalah siswi satu-satunya yang miskin di kelas, mereka tidak ada yang mau berteman dengan ku. Mereka semua itu orang kaya, mereka semua itu memiliki orang tua yang rata-rata semua nya pengusaha. Jadi, mana ada yang mau berteman dengan anak yang memiliki seorang ayah penjudi dan pemabuk juga memiliki ibu yang hanya bekerja di cafe. Mereka jelas saja menolak dengan keras. Tapi, sekarang beruntung nya aku tuhan mengirimkan seorang teman yang baik sekali dengan ku. Terima kasih Tuhan, setelah sekian lama, akhirnya aku memiliki seorang teman di sekolahan ini. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD