Bab 3

1998 Words
*** "Mbak Ika. Nasi pecel satu," pesanku pada sang penjaga kantin. Dia adalah seorang perempuan muda yang umurnya sekitar 23 tahun. Ika Maharani namanya. Ia biasa kupanggil dengan sebutan Mbak Ika. Cantik, anggun nan enak diajak ngobrol. Wajar saja jika tiap harinya banyak kaum lelaki yang datang ke kantin semata-mata hanya karena ingin menggodanya. "Lho, Shel, kamu gak masuk kelas?" tanyanya padaku. "Nggak, Mbak," jawabku santai. "Lah, bukannya sudah waktunya jam pelajaran?" tanya Mbak Ika lagi. "Itu bagi mereka. Kalau bagiku setiap detiknya adalah jam istirahat," jawabku sambil cengengesan. "Hmmm... dasar kamu ini. Dari dulu gak pernah berubah," ucap Mbak Ika. Ia sudah mengenalku sejak dulu. Bahkan sejak pertama kali ia menjadi penjaga kantin, menggantikan sang ibu yang sedang sakit keras hingga pada akhirnya pun ibunya meninggal. Sejak pertama kali ia berada di sini, aku sudah menganggapnya sebagai temanku sendiri. Akan tetapi aku juga tahu tentang bagaimana cara berteman pada orang yang lebih tua. Selisih usia 8 tahun mengharuskanku untuk bersikap sopan kepadanya. Karena itu pula dia tahu banyak tentang diriku. Hampir semua kelakuan tidak baikku selama di sekolahan sudah pernah ia dengar. Ya tentu saja ia mendengar hal itu dari orang lain. Mana mungkin aku menceritakan aibku sendiri pada orang lain. "Mbak Ika kenal nggak sama cowok dingin yang namanya, Niel?" tanyaku. "Niel siapa?" tanya Mbak Ika balik. "Entahlah. Pokoknya Niel, Niel gitu namanya," jawabku. "Ciri-cirinya?" tanyanya sambil tangannya yang terus bekerja membuatkanku nasi pecel. "Kumel, dekil, rambutnya acak-acakan. Tapi lumayan ganteng, sih," jawabku. "Oohh... Daniel?" Tak butuh waktu lama untuk berpikir, Mbak Ika langsung bisa menebak gambaran dari ciri-ciri yang kusampaikan. "Nah, itu," ucapku. Mendengar nama itu disebut, aku langsung teringat pada percakapan Pak Ratno dengan lelaki tersebut tadi. Pak Ratno sempat menyebut nama 'Daniel' dalam ucapannya. Hal itulah yang membuatku yakin bahwa tebakan dari Mbak Ika itu benar. "Memangnya kenapa dengan si Daniel?" tanya Mbak Ika yang sekaligus memberikan sepiring nasi pecel kepadaku. Aku tak langsung menjawab. Cacing-cacing di perutku seolah-olah sedang mengadakan demo besar-besaran agar aku segera makan. Kulahap saja makanan yang sudah tersedia di depanku itu. Rasa lapar menjadikan makanan sederhana itu terasa begitu nikmat di mulutku. Hingga tanpa aku sadari, aku sudah lupa pada tugasku untuk menjawab pertanyaan Mbak Ika yang tadi. "Oi, jawab dong! Memangnya kenapa dengan si Daniel? Nggak mungkin kan kalau kamu suka sama dia?" kata Mbak Ika. Uhuk! Uhuk! Kekagetanku membawa petaka untukku. Aku tersedak kombinasi dari nasi, kangkung, kecambah, tempe serta bumbu pecel yang aku makan. Sungguh memprihatinkan sekali nasibku. "Makanya pelan-pelan kalau makan!" tutur Mbak Ika sembari memberikan segelas air kepadaku. Aku meminumnya dengan cepat bagai seseorang yang belum minum seharian. Lambat laun akhirnya rasa sakit akibat tersedak itupun menghilang. "Mbak Ika sih, ngasih bumbu pecelnya kepedesan," ucapku menyalahkan. "Ah, masa? Perasaan sudah pas deh. Nggak terlalu pedes," sangkal Mbak Ika. "Makanya jangan pakai perasaan, Mbak!" ucapku sembari melanjutkan menyantap butiran nasi itu, membiarkan Mbak Ika yang masih bingung dengan cita rasa masakannya sendiri. Aku kembali teringat pada si Daniel. Niatku untuk mengintrogasi Mbak Ika tentang diri Daniel harus tetap aku laksanakan. Sungguh harus aku akui. Aku benar-benar penasaran dengan lelaki itu. "Oh ya, Mbak. Si Daniel tu orangnya kayak gimana, sih?" tanyaku. "Hmmm... setahu Mbak sih, dia itu pendiam. Nggak banyak bicara maupun banyak tingkah seperti kebanyakan murid di sekolahan ini. Tapi, Mbak rasa dia itu penakut. Buktinya saja sudah beberapa kali dia dibully sama teman-temannya, dia cuma diam, tak sedikitpun melawan," jawab Mbak Ika panjang lebar. "Ah, yang bener? Tadi aku lihat dia dipanggil ke ruang guru tu gara-gara ribut sama temannya," ungkapku. "Iya kah?" tanya Mbak Ika. "Iya," jawabku singkat. "Tapi yang Mbak tahu dia itu orangnya penakut. Mbak sendiri saja merasakan antara kasihan dan kesal sama dia. Masa seorang laki-laki dihina, dicaci maki, bahkan sampai diinjak-injak harga dirinya, tapi nggak ada perlawanan sedikitpun? Mbak juga pernah lihat, bahkan teman-teman perempuannya juga pernah menghina dia. Ngatain dia miskin lah, apa lah, tapi dia juga tidak membalasnya," ucap Mbak Ika panjang lebar. "Gitu ya, Mbak?" tanyaku memastikan. "Iya, Shel. Kamu kenapa nanyain dia? Nggak biasa-biasanya kamu peduli sama orang lain. Jangan-jangan kamu suka ya, sama dia?" goda Mbak Ika. "Nggak lah, cuma pengen tahu aja," jawabku. Untuk menghindari balasan introgasi dari Mbak Ika, akupun mempercepat makanku. Tak butuh waktu lama, akhirnya nasi pecel sepiring itupun kini sudah berpindah wadah. "Nih Mbak, duitnya," ucapku sambil memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah pada Mbak Ika. "Kembaliannya buat, Mbak?" tanyanya. "Enak aja. Kembaliannya nanti buat bayar kalau aku makan di sini lagi," jawabku sambil bersiap berjalan meninggalkan kantin. "Huuu... anak orang kaya kok pelit," ucap Mbak Ika yang berhasil menghentikan langkahku. Aku berbalik dan menatap perempuan cantik penjaga kantin tersebut. "Presiden Amerika yang jelas-jelas kaya raya aja nggak pernah ngasih duit ke Mbak Ika. Masa aku yang cuma berstatus sebagai anak orang kaya harus ngasih duit ke Mbak Ika?" bantahku. "Ya nggak sampai gitu juga kali, Shel," bantah Mbak Ika. "Hahahaha." Aku tertawa sembari melanjutkan langkahku untuk meninggalkan kantin. *** Bagai sedang berjalan di karpet merah, aku melangkahkan kakiku dengan santai tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Beberapa ruang kelas telah kulewati. Tatapan dari para penghuninya tak sedikitpun membuatku kehilangan kepercayaan diri. Malahan aku menganggap mereka adalah para rakyat jelata yang sedang menyaksikan seseorang yang penting di negeri ini. Godaan setan yang terkutuk membuat niatku untuk kembali ke kelas mendadak buyar. Terbersit di pikiranku untuk pergi ke rooftop sekolahanku hanya sekedar untuk menghindari mata pelajaran yang melelahkan otakku. Soal jika nanti aku diberi sanksi, itu urusan nanti, dan aku juga tidak peduli. Tanpa hambatan apapun, akhirnya aku berhasil mencapai rooftop. Langsung saja aku duduk dengan menyilangkan kakiku dan mulai melihat pemandangan kota Jakarta yang menyebalkan. Tiap hari pemandangannya selalu seperti itu. Macet dan polusi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi siapa saja yang berada di jalanan kota metropolitan. Aku benci keadaan ini. Rasanya aku ingin hidup di pedesaan. Pemandangan asri nan tanpa polusi itu benar-benar sangat aku idam-idamkan. Akan tetapi, takdirku yang harus menjalani kehidupan di tempat seperti ini juga tidak bisa aku tolak. Itulah suratan takdir yang harus kujalani. Semestaku kini sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa hari akan beralih dari pagi ke siang. Sang mentari juga sudah berubah menjadi ganas. Menyengatkan panasnya pada apa saja yang dapat ia jangkau. Langit kota metropolitan yang cerah. Tiada setitik awan pun yang nampak di atas sana. Dibanding dengan tadi pagi, hal itu berbalik 180 derajat. Mendung hitam di langit sana sudah tak terlihat lagi. Bahkan langitpun sedari tadi juga tak menumpahkan airnya ke bumi. Misterius sekali bumiku yang tua ini. Mendung belum tentu hujan, dan cerah belum tentu akan tetap cerah. Aku merasakan betapa sialnya aku hidup di zaman ini. Kemajuan teknologi ini malah mempersempit cara pandangku kepada semesta. Semesta seolah-olah hanyalah benda kecil yang jikalau pun ia hancur, itu tak akan berpengaruh sedikitpun padaku. *** Dari atas puncak tertinggi sekolahanku itu, aku bisa melihat segalanya yang tak dapat kulihat dari bawah. Kumpulan kendaraan di jalanan sana hanya nampak seperti mainan anak-anak. Beruntung mataku masih sangat jeli kalaupun harus melihat dengan jarak pandang yang jauh. "Daniel." Tak sengaja indra pengelihatanku menangkap sesuatu yang menakjubkan. Seorang lelaki yang kuketahui namanya adalah Daniel, terlihat sedang diapitkan ke tembok samping toilet oleh tiga orang lelaki yang aku tak tahu mereka siapa. Perlu diketahui bahwa design bangunan sekolahku itu berbentuk huruf 'U', dan kebetulannya tempat yang ada Danielnya itu masih dapat terjangkau oleh mataku. "Wah, nggak bisa dibiarin nih," ucapku. Aku langsung bergerak dan sedikit berlari untuk menuju ke arah lantai bawah. Tak ada pikiran tentang bagaimana jika seandainya aku terjatuh dari tangga atau apalah. Satu hal yang ada di pikiranku hanyalah aku harus menyelamatkan Daniel dari kejahatan mereka. Dalam lariku, aku juga sempat ditegur oleh bapak maupun ibu guru yang kebetulan sedang melintas. Akan tetapi aku tak memperdulikannya. Bodoh? Ya, aku memang bodoh. Kenapa aku malah menghiraukan mereka dan tidak terpikirkan untuk meminta bantuan kepada mereka saja? Hatiku terasa gelisah. Rasa ingin melindungi ini sudah mencapai puncaknya. Aku kesal sendiri dengan lariku yang lambat. Andai aku punya kekuatan teleportasi, mungkin sudah sedari tadi aku bisa menjangkau tempat tersebut. "Woi miskin! Lo berani nantang gue?" gertak salah satu dari mereka. "Sudah, hajar aja Bro," sahut yang lain. Semakin dekat dengan mereka, aku semakin bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan mereka. Meski begitu tetap saja aku tak tahu tentang masalah apa yang terjadi pada mereka. "Woi kalian!" teriakku. Sebuah keberanian yang luar biasa dari seorang gadis sepertiku. Mungkin jika gadis lain, ia akan berpikir dua kali untuk melakukan hal semacam itu. Akan tetapi tidak bagiku. Hampir semua murid di sekolahan ini sudah tahu tentang siapa diriku. Buruknya, mereka tahu diriku karena sisi nakalku. Tidak menutup kemungkinan ketiga lelaki itu juga sudah mengenalku. "Wah, wah. Pahlawan kesiangannya si banci ini ternyata cewek, Bro," ucap salah satu dari mereka yang menurutku dia adalah sang ketua geng. "Hahaha... emang dasar banci. Bodyguardnya aja cewek," ejek yang lain. "Malu-maluin," tambah yang lain. Aku merasa semakin kesal ketika mendengarkan ocehan mereka. Kedua tangan ini sudah mengepal erat. Ingin sekali aku menghancurkan wajah mereka. Namun aku sadar, aku hanyalah seorang perempuan. Sekuat apapun diriku, aku yakin tak akan bisa mengalahkan seorang lelaki. Satu orang saja kurasa sudah cukup berat, apalagi kalau harus tiga sekaligus. Aku tahu ini adalah dunia nyata. Ini bukanlah sebuah film maupun sinetron yang tokoh utamanya akan selalu memenangkan pertarungan sekalipun ia adalah seorang perempuan. "Heh, lo bertiga gak tahu siapa gue?" tanyaku. Mereka dengan serentak hanya mengangkat sebelah alisnya. "Lo pastinya pernah dengar nama Shelania Putri Artasyah, kan? Seorang siswi nakal yang sekaligus merupakan anak dari seorang donatur terbesar sekolahan ini. Kalian mau, gue suruh papa gue buat ngusulin ke kepala sekolah agar lo bertiga dikeluarkan dari sekolah ini?" ancamku. Mendadak kening mereka bertiga mengkerut. Bagaimanapun juga, selain kenakalanku, aku juga dikenal melalui statusku sebagai salah satu dari anggota keluarga Artasyah. Aku pastikan bahwa kini mereka sedang ketakutan. Mereka pastinya juga tahu bahwa tiga perempat dari sekolahan ini bisa dibilang adalah milik papaku. Kurasa apa yang kupikirkan memanglah benar. Itu terbukti dengan mereka bertiga yang memilih untuk melarikan diri. Aku tertawa sendiri melihat nyali mereka yang tak sebanding dengan kesombongannya. "Lo gak apa-apa?" tanyaku pada Daniel. Sebagai seorang yang terbully, raut wajahnya tak menandakan sedikitpun bahwa dia telah terbully. Raut wajah tenang, dingin nan datar itu tetap menghiasi dirinya. "Bukan urusan lo." Ia menjawab, kemudian mulai berjalan meninggalkan aku. "Cih, nggak bilang terima kasih atau apa gitu? Kan udah gue tolong," ucapku. "Gue gak butuh bantuan lo. Bantuan lo itu malah membuat gue terlihat lemah," jawabnya. Aku kesal mendengar jawabannya. Lelaki bernama Daniel itu sungguh telah membangkitkan emosiku. Ia bahkan seperti tak menghargai lawan bicaranya. Ia menjawab apa yang aku ucapkan, tapi dengan kakinya yang terus melangkah dan wajahnya yang tak sedikitpun melihat ke arahku. Kakiku bergerak, bermaksud untuk mengikuti langkah kaki lelaki itu. Sekali entah kenapa hati ini mengatakan bahwa aku harus mengejarnya. Entah apapun yang terjadi nanti, pokoknya aku harus mengejarnya. "Lo nggak mau dipandang lemah, tapi lo sendiri menempatkan diri lo di posisi yang bisa dipandang lemah oleh orang lain. Kalau lo memang kuat, kenapa lo gak ngelawan ketika lo dibully?" tanyaku sambil terus berjalan mengikuti langkah kakinya. Dia mendadak berhenti, kemudian tubuhnya memutar dan kini posisinya menghadap ke arahku. Aku agak takut ketika melihat ekspresi dinginnya. Bahkan jika disuruh memilih, aku lebih memilih melihat ekspresi marah orang lain kepadaku daripada harus melihat ekspresi dingin dengan tatapan menakutkan dari seorang Daniel. "Kalau lo gak tahu apa-apa tentang diri gue, mending lo diam!" ucapnya tajam. Biarpun dingin, di mataku dia juga terlihat cukup keren. Ia berniat berbalik membelakangiku lagi, tapi secepatnya aku langsung mencegahnya dengan cara memanggil namanya. "Daniel!" panggilku. Ia kembali menatapku dengan tatapan khasnya, dingin nan datar. "Dari mana lo tahu nama gue?" tanyanya dingin. Aku langsung berlari kecil untuk memperdekat jarakku dengan dia. "Kalau gue jawab dari hati gue sendiri, lo pasti gak akan percaya, kan?" tanyaku balik. Berharap bisa mendapat senyuman dari dia walau cuma sedikit saja. Akan tetapi apa yang aku harapkan ternyata tidak terwujudkan. Ekspresi dingin itu masih tetap setia melekat di raut wajahnya. Kalau dibilang kecewa, tentu saja aku kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD