Chapter Empat

2213 Words
            Matahari baru saja selesai mencuci mukanya. Bersiap untuk kembali berseri di pagi hari. Ayam-ayam bergegas keluar dari rumah untuk memulai aktivitas rutinnya membangunkan semua penghuni Nibbana. Akan tetapi seseorang sudah lebih dulu memulai kerja sejak mentari masih terlalu lelah untuk bergerak. Siapa lagi orang tersebut kalau bukan Aster. Meski hari ini dia tidak pergi ke makam Edy, tetapi dia tetap terjaga di tengah malam seperti biasa.             Suara gesekan pensil terdengar beriringan dengan kokokan ayam. Debu-debu kecil bekas hapusan berserakkan di atas lantai. Sebentar lagi peta buatannya akan selesai dengan sempurna. Dengan gambar panti yang sengaja dia gambar paling akhir.             "Yeah! Sempurna," ucapnya sembari bertolak pinggang. Memandangi hasil karya yang memakan waktu selama sebulan lebih itu. Tangannya kini dilipat di depan d**a. Satunya menopang dagu sembari berpikir. Dia memandangi gambar dalam peta dengan seksama.             Aster sedang memikirkan jalur untuknya memulai petualangan. Dengan segala pertimbangan, dia harus menentukan arah dengan hati-hati. Agar kejadian saat terbang dengan motor polisi tempo hari tak perlu terulang. Aster harus mengerti betul medan yang akan ditempuh, supaya tak perlu membuang-buang waktu dengan berlayar tanpa arah.             Tangannya menggerakkan pensil di atas peta. Akan tetapi ujungnya terangkat agar tak perlu mencoreng maha karyanya. Aster membayangkan sebuah segitiga di dalam peta, di mana tiap sudutnya terletak pada Oakland dan Nibbana. Sedangkan sudut satunya lagilah yang akan dijadikan tempat tujuan.             Aster beranjak dari depan meja. Berjalan menemui lemari kecil di samping tempat tidur. Satu persatu lacinya dibuka, lalu meraba-raba isinya. Dia mencari sebuah benda kecil, berbentuk lingkaran, dan terbuat dari besi. Akhirnya barang tersebut didapat dari laci paling bawah. Sebuah besi bulat berantai kecil tenggelam dalam genggaman. Segera saja Aster menariknya keluar dengan semangat. Meniup debu yang menempel di atasnya.             Sebuah kompas tua yang didapat dari gudang sekolahnya, akhirnya bisa terpakai. Bukan akademi militer, melainkan sekolah yang dia gunakan untuk belajar sebelum terlibat masalah. Saat itu dia tak sengaja melakukan ekspedisi rahasia menjelajahi gudang kecil di belakang sekolah. Sebuah ruangan tua yang usang. Aura menyeramkannya membuat tak ada siswa yang berani mendekat. Hanya saja rasa penasaran Aster selalu mendorong lebih kuat dibandingkan rasa takutnya. Meskipun harus terbatuk-batuk dan sempat beberapa kali terjatuh, namun Aster mendapatkan hadiah yang sebanding. Sebuah kompas usang dengan ukiran yang begitu indah. Sepertinya benda itu sudah dibuat sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Benar-benar benda antik dan langka.             Kompas itu ditaruh di atas peta. Tepatnya menutupi sebagian Nibbana. Aster memperhatikan jarumnya yang bergerak-gerak. Menunggu hingga benda itu berhenti untuk menunjukkan sesuatu. "Barat Laut, ya," gumamnya seorang diri.             Sepasang seputu boots kulit milik Aster bertengger di samping pintu. Menunggu kapan gilirannya untuk digunakan. Aster hanya memandanginya sembari berkata dalam hati. Tenang saja, sebentar lagi kamu akan menemaniku pergi.             Sebuah kaleng berbentuk hampir sama dengan kompas, diambilnya dari belakang lemari. Beserta sebuah sikat kecil yang lembut. Aster duduk di atas lantai, bersama dua benda itu juga sepatu boots-nya. Perlahan isi dari kaleng kecil tadi diusapkan pada permukaan sepatu menggunakan sikat. Mengelusnya perlahan, dengan sangat hati-hati. Mulutnya bersenandung, beriringan dengan nyanyian burung di luar rumah. Perasaan Aster benar-benar membaik sejak kemarin. Meski warna kehitaman terlihat jelas di bawah matanya.             "Aster!" suara Johan terdengar jelas dari luar. Kepalan tangannya mengetuk-ngetuk pintu. Tentu saja Aster bisa dengan jelas mendengarnya, karena posisi mereka hanya terhalangi oleh selembar kayu. Akan tetapi, dia tidak langsung menjawab panggilan itu. Karena nada suara yang terdengar agak sedikit mengandung kemarahan.             Apa Johan masih marah mengenai hal kemarin? Pertanyaan tersebut datang ke dalam pikiran Aster. Tidak ada alasan lain kenapa Johan bisa marah selain itu. Meski enggan membuka pintunya, tapi Aster lebih tak ingin menambah banyak masalah. Dengan hati-hati, dia buka kunci pintu, dan menarik kenopnya perlahan.             "Aster!" panggilnya dengan sedikit membentak.             "Ya? Ada apa, Jo?" Aster berusaha berbicara setenang mungkin. "Kenapa kamu marah?" tanyanya lagi.             "Kenapa aku marah? Kenapa kamu masih bertanya?"             "Ya, maksudku, aku tidak menyangka kamu akan marah hanya karena hal seperti itu."             "Tentu saja aku marah. Sudah hampir satu jam anak-anak menunggumu."             "Tapi, kemarin aku benar-benar sedang sibuk."             "Itu kan kemarin. Sekarang aku hanya melihatmu sedang bermesraan dengan sepatu boots itu. Mereka masih menunggumu di sekolah."             "Iya, iya aku akan..." kata-kata Aster tertahan di tenggorokan. Mendengar kata sekolah membuatnya sedikit tersentak. Ada hal yang sedang dia lupakan sejak tadi pagi. Hal yang lebih penting dari pada menyemir sepatu ataupun menggambar peta.             "Astaga aku lupa sama sekali tentang sekolah!" Aster segera membereskan barang-barangnya ke dalam sebuah tas dengan terburu-buru.             Hari ini adalah kali pertamanya untuk mengajar di sekolah dasar Nibbana. Aster merasa memiliki kewajiban untuk menyalurkan pengetahuan yang sempat didapat saat bersekolah di Oakland. Baru minggu lalu Johan mengajaknya untuk jadi tenaga pengajar. Dan hari ini dia akan terlambat pada hari mengajar perdananya.             "Lebih baik nanti kamu harus pergi meminta maaf pada kepala sekolah!"             "Iya, iya aku mengerti, Jo. Sekarang keluarlah, aku akan ganti baju!" Aster bergegas berlari ke arah Johan, mendorongnya ke luar rumah dan menutup pintunya. Setelah itu dia masih harus mengganti kaos yang dipakai dengan sebuah kemeja. Merapikan rambutnya, lalu mencuci muka sebelum berangkat.             "Apa sih yang kamu lakukan sampai-sampai melupakan hari penting ini?" gerutu Johan sembari melangkahkan kaki dengan cepat.             "Maaf, maaf. Aku mendadak sibuk belakangan ini."             "Sibuk apa? Bukannya yang kamu lakukan setiap hari hanya menggambar?"             "Iya, itu kesibukanku."             "Tapi tolong jangan buat aku harus menerima omelan Pak Kepsek!"             "Iya, iya. Aku kan sudah minta maaf."             Baru kali ini Johan yang selalu terlihat ceria menampakkan wajah kesalnya. Sedikitnya, Aster jadi merasa bersalah kepada sahabatnya itu. Karena bagaimanapun dia salah karena telah melalaikan sebuah pekerjaan penting.             Langkah kaki kedua orang tengah diburu waktu tersebut semakin cepat. Hingga tanpa sadar mereka tengah berlari, menuju sebuah bangunan sekolah yang sebenarnya terletak tidak terlalu jauh.             Geraman dari dalam perut pun sama sekali tidak Aster dihiraukan. Tidak ada waktu lagi meski hanya untuk sarapan. Aster lebih memikirkan kelancaran mengajarnya di hari pertama.             Perlahan, Aster semakin memperlambat hingga menghentikan langkahnya. Entah kenapa dia merasa sangat gugup saat berdiri di depan pintu sekolah. Keributan serta suara yang ditimbulkan oleh anak-anak pun terdengar dari tempatnya berada. Hal tersebut berhasil menambah kecemasannya. Bagaimana jika mereka tidak menyukainya? Atau tidak ingin memperhatikan saat dia memberikan pelajaran? Aster sangat ingin kabur dari tempat itu sebelum Johan memaksanya untuk masuk.             Terdengar suara pintu dibuka. Badan Johan sudah tertelan sebagian di dalamnya. Dia sedikit berbailk dan melambaikan tangan. "Ayo cepat, Aster! Mereka menunggu," ucapnya.             Gadis itu berjalan dengan pelan. Padahal hanya dibutuhkan sebanyak empat kali langkah kaki untuk masuk ke dalam. Tanah yang ada seakan berubah menjadi lumpur yang menjerat kakinya. Keringat dingin mengalir pada tubuh Aster.             Mata anak-anak yang ada langsung tertuju pada sosok guru baru mereka. Semua segera diam di atas kursinya masing-masing. Entah sejak kapan tatapan mata anak-anak yang ada terasa begitu menusuk d**a Aster. Tapi, dia tetap berusaha untuk tidak terlihat konyol dan sebisa mungkin menenangkan perasaannya.             "Selamat pagi," Johan mengucapkan salam.             "Selamat pagi!" seru anak-anak serempak.             "Seperti yang tadi sudah saya jelaskan. Hari ini kalian mendapatkan guru baru yang akan mengajarkan kalian tentang sejarah." Kelas menjadi sangat tenang dan penuh kecanggungan. Mungkin lebih tepatnya hanya Aster yang merasa seperti itu. "Aster, perkenalkan dirimu!" bisik Johan.             "Oke." Aster melangkah sedikit ke depan. Menatap semua anak yang ada. Jumlahnya sebanyak tiga puluh orang. Beberapa daripadanya adalah anak yang sering mengetuk jendela rumah Aster. Entah kenapa anak itupun tampak sangat menyeramkan kali ini, pikirnya. "Umm, halo semuanya. Nama saya Aster. Mulai saat ini saya akan menjadi guru kalian."             Keadaan menjadi kembali hening. Kepala Aster serasa kosong. Tidak ada kata-kata yang dapat diucapkannya lagi. Rasa gugup sudah menelan habis semua itu.             "Hai, Aster!" seorang anak lelaki yang biasa bertemu dengannya menyapa. Dia tersenyum. Membuat giginya yang ompong terlihat jelas.             "Hai, Aster!" kali ini anak berkepang menyapanya, sembari melambaikan tangan.             Tak beberapa lama, anak lainnya pun turut melakukan hal serupa. Memberikan senyuman manis dan membuat keadaan semakin mencair. Kelas menjadi semakin ribut, akan tetapi hal itu justru menghapus semua kegugupan dalam hati Aster. Dia sudah lebih bisa berbaur dalam suasana barunya.             "Kelihatannya mereka menyukaimu," bisik Johan. Hal itu membuat Aster senang. "Baiklah aku tinggal dulu. Nanti aku akan kembali jika waktu mengajarmu sudah habis. Selamat mengajar!" Johan keluar setelah menepuk pelan punggung Aster.             "Bu guru!" sahut anak laki-laki botak. "Hari ini kita akan belajar apa?" tanyanya.             Aster yang melupakan kali pertamanya mengajar tetntu saja belum sempat mempersiapkan apa-apa. Peta-peta itu menyita waktunya. Sebenarnya, tidak seperti itu kenyataannya, mengingat dia memiliki banyak sekali waktu luang.             Terpaksa untuk kali ini Aster membuat rencana dadakan. Dia akan mengajarkan apapun yang diingatnya.             "Apa yang pernah guru kalian terangkan mengenai sejarah?" Semua anak terdiam, saling berpandangan dengan temannya yang lain. "Belum pernah?" tanya Aster lagi. "Hmm, baiklah. Aku akan menceritakan mengenai manusia purba," ucapnya sembari menggusur sebuah kursi mendekat ke bangku muridnya.             "Apa itu manusia purba?" suara keingintahuan terdengar mewakili seisi kelas.             "Jadi, manusia yang tinggal jauh sebelum kita disebut sebagai manusia purba. Mereka belum mengenakan baju seperti kita, belum memiliki rumah seperti kita, bahkan hanya makan makanan sederhana yang didapat dari berburu. Karena mereka belum berpikiran semaju kita semua. Saat itupun ada saatnya di mana mereka tidak tinggal menetap di satu tempat, melainkan berpindah-pindah."             "Berpindah ke Oakland?" tanya seorang anak dengan spontan.             "Tidak. Pada waktu itu Oakland masih belum ada."             "Jadi mereka hanya berpindah di sekitar Nibbana?"             Aster sedikit tertegun memperhatikan wajah polos anak-anak yang duduk di hadapannya. Mereka bahkan tidak mengetahui bahwa dahulu bumi ini masih dipenuhi oleh daratan. Rasa miris dan sedikit kasihan begitu terasa dalam hati Aster, karena bumi yang katanya begitu indah tak dapat lagi dirasakan oleh anak-anak itu. Atau bahkan dia pun sedang mengkasihani dirinya sendiri.             "Jadi, dulu bumi ini masih dipenuhi oleh banyak sekali daratan." Aster mengeluarkan sebuah kertas besar yang selalu terlipat di dalam tasnya. Dibentangkanlah benda itu di depan kelas. Sebuah peta dunia yang sudah sedikit lapuk.             "Ini gambaran bumi kita pada dua abad yang lalu. Ada tujuh bagian daratan yang ada, di mana masing-masingnya disebut benua."             Semua anak antusias memandangi gambar yang baru pertama kali mereka lihat. Ekspresi kekaguman terpancar dari wajahnya. Seiring dengan banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benak mereka.             "Nibbana ada di sebelah mana?" Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dilontarkan pada Aster. Dia bingung harus menjawab seperti apa.             "Sejujurnya, saya tidak tahu. Saat ini semua daratan sudah lenyap. Bumi ini hanya dibalut oleh lautan semata. Dan daratan yang mereka sisakan hanyalah Nibbana ini. Tapi, aku pun tidak tahu tempat ini ada di bagian bumi sebelah mana. Bisa saja di sini, di sini, atau di sini," jelas Aster sembari menunjuk peta dengan telunjuknya.             Anak lain mengangkat tangan. "Kenapa bisa jadi tidak ada daratan selain Nibbana?" tanyanya.             Aster mulai menceritakan hal yang paling sering dia dengar dari guru monsternya di sekolah dulu. Tentang keserakahan manusia pada masa itu, ketidak peduliannya terhadap lingkungan, sehingga bumi menghukum mereka. Akhirnya, seperti inilah bayaran yang bumi ambil, dapat terbayang sebanyak apa yang dahulu mereka rebut darinya. Entah bisa disebut beruntung atau tidak, Aster tidak perlu merasakan hari-hari pembalasan itu. Sebuah cerita mengenai tsunami dahsyat di masa lalu selalu berhasil membuatnya merinding. Bencana hampir tak pernah henti-hentinya terjadi. Alhasil hanya beberapa orang yang dapat tetap melanjutkan hidup, dan bertahan dengan membangun Oakland. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan mereka hidup agar bisa memperbaiki kehidupan yang ada. Itu tandanya semua manusia telah diberikan kesempatan kedua.             "Tapi, aku pikir," kali ini anak perempuan yang tampak pintar berbicara. "Apakah benar-benar tidak ada tempat lain seperti Nibbana di bumi ini?"             "Apa para peneliti di Oakland tidak pernah pergi memeriksanaya?"             "Mungkin mereka terlalu takut kepada monster-monster yang ada di laut."             "Sepertinya begitu. Tapi aku jadi penasaran."             "Aku juga sama."             Anak-anak itu saling berdiskusi satu sama lain. Hampir melupakan keberadaan Aster yang sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jika anak-anak itu saja merasa ada tempat lain di atas bumi ini, perasaan Aster sudah lebih dahulu merasakannya. Keinginan untuk bisa menjelajah dan menemukan tempat itu semakin bertambah besar. Terutama dengan keberadaan orang tuanya yang sama sekali belum diketahui.             "Sudah kuputuskan!" sebuah teriakan menyadarkan Aster dari lamunan.             "Memutuskan apa?" tanya Aster segera.             "Jika sudah besar, aku akan pergi ke Oakland, dan menjadi seorang peneliti. Aku akan menjelajahi lautan untuk menemukan benua-benua yang hilang itu!" sahutnya dengan semangat. Teman-temannya yang lain bersorak dan bertepuk tangan. Sementara Aster tersenyum-senyum seakan melihat dirinya sendiri saat masih kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD