Chapter Dua

2232 Words
            Matahari semakin tinggi, rasa panasnya pun semakin menjadi-jadi. Aster lebih memilih untuk berada di dalam ruangan, mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakannya. Suara anak-anak yang tengah bermain di luar tak pernah menghilang sejak tadi pagi.             ‘Tok-tok’ suara ketukan terdengar dari luar. Seorang anak laki-laki berumur enam tahun tertawa dengan gigi jarangnya. Menanggahkan kepala ke arah lubang jendela yang lebih tinggi daripada tubuhnya sendiri.             Aster tak mengarahkan pandangannya ke bawah. Dia tampak mencari-cari sesuatu yang menimbulkan bunyi pada bingkai jendelanya tadi. Suara tawa kecil terdengar mengiringinya, namun Aster tetap tak melihat ke sumber suara yang sebenarnya sudah dia sadari sejak awal.             Aster menaruh tangannya pada lubang jendela. “Siapa yang mengetuk jendelaku tadi?” tanyanya kepada diri sendiri.             “Ba!” Anak lelaki itu berteriak, melompat sembari berusaha mengejutkan Aster yang bertengger di atasnya.             “Astaga, aku tidak menyadari kehadiranmu. Sejak kapan ada di situ?”             Anak lelaki itu hanya tertawa karena menganggap bahwa perempuan di hadapannya itu benar-benar tak menyadari kehadirannya. “Kami akan memasak kue di pinggir danau.”             “Oya? Sepertinya seru sekali.”             “Tentu saja!” ujar Anak itu dengan semangat. “Kamu mau ikut?” ajaknya.             “Hmm, sayang sekali ada yang harus aku kerjakan untuk saat ini.” Aster hanya beralasan agar tak perlu dipaksa memakan kue buatan anak-anak itu—yang dibuat dari tanah pinggir danau—seperti yang beberapa hari lalu dia rasakan. Alhasil baju putih kesayangan Aster harus direlakan karena warnanya tak pernah kembali seperti semula.             “Ayolah, kami sangat ingin kamu datang.”             “Mungkin lain kali aku baru bisa.”             “Tapi teman-teman ingin ada yang menemai kami bermain hari ini. Aku mohon!” anak itu memohon-mohon dengan wajah memelas.             Keinginan untuk menolak dalam benaknya sudah benar-benar bulat. Sayangnya, Aster tidak pernah tega melihat ekspresi sedih ataupun kecewa dari anak kecil. Anak lelaki itu tampak sangat mengharapkan kehadirannya dalam acara masak siang kali ini.             “Hey!” Anak itu menanggahkan wajahnya yang sempat tertunduk. “Sepertinya hari ini Johan sedang tidak sibuk. Kalau tidak salah tadi dia meminta agar diajak saat kalian memasak kue,” bisik Aster.             “Benarkah? Kalau begitu aku akan mengajaknya.” Entah kenapa anak kecil dapat dengan mudah melupakan perasaan yang dia rasa dalam seketika. Kini ekspresi kekecewaan yang semula tampak sudah terhapus sama sekali. “Apa Jo ada di rumahnya sekarang?”             “Iya, jam segini dia pasti masih ada di rumah.”             “Oke, aku akan mengajaknya!” sahut di anak dengan bahagia. “Dah, Aster!”             Aster melambaikan tangannya keluar jendela. Menatap sosok kecil yang tengah berlari menjauh dengan penuh semangat. Ingin sekali rasanya dia kembali ke seumuran mereka agar tak perlu peduli dengan panasnya mentari. Seperti apapun hawanya membakar kulit, dalam mata anak-anak hanya terlihat seperti bola lampu yang berseri-seri dengan riang. Mengiri langkah kaki kecil mereka yang berlarian ke sana-ke mari.             Aster ingat sekali dirinya saat berumur tujuh tahun. Berkuncir dua dan selalu pulang dengan sebuah luka baru pada tubuhnya. Miss Bella harus membeli persediaan plester dan obat merah tiap minggu. Karena persediaannya akan selalu dihabiskan oleh Aster seorang.             Luka-luka kecil sepertinya sudah menjadi hal yang biasa bagi Aster. Dia tidak lagi menangis meski mendapat luka gores yang bahkan mengeluarkan darah. Padahal teman-temannya yang lain berteriak karena khawatir, tapi si gadis yang terluka hanya tertawa, memamerkan giginya yang jarang.             Sejak saat itu, Amanda si gadis yang selalu tenang dimintai untuk mengawasi Aster oleh Miss Bella. Awalnya Aster dan Amanda hanya teman yang kebetulan tinggal di dalam satu panti. Mereka tidak saling mengenal dengan begitu dekat. Amanda terlalu menutup diri, kesulitan untuk berteman dengan yang lain. Akan tetapi, Aster adalah anak yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Dia sangat disukai banyak orang, meskipun sering membuat onar. Tapi pada dasarnya Aster merupakan anak yang baik, pandai, dan sangat aktif, bahkan terlewat aktif.             Sejak hari penugasan Amanda, Aster merasa sangat terganggu akan kehadirannya. Dia berusaha menghindari teman misteriusnya itu. Akan tetapi Amanda tidak pernah putus asa. Hingga suatu hari teman-teman Aster mengatakan bahwa Amanda adalah seorang penyihir yang sedang mengutuk Aster secara diam-diam. Mereka selalu mengejek Amanda yang terus mengekor pada Aster setiap saat.             Saat itu untuk yang pertama kalinya Amanda menangis dan berlari menjauh dari kawanan Aster. Anak-anak yang ada tertawa kegirangan, kecuali Aster sendiri yang terdiam memandangi sosok Amanda yang mulai menjauh. Dia bergegas berlari mengikuti si pelari yang berhenti di balik sebuah bangunan. Amanda terduduk dan kembali menangis.             Aster mengintip dari balik bangunan itu. Berjalan mendekat, lalu turut duduk di sampingnya. “Jangan dekati aku! Nanti kamu terkena sihir!” ujar Amanda merasa kesal.             “Jadi, kamu benar-benar penyihir?” tanyanya.             Amanda terdiam. Awalnya dia merasa Aster hanya ingin mengejeknya lagi. Akan tetapi dia tidak mendapati anak itu tertawa. Hanya wajah penuh keseriusan yang terlihat. “Kamu tidak takut meskipun aku seorang penyihir?”             “Jadi benar? Wah hebat! Aku ingin menjadi penyihir juga!” pinta Aster dengan penuh semangat. “Kamu bisa menjadikanku penyihir?”             Amanda terdiam, tidak menyangka Aster yang selalu menjadi juara satu di kelas memiliki pikiran polos seperti itu. “Aku mohon,” ucap Aster lagi.             “Iya. Aku rasa bisa.”             “Bagaimana caranya?”             “Pejamkan matamu!” Aster memejamkan mata sesuai instruksi Amanda. “Dan aku akan memegangi dahimu untuk mentransfer sebagian kekuatan. Aku akan melakukannya sepelan mungkin agar kamu tidak perlu merasa kesakitan.” Beberapa detik Amanda menempelkan tangannya pada dahi Aster. Lalu melepaskannya, meninggalkan sebuah bekas kemerahan pada dahi temannya itu. Amanda tertawa kecil. “Silahkan buka mata! sekarang kamu sudah menjadi seorang penyihir!”             “Terima kasih, Amanda. Sekarang kita berdua adalah pasangan penyihir yang tidak akan terkalahkan!” Aster berdiri sembari bertolak pinggang. “Apa aku bisa terbang atau menggunakan mantra?”             “Kita masih pemula, jadi belum bisa. Kata nenekku, ada banyak kekuatan yang tersebar di bumi ini. Apa itu di pojok ruangan, atau di sela buku, jika kita menemukannya, maka kekuatan kita akan bertambah!”             “Kita harus menemukannya, Amanda!”             “Ya, tentu saja.” Amanda tersenyum, sudah lupa akan kesedihannya yang lalu.             Sejak saat itu mereka berdua mulai berteman. Amanda masih tetap menjaga Aster namun kali ini tidak dengan cara sembunyi-sembunyi. Tapi teman-teman Aster masih terus mengatai Amanda sebagai seorang penyihir. Meski begitu, dia sudah tidak merasa takut, karena Aster pasti akan membelanya.             Aster menceritakan tentang pengangkatannya menjadi seorang penyihir, dan tugasnya untuk mencari kekuatan. Cerita tersebut seakan dapat menghipnotis semua temannya. Alhasil Amanda kerepotan karena banyak anak yang ingin dijadikan penyihir seperti Aster. Namun kabar baiknya, setelah itu, mereka sudah bisa menerima kehadiran Amanda.  ***             Aster tersenyum-senyum seorang diri mengenang hari itu. Sungguh pengalaman yang lucu sekaligus kenangan berharga dimana dia mulai bersahabat dengan Amanda. Mungkin sahabat baiknya itu pun masih mengingat hal tersebut hingga sekarang. Akan tetapi dia tidak tahu kenyataan yang sebenarnya terjadi.             Di hari itu, Aster merasa kasihan terhadap Amanda yang menangis. Tentu saja untuk ukuran Aster yang terbilang lebih cerdas dari anak seusianya tidak bisa percaya dengan mudah mengenai sosok penyihir. Dia hanya berpura-pura percaya untuk menghibur Amanda. Saat itu dia membuat Amanda mempercayai bahwa si Aster kecil percaya kepada penyihir, serta kekuatan yang diberikan kepadanya. Akan tetapi hal tersebut hanyalah sebuah kebohongan yang manis.             “Aster?” seseorang menyapanya yang tengah melamun.             Seorang gadis berambut cokelat pendek mendekat ke arahnya. “Hai, Lily.”             “Sedang melihat apa?” tanyanya sembari mencari-cari benda yang dilihat Aster.             “Ah, tidak. Hanya sedang menghirup udara segar. Tapi aku terlalu malas untuk pergi ke luar.” Gadis itu menjawab dengan senyumannya yang begitu manis. “Kamu sendiri mau pergi ke mana?”             “Aku ada janji.” Wajah gadis itu mendadak sedikit memerah, tampak malu. “Karena sedari kemarin aku sibuk. Hari ini Johan mengajakku berjalan-jalan.”             Sesaat Aster ingin sekali menampar dahinya sendiri. Ekspresinya mendadak berubah menjadi sedikit terkejut, dan merasa bersalah. “Ada apa, Aster?”             “Tidak apa-apa. Aku hanya teringat sesuatu. Kalau begitu hati-hati di jalan ya.”             “Iya. Terima kasih.”             “Lily!” Aster memanggilnya yang baru saja melangkahkan kaki beberapa kali. “Sampaikan permintaan maafku pada Jo, ya!”             Lily terdiam sejenak, tampak kebingungan. Akan tetapi dia hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya.             “Maaf, Jo,” ucap Aster pelan sembari menutup daun jendela.             Aster berjalan meraih sebuah gulungan panjang di salah satu sudut ruangan. Dibentangkannya benda itu di atas meja. Dua buah gambar pulau terpampang dengan sangat detail. Salah satunya bertuliskan Oakland, dan satunya lagi tentu saja Nibbana. Dengan keahlian melukisnya yang lumayan, Aster memetakan kedua kota itu dengan sebaik mungkin.             Setiap sore terkadang Aster sengaja pergi dengan motor terbangnya hanya untuk memandangi Oakland ataupun Nibbana dari atas langit. Sedikit demi sedikit dia menggambarkannya dalam secarik kertas secara kasar. Setelah itu barulah dia gambar ulang dalam peta yang sebenarnya.             Dua lembar kertas yang kecil dikeluarkan dari dalam tas. Bersama sebuah pensil, penghapus, serta penggaris. Aster memandangi lembaran kertas yang dipegang oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggosok-gosok dagu pelan.             Setelah merasa mantap untuk memindahkan coretannya ke dalam kertas besar, Aster memulai pekerjaannya. Suara goresan pensil terdengar halus sekali. Si pelukis tampaknya menggambar dengan sangat hati-hati agar tak melakukan kesalahan. Dia tidak suka jika kesalahan sekecil apapun akan mengganggu pekerjaannya itu.             Aster kini tengah melengkapi detail tiap bangunan besi di Oakland. Ditiap goresannya begitu memberikan perasaan nostalgia. Dia masih bisa mengingat dengan jelas tiap suasana pada tempat yang sedang digambarnya. Bau angin laut di jembatan, daway angin di atas menara lonceng sekolah, dentingan besi di tengah keramaian. Bahkan untuk pertamakali suara besi yang selalu dibencinya itu sedikit menimbulkan rasa rindu.             Salah satu tempat yang belum sempat digambarnya adalah panti asuhan. Aster menghentikan gerakan tangannya. Memandangi goresan kasar pada kertas kecil. Terakhir kali dia pulang ke rumah pertamanya itu sekitar satu bulan yang lalu. Kembali makan di ruangan yang sama, dan merasakan masakan Miss Belly yang lezat. Meski masih dengan menu yang sama, yaitu sup ikan dan roti, akan tetapi tak pernah Aster merasakan kelezatan yang teramat sangat saat memakannya tempo hari. Mungkin rasa rindu yang membuatnya begitu.             Aster segera menghentikan semua bayangan dalam kepala sebelum merasa semakin sedih. Sepertinya dia harus menengok keluarganya di Oakland dekat-dekat ini, pikirnya.             ‘Tok-tok’ suara ketukan dari luar jendela kembali terdengar. Aster terpaksa menghentikan kembali kegiatannya, padahal baru saja dia membuat sebuah garis lurus.             Dia berjalan dengan gontai menuju jendela. Mendorong daunnya agar terbuka. Akan tetapi suara benturan yang cukup keras langsung terdengar. Sepertinya daun pintu itu mengenai kepala si tamu. Lelaki yang menjadi korban itu mengusap-usap kepalanya sembari sedikit meringis kesakitan. Wajah Aster berubah, seakan dapat merasakan kesakitan yang sama.             “Alby?! Maaf.” Aster meraih kepalanya dan mengusap-usap bagian yang terbentur.             “Sepertinya jendelamu lebih baik dipasang ulang agar bisa membuka ke arah dalam,” ucap Alby.             “Lagipula kenapa kamu tidak masuk lewat pintu seperti biasanya?”             “Aku hanya ingin menengok sebentar.”             Aster memandangi pakaian Alby yang sedikit kotor. Tampaknya dia masih sibuk mengerjakan pekerjaan beratnya. “Istirahatlah sebentar. Kamu sudah bekerja sedari pagi, kan?”             “Sebentar lagi juga selesai.” Alby melirikkan mata ke arah dalam ruangan. Melihat peralatan menggambar Aster yang bergeletkan di atas meja. “Sepertinya kamu juga sedang sibuk ya?”             “Begitulah. Sebenarnya tidak, hanya sedang menyibukkan diri.”             “Ya sudah. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku, sementara kamu menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu kita bisa pergi bersama.”             “Oke,” jawab Aster sembari tersenyum. Alby mengecup dahi sang kekasih sebelum akhirnya pergi.             Aster kembali menutup jendela. Berjalan menuju meja untuk meraih pensilnya. Tampaknya kehadiran Alby cukup memberikan semangat untuk menyeleaikan peta tersebut. Kalau saja tidak ada gangguan lain yang datang.             Tak lama setelah ujung pensil Aster menyentuh kertas, suara ketukan kembali terdengar. Aster merasa sangat ingin marah dengan seketika. Dia membanting pensilnya ke lantai. “Apa lagi kali ini?” gerutunya kesal.             Langkah Aster menyentuh lantai dengan kasar. Dengan cepat didorongnya lebih kuat ke dua daun jendela, sengaja agar mengenai tamunya. Wajah seorang gadis yang tersenyum terlihat. Rasa kesal Aster masih bergelut dalam hati, akan tetapi dia tidak ingin ada orang tak bersalah yang terkena imbasnya. Dia segera menenangkan diri meski sedang tak bisa membalas senyuman gadis itu.             “Hai, Aster,” sapa Thalita.             “Ada apa?” tanya Aster dengan dingin.             “Aku akan memasak kue yang cukup banyak dan memerlukan bantuan.”             Lalu apa urusannya denganku? Sahut Aster dalam hati.             “Seharusnya Lily yang membantuku, tapi barusan kulihat dia sedang sibuk dengan hal lain. Dan kata Johan, kamu bisa membantuku.”             Ucapan yang telah disiapkan untuk menolak ajakan Thalita tertelan begitu saja di dalam tenggorokan. Tampaknya Johan berhasil membalaskan dendamnya pada Aster. Dia tahu kalau Aster tak ahli dalam memasak. Selama di panti dia tak pernah berurusan dengan semua hal yang ada dalam dapur. Semua hampir dikerjakan oleh Miss Belly. Setidaknya Aster masih lebih hebat membuat makanan lezat di dalam secarik kertas.             “Umm. Baiklah,” ujar Aster dengan sedikit terpaksa. Setidaknya kue yang akan kubuat asli dan bisa dimakan, dia berkata seakan Johan akan mendengarnya.             Aster bergegas menutup daun jendela, memakai sepatu dan berjalan keluar rumah menuju Thalita yang sedang menunggu.             “Tapi, sepertinya aku tidak akan banyak membantu. Aku tidak ahli dalam urusan dapur.”             Aster kira gadis di sampingnya itu akan tertawa mendengar pengakuannya. Tetapi dia hanya tersenyum. “Kalau begitu kamu akan segera mahir setelah ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD