Orang Ketiga 3

1061 Words
"Kaki lo masih sakit?" Tanya Marvin pada Dewi yang duduk diam di kursi mobil samping nya. "Udah kurang," jawab Dewi tanpa menatap pria di samping nya. "Lo marah?" Tanya Marvin melihat sikap Dewi. Gadis yang sedang menatap jalanan mengalihkan tatapan nya pada Marvin bingung "marah?" Beo nya. "Ngapain gua marah?" Tanya nya lagi dengan bingung. "Kirain," Marvin mengangguk. "Gua sebagai sahabatnya Mona kasih tau lo jangan sampai buat dia sakit hati," ucap Dewi tiba-tiba. "Maksud lo?" "Jangan mentang-mentang kalian LDR lo bisa seenaknya." "Seenaknya gimana?" Tanya Marvin bingung. "Ya gitulah pokonya jangan macem-macem," Dewi menunjuk Marvin dengan mata melotot. Sambil menyetir mobil Marvin tertawa kecil mendengar perkataan Dewi. Bukan perkataan nya sih melainkan ekspresi gadis itu yang sangat lucu. "Kenapa?" Tanya Dewi heran melihat pria di samping nya yang sedang tertawa renyah sehingga matanya menyipit. "Gua baru sadar mata lo kecil, sipit lagi," Dewi tertawa. Sekarang Marvin menatap Dewi bingung dengan tawa yang sudah berhenti. Tanpa sadar bibir pria itu tertarik ke atas melihat Dewi yang tertawa membuat pipi gadis itu merona. "Dari pada mata besar," Marvin membuang muka setelah mengatakan nya. Tawa Dewi reflek terhenti mendengarnya "lo ngatain gua?" "Ngerasa?" "Yaiyalah. Siapa lagi di dalam mobil ini selain gua sama lo," Dewi melirik Marvin dengan mata tajam. "Turunin gua di sini," Dewi berkata dengan pelan. Marvin langsung menoleh menatap Dewi terkejut "lo marah?" "Turunin sekarang," desak Dewi. "Sorry," ucap Marvin lalu menghentikan mobil nya di depan sebuah restoran. Dewi langsung turun setelah memakai kembali slinbag nya. Marvin yang melihat Dewi turun ikut turun menghampiri gadis itu. "Lo beneran marah?" Tanya Marvin yang berjalan di samping Dewi masuk ke dalam restoran. Dewi menoleh pria di samping nya "ngapain ikut turun?" Tanya Dewi. "Lo ga marah?" Tanya Marvin lagi. "Ngapain juga gua marah?" Dewi menatap pria itu dengan gigi bergemelutuk geregetan. "Terus kenapa lo minta turun?" "Gua laper," jawab Dewi dengan pelan karena capek dengan pertanyaan pria yang mengenakan kaos hitam itu. "Oh." Dewi duduk di salah satu kursi samping dinding diikuti Marvin yang duduk di hadapan nya. Tidak lama kemudian Marvin bangkit meninggalkan Dewi yang menatap pria itu bingung. Tetapi ketika melihat barang pria itu ada di atas meja Dewi merasa mungkin Marvin ke toilet. Sembari menunggu pesanan mereka yang sudah di pesan oleh Dewi baru saja ia celingak-celinguk menatap sekeliling restoran yang sangat ramai. Tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar. Dewi langsung melihat ponsel hitam milik Marvin yang ditinggal pria itu pergi. Gadis itu tanpa pikir panjang langsung menggeser layar hijau yang tersedia setelah melihat nama Mona di sana dengan emoji love yang sangat banyak. "Byyy," rengek Mona. Dewi yang mendengar suara Mona yang lucu tertawa pelan "kenapa by?" "Eh Dewi?" Kejut Mona. "Iya ini gua," ujar Dewi sambil menatap Marvin yang berjalan mendekat. "Marvin mana Dew?" Tanya Mona. "Lo udah sampai?" Tanya Dewi tidak menjawab pertanyaan Mona. "Iya. Gua sekarang lagi rebahan gara-gara kecapean beresin kamar di sini," keluh Mona. Terlihat gadis itu sedang memeluk guling. "Duh kasian banget sahabat gua," ledek Dewi. "Marvin mana Dew?" Tanya Mona yang kedua kalinya. "Ke toilet. bentar lagi balik," Dewi menatap Marvin yang menarik kursi di depan nya. "Nih Mona nelpon," Dewi menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya. "Baby," panggil Mona merengek. Dewi yang mendengar suara sahabatnya tertawa. Marvin menatap Dewi datar. "Kenapa?" Tanya Marvin. "Kamu yang kenapa?" Tanya Mona kesal. "Ponsel aku lowbat," jawab Marvin membuat Dewi menatap pria itu memicing karena tadi ia tidak sengaja melihat baterai ponsel Marvin yang masih banyak. "Iya ga gitu lagi," Marvin menjawab dengan pasrah karena mendengar omelan pacarnya. "Makasih," ujar Dewi kepada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka. Marvin yang melihat menu kesukaan nya ada di hadapan nya menatap gadis di depan nya bingung. Sampai-sampai pria itu tidak lagi mendengarkan Mona yang mencak-mencak sendiri karena tidak didengarkan. Ia meletakkan ponsel nya ke meja setelah mengakhiri panggilan secara sepihak. "Lo yang pesanin ini?" Tanya Marvin. Dewi mengangguk tanpa menatap pria di depan nya. "Lo tau darimana makanan ini?" Marvin masih bingung. "Lo kenapa aneh banget dari tadi nanya-nanya hal yang ga penting," tanya Dewi aneh. "Ini penting," nada bicara Marvin naik satu oktaf. Dewi yang mendengarnya terkejut "dari kotak makan di apartemen lo," jawab gadis itu pelan. "Makasih." Gara-gara insedin keran tadi membuat mood Dewi memasak menjadi hilang. Alhasil gadis itu meminta Marvin mengantarnya pulang saja karena juga kakinya yang sakit dan sedikit memar. Dewi menatap pria itu bingung sebelum melanjutkan kembali menikmati makanan nya dengan suasana hening di antara mereka. Setelah mengantar Dewi pulang ke rumah nya, Marvin langsung kembali ke apartemen nya. Sesampai nya di apartemen pria itu langsung menuju dapur melihat kotak sampah nya yang hampir penuh dengan kotak makan makanan kesukaan nya. Ia langsung duduk di kursi sambil memijat kening nya pelan. Bunyi pintu terbuka membuat pria itu langsung mengalihkan pandangan nya ke arah luar. Seorang pria tinggi mendekatinya dengan muka masam. "Gua capek Vin." Marvin yang mendengar perkataan sahabatnya itu tertawa "sabarlah Des." "Lama-lama pala gua gundul," keluh Desta. "Nio mana?" Tanya Marvin mencari keberadaan sahabatnya yang satu itu. "Lagi ketemu klien dia." Marvin kembali tertawa mendengarnya. Lucu saja ketika kedua sahabatnya mengambil alih perusahaan nya yang ia bangun sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya. Setiap malam selalu saja mereka datang ke apartemen nya mengeluh capek mengelola perusahaan besar yang sedang berkembang pesat di bidang kuliner itu. "Gua pengen pingsan," Nio berlari menghampiri Marvin dan Desta. "Pingsan aja sono," ujar Marvin. "Asli Vin lama-lama kita berdua gila ngurus perusahaan lo," Nio menatap Marvin dengan wajah menyedihkan. "Kalian cuma belum terbiasa." "Gua sama Nio aja pusing ngurus perusahaan lo gimana sama lo yang ngurus perusahaan raksasa punya bokap lo sendiri?" "Cuman masalah waktu. Kalian belum terbiasa," Marvin menatap tempat sampah nya yang penuh. Tubuh Nio meluruh kembali ke sofa mendengar perkataan Marvin "nunggu kebiasa nya kapan Vin?" "Daripada lo berdua jadi pengangguran," ucap Marvin pedas. Desta menggaruk kepalanya yang tak gatal mendengar perkataan Marvin yang ada benar nya juga. Nio memegang kedua bahu Marvin "gimana kalau kita minum-minum dari pada lo galau mikirin Mona," ajak Nio yang disetujui oleh Desta. Marvin menatap jam dinding yang menunjukan pukul tujuh malam lewat beberapa menit lalu mengangguk mengikuti ajakan Nio. Di dalam mobil perjalanan menuju bar langganan mereka sejak SMA Desta beberapa kali menatap sahabatnya itu yang terlihat sedikit murung. "Galau gara-gara ditinggal Mona?" Tanya Desta pada Marvin. Marvin menggeleng membuat Desta dan Nio menatap sahabatnya bingung "terus?" Tanya Nio. "Gua bingung sama diri gua sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD