Bab 4

2001 Words
"Kenapa, Niel? Gak percaya, ya?" tanyaku lagi. "Nggak," jawabnya singkat. "Hufff... ya sudahlah, lupakan saja soal itu! Lo sekarang mau ke mana?" tanyaku. "Bukan urusan lo," jawabnya tajam. Beberapa detik kemudian ia kembali melangkah untuk menjauhkan diri dariku. Kali ini aku tak berniat mengejar. Spesies macam apa seorang manusia bernama Daniel itu? Sungguh baru kali ini aku melihat manusia dengan sifat dingin yang sudah memasuki stadium 4. Bahkan kalau kuingat-ingat, selama aku hidup di dunia ini, tak ada seorang laki-laki pun yang bersifat dingin kepadaku. Hanya Daniel seorang, satu-satunya lelaki yang mampu melakukan hal itu padaku. Aku tertawa kecil seperti orang gila ketika menatap Daniel yang melangkah pergi meninggalkan aku. Perbedaannya dari lelaki lain benar-benar membuatku makin penasaran dengan lelaki itu. Aku bahkan meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu saat nanti, sifatnya itu pasti bisa berubah karena aku. "Gue percaya, suatu saat nanti sifat dingin lo itu akan bisa gue ubah menjadi lebih hangat," ucapku seraya mengembangkan senyumanku. *** Aku harus berpisah lagi dengan Daniel dengan cara yang sangat tidak bagus. Pasalnya dalam dua kali pertemuanku dengan dia, hanya sifat dinginnya itulah yang kudapat dari dia. Aku tak tahu, kenapa baru sekarang aku mengetahui dirinya. Sudah hampir setahun aku sekolah di SMA Sakti Buana, tapi sepertinya selama itu pula aku tak pernah sekalipun tahu tentang Daniel. Baru akhir-akhir inilah aku mengetahuinya. Hari sudah semakin siang, dan tak kurasa sudah sangat lama aku meninggalkan pelajaran di kelasku. Keadaan di luar masih sepi. Tentu saja, karena ini adalah waktunya jam pembelajaran. Mungkin dari sekian banyak murid di sekolahan ini, cuma aku lah satu-satunya murid yang bebas berkeliaran di luar kelas pada waktu jam pembelajaran. "Shela!" Terdengar suara yang memanggil namaku seraya menggeram. Aku kenal sekali dengan suara itu. Suara perempuan yang cukup familiar di telingaku. "Eh, Bu Mirna. Ada apa, Bu?" tanyaku tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Ya, dialah Bu Mirna. Seorang guru yang mempunyai rekor paling banyak menghukumku. Hampir semua sifat yang ada pada diriku sudah ia ketahui. Terutama sifat buruk yang aku punyai. "Kamu tahu, ini masih waktunya jam pembelajaran?" tanyanya. "Jam apa, Bu?" tanyaku balik. Pura-pura d***u. "Jam pembelajaran," jawabnya ketus. "Waw, jam model terbaru ya, Bu? Setahu saya jam itu cuma jam dinding, jam tangan, jam...." "Shelaaaa!" sahutnya sambil menampakkan amarahnya. "Iya Bu, ada apa?" tanyaku. Sungguh aku tak sedikitpun merasa ketakutan. Sebuah tangan tiba-tiba menarik telinga kananku dengan kasar. Aku merengek kesakitan dan meminta agar sang pemilik tangan itu melepaskan tangannya dari telingaku. "Aduh, Bu. Lepasin, Bu! Maafin Shela, Bu!" pintaku. "Saya akan lepasin setelah kamu ikut saya," kata Bu Mirna. "Ke mana, Bu? Aduh," tanyaku sambil terus mengeluarkan suara kesakitanku. "Sudah, jangan banyak nanya!" jawabnya. Pasrah menjadi satu-satunya pilihan bagiku untuk menghadapi situasi seperti ini. Aku pun hanya bisa bergerak ke manapun arah kaki Bu Mirna melangkah. Kalau aku sampai melawan pergerakannya, maka telingaku lah yang akan menjadi korban. Tentu saja aku tak mau jika hal itu sampai terjadi. Aku benar-benar masih sayang dengan telingaku ini. Langkah kami terhenti di kala kami sudah sampai di dalam sebuah kelas, yakni kelas 10 IPA 3. Di dalam sana aku melihat puluhan murid yang kini sedang menjadikan aku pusat perhatian. Heh, itu membuatku sangat kesal. Mataku tak sengaja menangkap sesosok lelaki yang sedang duduk di bangku urutan kedua di deretan bangku paling kanan. Dia adalah Daniel, seorang lelaki dingin yang sangat membuatku penasaran. Sebenarnya aku bingung. Secepat itukah ia membersihkan seluruh toilet di sekolahan ini? Apa dia tak sungguh-sungguh mengerjakannya. "Murid-murid, kalian jangan sampai ada yang seperti anak ini. Waktunya pelajaran bukannya di kelas malah kelayapan," ucap Bu Mirna pada murid-muridnya. "Iya Bu," jawab mereka serentak. Akan tetapi aku tak bisa memastikan apa Daniel ikut menjawab atau tidak. Aku berdiri di depan banyak murid yang menatapku dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang menahan tawa, ada yang terkagum-kagum denganku dan ada pula yang menampakkan raut wajah datarnya. Aku semakin risih berada di tempat itu di kala seorang guru yang kukenal dengan nama Bu Maya masuk ke kelas itu. "Bu, titip anak ini, ya. Biarkan saja dia berdiri di depan sini sampai jam istirahat kedua nanti," ucap Bu Mirna. Sial! Ternyata aku sudah melupakan sesuatu. Ini bukanlah waktu bagi Bu Mirna untuk mengajar di kelas ini, melainkan ini adalah waktu baginya mengajar di kelasku. Memurut perhitunganku, jam pelajarannya sudah berlangsung sedari tadi. Pantas saja dia tanpa ragu langsung memberikan hukuman kepadaku saat ia tahu bahwa aku tak ikut dalam pembelajarannya. Namun kenapa harus kelas ini yang menjadi tempatku dihukum? Tempat di mana ada seorang Daniel yang menjadi salah satu penghuninya. Di saat Bu Mirna sudah keluar kelas, saat itulah aku harus merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Pasalnya, sorot mata mereka tak sedikitpun beralih dari memandangku. Apalagi sorot mata para lelaki yang disertai dengan senyuman-senyuman menjijikkannya. "Apa lo senyam-senyum?" bentakku pada seorang lelaki yang duduk di bangku paling depan. "Eh, enggak. Nggak apa-apa kok," ucapnya. Aku tak menanggapinya lagi. Lagipula dia juga tidak memberikan jawaban yang mengharuskanku untuk melakukan tanggapan demi tanggapan. *** Setengah jam berada di kelas itu rasanya aku sudah berada di dalam neraka. Bukannya apa-apa. Adanya sosok Daniel itulah yang membuatku menjadi sangat tidak percaya diri. Sekarang citraku sudah rusak di matanya. Setelah ini pasti ia akan menganggapku sebagai seorang siswi nakal yang tak seharusnya bersekolah di sekolahan favorit seperti ini. "Daniel!" panggilku. Ini adalah waktu istirahat kedua. Itu tandanya hukumanku juga sudah selesai. Aku sengaja keluar dari kelas itu sesaat setelah Daniel keluar agar aku bisa bertemu dengannya. Panggilanku tak disahut olehnya. Hanyalah tatapan dingin yang tak dapat kuartikan itulah yang menjadi balasan atas panggilan itu. "Lo jangan salah paham soal yang tadi, tadi itu...." "Gue gak peduli," sahutnya. Itulah Daniel. Seorang lelaki dengan sifat yang terus-terusan harus menguji kesabaranku. Dinginnya kata-katanya bahkan sampai menusuk ke hatiku, dan itu sudah terjadi berulang-ulang kali. "Lo kenapa sih, Niel, selalu begitu kalau sama gue? Gue ada salah apa sama lo?" tanyaku. Padahal sebenarnya hari ini adalah untuk pertama kalinya aku mengenal sosok Daniel, tapi di hari ini pula aku bersikap layaknya aku sudah mengenalnya sejak lama. "Lo nggak salah apa-apa," jawab Daniel. "Kalau gue gak salah apa-apa, kenapa lo segitunya sama gue?" tanyaku lagi. Tanpa menjawab apapun, ia dengan tanpa rasa berdosanya mulai melangkah untuk pergi meninggalkan aku. Aku meratapi kepergiannya dengan tatapan nanar. Untuk kesekian kalinya aku harus menerima hal seperti itu darinya. *** "Woi Shel, lo dari mana aja dari tadi? Kok sekarang baru muncul?" tanya Icha padaku tepat ketika aku masuk ke kelasku. "Habis dihukum gue sama Bu Mirna," jawabku. "Lah, kenapa jadi Bu Mirna, bukan Pak Handoko?" tanya Icha lagi. "Jadi gini...." Aku mulai menceritakan setiap kejadian yang tadi terjadi dengan sangat detail. Tak ada yang aku kurangi atau lebih-lebihkan. Sialnya, bukannya prihatin dengan nasibku, sahabatku malah tertawa mendengarkan apa yang aku ceritakan. "Nggak usah ketawa, Lo!" ucapku tajam. "Hahaha. Oke, oke," ucapnya menuruti permintaanku. Beruntungnya kini di kelas cuma ada aku dan Icha, serta makhluk bernama Dendi yang kini sedang menikmati hidupnya dengan cara tidur di deretan kursi yang sudah dijejernya dengan rapi. "Eh, ngomong-ngomong, Daniel itu siapa?" tanya Icha. "Sudah gue duga lo gak bakalan tahu. Daniel tuh anak kelas 10 IPA 3. Nanti aja deh gue tunjukin orangnya ke lo," jawabku. "Pacar lo, ya?" tanya Icha. "Ngarang aja lo. Ya bukanlah." Sebetulnya aku juga ragu akan kebenaran dari jawabanku itu. Di satu sisi aku seperti menyukai Daniel, tapi di sisi lain aku tak tahu apa itu rasa cinta atau cuma sekedar suka dan kagum. "Masa? Lalu kenapa lo mau menolong dia?" tanyanya. "Lah. Lo sendiri kenapa mau berduaan sama tuh orang di sini?" tanyaku balik sembari menunjuk ke arah Dendi yang sedang tertidur pulas. Pembalasan yang bagus dariku. Beruntungnya si Dendi sedang berada di sana untuk kujadikan bahan serangan balasan ke Icha. Dari sekian lama aku mengenal Dendi, inilah untuk pertama kalinya aku bersyukur atas keberadaannya. "Eh, jangan salah paham lo. Gue di sini gara-gara nungguin lo," jawabnya. "Masa? Jangan-jangan lo berdua pacaran, ya?" godaku. "Enak aja. Ya kali gue pacaran sama orang kayak gitu. Bungkus aja sono! Lagian dia cocoknya juga sama lo," balas Icha. Aku berpikir sejenak. Memang benar sih. Sebenarnya aku dan Dendi punya persamaan dalam hal sifat. Tak bisa kupungkiri bahwa aku pun sering tidur di kelas. Tak hanya itu, bahkan telah banyak kelakuan burukku yang telah terjadi selama ini. Namun aku tak terima jika aku dijodoh-jodohkan dengan dia. "Halah, ngeles. Sudah, bilang aja! Kapan kalian jadian?" tanyaku terus menggoda Icha. "Sialan lo!" umpatnya. "Loh, loh. Jangan marah-marah, nanti cepat tua. Kasihan Bang Dendinya ntar kalau tahu kekasihnya cepat tua," ucapku sembari tertawa kecil. Icha seperti sedang mengumpulkan emosinya untuk ia ledakkan bersamaan nantinya. Wajahnya yang memerah tanpa adanya senyuman yang terukir di wajahnya semakin meyakinkanku bahwa sebentar lagi sesuatu yang jauh lebih hebat dari bom nuklir akan meledak. "Shelaaaa!" teriaknya. Benar saja. Belum sempat aku mengakhiri pemikiranku, sebuah teriakan yang terdengar seperti dentuman keras pun keluar dari mulut seorang Alicha Saraswati. Refleks aku langsung melakukan pergerakan untuk menjauhi dia, dan di saat itu mataku tak sengaja menangkap sebuah kejadian yang menurutku sangat lucu. Kejadian di mana seorang Dendi yang sedari tadi tertidur pulas harus merelakan tubuhnya untuk berbenturan dengan lantai gara-gara mendengar teriakan Icha. *** Aku berjalan cepat sesaat setelah teriakan keras itu hampir merobek gendang telingaku. Kuingin segera menjauh dari Icha. Akan tetapi, tanpa kusadari ternyata dia masih bersikeras untuk mengejarku. Tak ada waktu lagi buatku menghindar. Hingga pada akhirnya ia pun berhasil mengejarku. "Shela! Awas aja...." "Syuuttt!" Aku memberi isyarat pada Icha agar ia diam. "Lihat itu!" tambahku sembari menunjuk ke suatu arah. Beruntung sekali diriku. Saat hal yang tidak aku inginkan akan terjadi, tiba-tiba nampaklah si Daniel yang berjalan seorang diri dengan raut wajah tanpa ekspresi. Jarak antara kami dan dia sebenarnya cukup jauh, tapi tak ada satupun penghalang yang bisa menghalangi pengelihatan kami dari sosok Daniel. "Itu yang namanya Daniel," ucapku. "Hah? Nggak salah, tu?" tanya Icha seolah-olah tidak percaya. "Ya nggak, lah. Emang kenapa?" tanyaku. "Nih maaf, ya. Masa laki-laki kumel kayak gitu lo sukai?" ucap Icha. "Dia itu laki-laki yang unik. Mungkin dari pandangan mata lo dia itu cuma seorang laki-laki kumel dan tampilannya acak-acakan. Akan tetapi gue percaya di balik semua itu sebenarnya ada sebuah hal yang sangat indah dalam dirinya," jawabku sedikit lebay. "Nah, jadi bener kan, kalau lo suka sama dia," tanya Icha. "Ha?" tanyaku bingung. "Tadi gue kan nanya, masa laki-laki kumel kayak gitu lo sukai? Dan lo ngejawab dengan tak ada satupun kata pembelaan untuk menyangkal bahwa lo gak menyukai dia," jawab Icha dengan sangat jelas. Bodohnya aku. Begitu mudahnya kah isi hatiku ini ditebak oleh orang lain? Tapi tidak. Seharusnya aku menganggap tebakan Icha itu salah, karena aku tak menyukai Daniel. Akan tetapi benarkah kalau aku tak menyukainya? Jujur aku masih sangat bingung dengan perasaanku sendiri. Mana mungkin diriku bisa dibuat suka dengan begitu mudah dan cepatnya oleh seorang lelaki seperti Daniel? Entahlah, kalau ini bukan cinta, lalu apa? Otakku seakan-akan mempunyai dua pemikiran yang berbeda. Sepertinya otak sebelah kananku mengatakan bahwa aku memang menyukai Daniel, tapi otak sebelah kiriku mengatakan bahwa aku tidak menyukai lelaki itu. Entah mendapat bisikan dari siapa, tiba-tiba mulutku bergerak untuk menciptakan senyuman hingga akhirnya sampai pada tahap tawa. Bagai orang gila, aku tertawa cengengesan walau sebenarnya tak ada hal yang lucu. "Kenapa lo?" tanya Icha. "Gak apa-apa, cuma pengen ketawa aja. Sudahlah, ayo ke kantin!" ajakku. "Eh, bentar dulu! Pertanyaan gue lo jawab dulu!" pinta Icha. "Pertanyaan yang mana?" tanyaku pura-pura lupa. "Jangan pura-pura b**o deh lo. Soal si Daniel, lah," jelas Icha. "Hmm... kalau emang gue suka sama dia, kenapa?" ucapku. Bersamaan dengan itu aku mulai melangkahkan kakiku untuk segera menuju kantin. "Hah, lo yakin? Apa yang lo lihat dari dia, sih?" tanya Icha. "Bagi gue, Daniel adalah seorang Pangeran yang telah ditakdirkan untuk gue. Pangeran Daniel dan Putri Shela," jawabku lebay. "Hahaha... Pangeran apaan? Mana sisi Pangerannya?" tanya Icha. "Sudahlah, Cha! Jangan meremehkan seseorang kalau suatu saat nanti lo gak ingin menyesal," sahutku. Tak kusangka ternyata Icha langsung terdiam karena itu. Kata-kata yang bahkan tak kupercayai bisa keluar dari mulutku itu ternyata bisa menembus masuk ke dalam hati si Icha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD