Bab 4

2440 Words
BAB 4 HAPPY READING *** Tidak sah rasanya jika kebahagiaan yang ia rasakan, tidak ia ceritakan dengan sahabatnya. Feli menatap ke arah layar ponsel ia mencari nomor sahabatnya Ocha. Siang begini, sahabatnya itu tidak kemana-mana selain di rumah mengurus anak sambil menunggu suami suami pulang kerja. Biasa sahabatnya itu susah di hubungi, karena Ocha dan Damian memiliki hobi traveling. Feli meletakan ponsel di telinga, suara sambungan terdengar, ia menunggu beberapa detik, suara sambunganpun terangkat, “Iya, Fel,” ucap Ocha di balik speaker ponselnya. Feli tersenyum mendengar suara sahabatnya di sana, “Lo lagi apa?” Tanya Feli. “Enggak lagi ngapa-ngapain sih, lagi di kamar aja.” “Anak lo mana?” “Lagi tidur di kamarnya. Tumben lo nelfon gue, ada apa?” Tanya Ocha to the point, karena tidak biasa sahabatnya ini nelfon siang-siang seperti ini. “Gue mau cerita sama lo.” “Cerita apa?” Tanya Ocha penasaran. Feli menarik nafas, “Tapi janji lo jangan shock.” “Oke.” “Gue mau nikah sama Andre.” Ocha menutup mulutnya dengan tangan, ia tidak percaya sahabatnya Feli akan menikah. Padahal Feli salah satu wanita yang memikirkan secara matang tentang pernikahan. Bahkan dia pernah memberi khotbah bahwa dirinya tidak akan menikah, karena katanya menikah itu haanyalah salah satu cara mempersulit hidup. “Demi apa! Lo mau nikah sama Andre?” Teriak Ocha. Ocha tahu bagaimana perjalanan cinta Feli dan Andre. Mereka sudah pacaran dua tahun lamanya, mereka berdua berperan penting dalam hubungan dirinya dan Damian dulu. “Demi gue sendiri lah,” Feli tertawa. “Kapan kalian lamaran?” Tanya Ocha penuh semangat. “Mungkin Minggu ini.” “Wahh, selamat ya beb. Akhirnya hari-hari yang ditunggu terjadi juga. Lo tau nggak? Gue tuh dari dulu berharap lo nikah.” “Iya nih, rasanya tug deg-degan gitu. Kayak nggak nyangka aja gue mau nikah.” “Terus-terus Andre, gimana?” “Andre dari tahun kemarin emang ngajak nikah. Cuma gue belum siap, sekarang gue udah siap, well akhirnya kita putuskan untuk berkomitmen.” “Emangnya lo siap?” Tanya Ocha meyakinkan sahabatnya yang memutuskan untuk menikah. “Iya, gue siap.” “Lo cinta kan sama Andre?” “Cinta banget lah, kalau nggak cinta, kita nggak mungkin tinggal bareng.” “Good, gue seneng akhirnya lo sama Andre mau nikah.” “Gue juga seneng tau.” “Yang lagi seneng, mau lamaran,” Ocha tertawa girang. Feli ikut tertawa, “Iya, nih seneng banget gue. Deg-degkan tau nggak sih.” “Pastinya.” “Lo di kantor?” “Ini, ini di kantor bentar, ada kerjaan gitu.” “Lo mau apa dari gue, buat lamaran nanti?” Tanya Ocha. “Apa aja, terserah lo.” “Ah, lo gitu deh.” Feli mendengar suara ketukan, ia memandang seorang wanita di sana. Ia tersenyum kepada wanita itu, dia adalah admin nya di kantor. “Siang bu.” “Siang juga” ucap Feli, wanita mendekatinya di tangannya memegang maps berwarna bening. “Ini laporan yang ibu minta kemarin.” “Terima kasih.” Feli melihat laporan penjualan kain pada bulan lalu, penjualannya sangat baik. Bisnis kain yang ia geluti banyak diminati orang di luar sana. Ia selaku pemilik konveksi pakaian tentu saja mencari bahan yang berkualitas. Andre mengajarkan pentingnya untuk mempelajari seluk beluk di dalamnya sebelum memulai usaha ini. Dengan demikian ia bisa menyesuaikan produk dengan permintaan pasar, agar perputaran modal lebih besar. Itu semua berkat sang kekasih, hingga ia bisa berada di titik ini. “Ocha, udah dulu ya, gue kerja dulu.” “Iya beb,” sambungan telfonpun terputus begitu saja. Feli memandang adminya pergi meninggalkan ruangannya. Ia melihat laporan penjualan bulan lalu. Karena ia ingin tahu kebutuhan target pasar seperti apa. Setelah bergelut di dunia ini, ia bekerja sama dengan beberapa desainer ternama di negri ini. Sejak saat itu, ia memiliki circle di kalangan desainer fashion. Ia mendengar ketukan kembali di balik pintu, ia melihat adminya di depan daun pintu. “Siang bu.” “Iya.” “Ada ibu Monika,” ucap sang admin. Tadi Monika sudah konfirmasi, bahwa dia akan ke sini, “Bentar lagi saya turun ke bawah,” ucap Feli, ia meletakan map nya di meja, lalu beranjak dari kursi. Monika adalah sahabatnya yang ia kenal semenjak bergelut di dunia ini. Monika itu lulusan fashion Raffles design institute Singapore, mengambil jurusan Fashion Merchanding. Namanya sudah mendunia karena busana hasil rancangannya di pakai Taylor Swift di video klipnya pada tahun lalu. Selebritas dalam negri dan luar negri juga sering menggunakan karyanya, bahkan BCL, Marion Jola, Taylor Swift, Khole Kardasihan hingga Nicole Scherzinger menggunakna karyanya. Feli turun ke bawah, ia memandang seorang wanita mengenakan dress berwarna putih di sana. Dia seperti biasa, tampak cantik. Beberapa detik kemudian pandangan mereka bertemu. Lalu mereka saling memberi senyum. Feli mendekati sahabatnya itu, dan mereka saling berpelukan. “Kangen banget sama lo,” ucap Monika melepaskan pelukannya. “Gue juga kangen sama lo,” ucap Feli tertawa lepas. “Cari kain?” “Enggak, cariin lo aja,” ucap Monika terkekeh. Monika memperlihatkan paperbag bertulisan New York, ia membelikan beberapa oleh-oleh untuk Feli dari Amerika. “Hersey Chocolate, buat lo.” “Thank you, beb,” ucap Feli, ia pernah makan coklat ini di Times Square rasanya sangat lezat. Kebetulan kemarin Monika ada kerjaan di sana, ia meminta Monika membelikannya. Di dalam nya tidak hanya terdapat coklat, namun juga cake dan minuman coklat yang dibeli langsung di Hervey’s Kitchen Bakery. “Banyak banget,” ucap Feli mengintip isi paperbag. “Biar lo bosen.” “Lo sibuk?” Tanya Monika, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 12.20 menit. “Enggak. Kenapa?” “Lo mau temenin gue nggak?” “Ke mana?” “Lunch aja sih, deket-deket sini. Kebetulan gue mau ketemu sama sepupu gue gitu.” “Sepupu lo, siapa? Yang mana? Cewek apa cowok?” Tanya Feli penasaran. “Cowok, namanya Tobias, dia baru balik dari New York. Maklum dia itu super sibuk banget, kebetulan ada kerjaan bareng dia. Jadi kita ketemuan di sini aja, kebetulan kantornya daerah sini.” “Sekarang?” “Iya.” “Gue ambil tas dulu ya.” “Oke.” Monika menatap Feli meninggalkannya ia menatap ke arah rak berisi kain-kain yang dipajang di estalase. Ia mendengar ponselnya bergetar, “Tobias Calling” ia menggeser tombol hijau pasa layar, ia letakan di telinga. “Iya, Tobi,” ucap Monika. “Kamu ada di mana?” Tanya Tobi, ia masuk ke dalam restoran Pizza Marzano di Senayan City, ia tidak melihat sepupu-nya di sana, karena jam makan siang mereka janjian untuk bertemu di restoran ini, untuk membicarakan hal bisnis yang akan mereka bangun nantinya. “Aku udah di Senayan City.” “Aku nggak lihat kamu di sini Monik,” timpal Tobi. Alis Monik terangkat, “Kamu udah di Pizza Marzano?” “Iya sudah, ini aku udah duduk di restorannya malah.” “Oke, sebentar lagi aku ke sana. Aku masih nungguin temen.” “Kamu ngajak teman?” “Iya. Kebetulan mampir ke gerai nya, aku ajak sekalian ke sana aja ya, kebetulan kangen banget.” Tobias menarik nafas, ia menyandarkan punggungnya di kursi, ia sebenarnya tidak terlalu suka jika pembicaraan bisnis mereka ada orang asing. Ia merasa bahwa sepupunya itu tidak professional dalam melakukan hal ini. “Ok,” gumam Tobi, lalu mematikan sambungan telfonnya. *** Tobias mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan restoran, ia duduk di salah satu table. Ia melihat ada beberapa tamu yang masuk. Restoran ini tempatnya tidak terlalu besar, terlihat padat karena bangkunya memiliki space tidak terlalu luas, jadi berasa full walau penghuninya tidak terlalu ramai. Tempatnya lumayan nyaman pemilihan tema nya juga menarik. Untuk pelayanannya sangat tanggap dan ramah. Ia memandang server mendekatinya, ia memesan Portobello & kale with truffle oil, mushroom dip & flatbread, dan minumannya ice lemomade. Server meninggalkannya setelah mencatat pesanannya. Ia menunggu sepupunya itu di sini, sambil menekuri ponselnya. Beberapa menit kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arah depan. Ia menatap sepupunya Monika di sana, dia tidak sendiri melainkan bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan celana jins high waist berwarna abu-abu, tang top berwarna putih yang dipadukan dengan blezer berwarna silver. Rambut panjangnya diikat kebelakang, di tangannya memegang handbag berwarna hitam. Dia terlihat sangat menarik, mungkin karena selera fashionnya bagus menurutnya. Ia memperhatikan dua orang wanita itu dari kejauhan, namun tatapannya tidak berhenti pada wanita yang mengenakan blezer itu. Wanita itu memiliki wajah yang menurutnya menarik, simetris, hidungnya mancung, bibirnya penuh sensual, dan kulitnya terlihat sehat. Makeup yang dikenakannya tidak berlebihan, dia tampak elegan. Ia tidak percaya, kalau ia memperhatikan seorang wanita sedetail ini. Monika melambaikan ke arah pria itu, “Itu sepupu gue, namanya Tobias,” ucap Monika. Feli mengalihkan pandangannya ke arah depan, ia menatap seorang pria mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna abu-abu. Pandangan mereka bertemu, ia tidak tahu siapa yang pria itu tatap, antara dirinya atau Monika. Namun ia merasa kalau bahwa pria itu memandangnya dengan intens. Dia memiliki rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Ia akui dia memiliki wajah rupawan terlebih postur tubuhnya sangat porporsional. Feli mengikuti langkah Monika masuk ke dalam restoran. Pria itu berdiri tanpa senyum, namun ia merasa bahwa pria itu masih memperhatikannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah samping, agar pikirannya bisa teralihkan. “Maaf ya, aku baru datang. Tadi ke bawah dulu, ketemu Feli.” “Iya, tidak apa-apa, lagian baru datang juga,” ucap Tobias. Tobi menatap Feli, akhirnya ia bisa melihat wanita itu dari jarak dekat. Dia memiliki wajah yang rupawan, dan terlihat sangat menarik di matanya. Monik menatap Feli, tidak sah rasanya jika tidak memperkenalkan sahabatnya itu kepada Tobias, “Oiya, Fel, ini Tobias sepupu gue. Dia dulu tinggalnya di New York. Kamu tau nggak Grup Imtek?” “Stasiun TV swasta itu?” Tanya Feli. “Iya kamu benar. Tobias ini direktur utamanya, dan dia yang sekarang nerusin perusahaanya.” Feli tahu bahwa Grup Imtek adalah perusahaan yang menyediakan layanan komputer pribadi, telah berkembang menjadi kelompok perusahaan modern dan terintegrasi yang memiliki tiga divisi usaha utama, yaitu Media, Telekomunikasi dan Solusi TI, serta Konektivitas. Tobias mengulurkan tangannya kepada wanita itu, “Saya Tobias,” ucapnya tenang. Feli menarik nafas, tidak sepantasnya ia mengabaikan uluran tangan itu, “Saya Felicia, panggil saja Feli,” ucap Feli, ia merasakan tangan hangat itu menyentuh tangannya. “Senang berkenalan dengan anda.” “Sama-sama,” ucap Feli, ia merasakan tangan itu menggenggamnya dengan tekanan, ia lalu melepaskan uluran tangan itu. “Silahkan duduk,” ucap Tobias, mempersilahkan Monika dan Feli duduk di hadapannya. Mereka menatap server mengantar pesanannya berupa Portobello & kale with truffle oil, mushroom dip & flatbread, dan ice lemomade. “Saya tidak tahu, kalian mau makan apa. Silahkan pesan lagi, saya hanya memesan ini,” ucap Tobias menjelaskan. Monika memandang server, karena ke datangannya di sini, ia ingin memesan rivoli spinach dua untuk diirnya dan Feli. Tidak lupa menambah minuman ice lemomade. Setelah itu server minggalkan area table. “Jadi gimana?” Tanya Monika memandang Tobias, rencananya mereka akan membangun bisnis F&B dalam waktu dekat. Akhir-akhir ini bisnis F&B cukup populer, jadi mereka akan mencari peluang baru. F&B adalah bisnis kuliner yang dapat dirintis oleh siapa saja dan bahkan modal kecil sekalipun. Mereka ketahui bahwa jenis usaha ini dapat menghasilkan keuntungan besar asalkan selalu menjaga kualitas, cita rasa dan kebersihan. “Kamu mau yang seperti apa?” Tanya Monika. “Aku mau seperti restoran Prancis pada umumnya, seperti kita lihat di Paris. Seperti Pierre, Loewy, Le Quartier,” ucap Tobias memberi opsi dan contoh. Monika tahu kalau keinginan Tobias adalah bentuk restoran mewah, “Berdua?” “Menurut kamu?” “Satu orang lagi.” “Oke. Felix pasti mau. Nanti buat grup prusahaan baru saja,” ucap Tobias memberi usul, ia memakan makanannya dengan tenang. “Oke, kamu lebih paham denganini.” “Terus, legalitas bagaimana?” Tanya Monika, karena selama ini ia hanya menggeluti hanya dunia fashion saja. “Nanti aku suruh orang legal yang ngurus semua.” “Pengelola?” Tanya Monika. “Kita perlu cari chef yang langsung dari Prancis, aku ingin kualitas yang baik, dan cita rasa yang benar-benar sama di negara asalnya,” gumam Tobias. “Setuju sama kamu,” ucap Monika. Beberapa menit kemudian pesanan Monika dan Feli tersaji di meja. Feli yang menyimak pembicaraan mereka, sambil makan dengan tenang. Ia mendengarkan suara berat itu memberikan penjelasan bagaimana membangun bisnis ini. Dia terlihat sangat lugas dalam menjelaskannya, dan tentunya dengan pemikiran yang matang. Ia senang dengan penjelasan yang diberikan Tobias, dengan begitu ia paham bagaimana alur membangun bisnis ini. Tobias menjelaskan, bisnis F&B adalah bisnis yang tidak pernah kehilangan pembeli karena makanan dan minuman merupakan kebutuhan pokok. Terlebih, pengolahan bahan-bahan mentah menjadi masakan tertentu memungkinkan meraup keuntungan yang besar. Tiba-tiba, ponsel Monika bergetar, pembicaraanpun terhenti, wanita itu menatap ke arah layar ponsel. Wanita itu beranjak dari duduknya. “Aku ke toilet dulu ya, klien penting soalnya,” ucap Monika, ia lalu meninggalkan table begitu saja sambil berlari. Feli memandang Monika yang berlari menuju toilet mall. Ia hanya diam dan lalu menyesap ice lemomade. Feli tidak tahu akan berbuat apa. Ia ada di sini karena Monika bukan hal lainnya, ia memandang Tobias, pria itu juga diam menatapnya. “Kamu dan Monika berteman sejak kapan?” Tanya Tobias membuka topik pembicaraan, karena ada rasa penasaran cukup besar untuk mengenal gadis itu. Feli mengalihkan tatapannya ke arah pria itu, “Sejak dua tahun belakangan ini.” “Saya pikir kamu teman kampusnya dulu.” “Monika itu awalnya customer saya, dia berlangganan beli kain. Obrolan kita nyambung, akhirnya kita berteman,” ucap Feli menjelaskan. “Toko kain kamu di sini?” Feli mengangguk, “Iya, gerainya di bawah.” Tobias mengalihkan pandangannya ke arah jemari Feli, tidak ada cincin tersemat di sana, entahlah ia hanya ingin memastikan saja, apakah wanita itu available atau tidak. “Umur kamu berapa?” Tanya Tobias penasaran. “Seumuran Monika.” “28 tahun?” “Iya, bulan depan sudah 29.” Tobias melipat tangannya di d**a, ia memperhatikan Feli, “Kamu menarik,” gumam Tobias. Feli mengerutkan dahi, tatapannya lalu tertuju kepada Tobias, pandangan mereka bertemu. Ia tidak tahu apa makna ‘menarik’ yang di ucapkannya. “Maaf, saya sudah punya pacar,” ucap Feli begitu saja, ia hanya ingin pria itu tahu bahwa ia tidak available. Agar ada barrier di antara mereka. Tobias lalu tertawa, “Saya juga sudah punya pacar, Feli,” gumam Tobias. “Good, berhentilah memperhatikan saya.” “Saya hanya memperhatikan kamu. Salahnya di mana?” “Itu membuat saya tidak enak.” “Saya hanya menatap kamu bukan mengajak having s*x, Feli.” “What!” ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD