Bab 2

1507 Words
Kurasa situasi ini semakin memanas. Pak Ratno semakin berapi-api karena emosi, sedangkan siswa itu hanya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Akan tetapi bisa kupastikan bahwa hal ini akan berlanjut lebih mendebarkan. "Kenapa diam? Cepat jawab!" gertak Pak Ratno lagi. Namun siswa itu masih tetap diam. "Heh, gak bisa jawab, ya? Pasti ibu...." "Saya sudah gak punya ibu! Dan asal bapak tahu, ibu saya selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu menghormati orang yang lebih tua. Namun ia juga mengajarkan kepada saya untuk membela diri dari segala macam penindasan," jawabnya. Hatiku mengatakan bahwa dia adalah siswa yang luar biasa dan super berani. Aku juga tahu bahwa apa yang dilakukannya itu bukanlah melawan guru, melainkan hanya mempertahankan sebuah hal yang benar. Kalau dari sudut pandangku, letak kesalahan itu terletak pada sang guru. "Berani sekali kamu membantah guru. Sekarang sebagai hukuman atas kejadian tadi, serta karena kamu membantah guru, cepat bersihkan seluruh toilet di sekolahan ini sampai benar-benar bersih. Batas waktunya sampai jam istirahat kedua," ucap Pak Ratno. Guru biadab! Itulah kata-kata yang muncul dengan sendirinya di dalam pikiranku. Entah kenapa aku merasa ingin sekali membela siswa tersebut. Simpati? Selama ini aku jarang dan hampir tak punya rasa itu. Akan tetapi untuk kali ini, hatiku yang keras tiba-tiba melunak. Di dalam jiwaku tercipta sebuah perasaan yang sulit untuk kujelaskan. "Tidak. Saya tidak mau mengerjakan sebuah hukuman yang sejatinya bukan saya yang bersalah," tolaknya. Ia bangkit dari kursinya dan berniat untuk keluar dari ruangan itu. "Kalau kamu gak mau, terpaksa saya cabut beasiswa kamu," ucap Pak Ratno. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia terdiam memaku sembari berdiri. Ancaman itu benar-benar membuatnya tidak berkutik. "Oke. Saya akan menjalankan hukuman ini, tapi saya tidak akan pernah mau mengakui kalau saya yang bersalah," ucapnya. Pada akhirnya pula ia berjalan menuju pintu keluar setelah menyetujui hukuman dari Pak Ratno. Saat dia melewatiku, dia sempat memberi lirikan tajam nan dingin kepadaku. Aku cuma menatapnya dengan aneh tanpa berekspresi apapun. Menurutku, ada sesuatu yang membuat dia tertekan ketika mendengar ancaman itu. Kalau tidak ada, aku yakin walau seperti apapun juga bentuk ancamannya, selama ia merasa tidak bersalah, ia pasti akan tetap menolak hukuman itu. *** Aku keluar dari ruang guru. Sejenak tak kupedulikan dulu urusanku dengan Pak Handoko. Sebenarnya aku juga kesal dengan guru tersebut. Ia telah membuatku menunggu selama itu dan sampai sekarang pun dia belum datang. Jadi, apa salahnya jika aku pergi terlebih dahulu meninggalkan tempat pertemuan? Alasanku hanya satu. Aku sangat penasaran dengan siswa yang tak pernah kukenali itu. Aneh sekali rasanya. Ya, bahkan aku sendiri merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Untuk hal ini, kenapa aku menjadi sangat bersimpati? "Hei!" Akhirnya kutemukan juga siswa tersebut di sebuah lorong menuju ke arah toilet laki-laki. Kupikir dia benar-benar akan menjalankan hukuman itu. Buktinya saja kini ia sedang berjalan menuju ke arah toilet. Lelaki itu berbalik dan menatapku. Kalau boleh jujur, saat itu juga jantungku langsung berdebar kencang. Penampilannya memang tak begitu rapi. Rambutnya terlihat acak-acakan serta bajunya sudah terlihat cukup usang. Namun aku tak tahu mengapa perasaanku mengatakan bahwa dia cukup menarik di mataku. "Kenalin, gue Shela, anak 10 IPA 1, cewek yang tadi di ruang guru." Tanpa basa-basi lagi, aku mulai memperkenalkan diriku seraya menyodorkan tanganku ke hadapannya. Tatapan itu begitu dingin, benar-benar sangat dingin. Seperti tatapan seorang manusia yang hidupnya dipenuhi dengan aura kebencian. Jangankan menjabat tanganku, tersenyum ke arahku saja tidak. Sumpah, baru kali ini aku melihat cowok seperti itu. "Ada apa?" tanyanya dingin tanpa sedikitpun niatan untuk memperkenalkan dirinya balik. "Ya, gue mau kenalan aja," jawabku. "Gak perlu," ucapnya cepat. Aku mendecak dalam hati mendengarkan jawaban meyakinkan darinya. Selama ini belum pernah ada satupun cowok yang memperlakukan aku seperti itu. Perlakuan cowok lain kepadaku benar-benar berbanding terbalik dengan perlakuannya. Namun entah kenapa hati kecilku mengatakan agar aku tidak menyerah. Aku pun merutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa cewek sepertiku ini bisa lemah di hadapan cowok itu? "Gue tahu lo sedang kesal. Gue juga nggak suka sama guru yang seperti itu. Gue...." "Nggak usah ikut campur masalah gue!" potongnya. Terbuat dari apa sebenarnya hati lelaki itu? Bisa-bisanya bersikap seperti itu bahkan pada cewek cantik sepertiku. Sialnya kata hatiku masih sama seperti yang tadi. Aku tidak diperkenankan untuk menyerah. Kini dia bahkan dengan mudahnya pergi meninggalkan aku sendirian tanpa pamitan. Aku hanya sanggup memandangi punggung lelaki itu yang semakin lama semakin menjauh dariku. "Seorang lelaki yang menyembunyikan kesedihannya dengan topeng keteguhan. Heh, menarik juga," ucapku. *** Aku berencana kembali ke ruang guru untuk menemui Pak Handoko. Setelah sekian menit kutinggal, kurasa sekarang Pak Handoko sedang menungguku di sana. Bisa kubayangkan bagaimana raut wajah kesalnya karena menungguku. Aku sampai geli hati ketika membayangkannya. Melangkah dengan santai, itulah yang kulakukan. Aku juga menyadari sesuatu bahwa hari ini ketakutanku pada Pak Handoko sudah menghilang. Aku bahkan sudah berani membantahnya seperti tadi. Itu benar-benar tidak bisa kupercaya. "Dari mana saja kamu? Ditunggu dari tadi malah baru datang." Satu langkah melewati pintu masuk ruang guru, aku langsung disambut dengan pertanyaan yang sangat membuatku kesal. Mataku menangkap terdapat 3 orang di sana. Bu Mirna, Pak Johan dan tentu saja Pak Handoko. Namun aku tak melihat keberadaan Pak Ratno di sana. Kurasa setelah aku keluar meninggalkan ruang guru tadi, dia juga ikut keluar. "Lah, bukannya yang harusnya bilang gitu saya ya, Pak?" bantahku. "Dibilangin malah ngebantah. Sudah, duduk!" perintahnya. Mungkin benar, sang pahlawan tanpa tanda jasa itu selalu dipenuhi dengan kebenaran. Hati kecilku menyuruhku untuk terus membantahnya. Akan tetapi aku tahu bahwa membantah merupakan hal yang sia-sia. Walau bagaimanapun juga, faktanya sekarang ini memang aku lah yang terlambat. Aku duduk di sebuah kursi yang sudah tersedia di hadapan kursi yang diduduki Pak Handoko. Jarakku dengan Pak Handoko hanya terpisahkan oleh sebuah meja yang besarnya tak seberapa. Menjadi seorang tersangka, serta disaksikan oleh tiga orang yang merupakan orang tuaku waktu di sekolah. Itu benar-benar membuatku sangat tidak nyaman. Sialnya, satu orang di antara mereka adalah guru langganan yang sering menjatuhi hukuman kepadaku. "Saya sudah beberapa kali mendengar tentang kenakalan kamu. Tidak mengerjakan PR, berantem, bolos sekolah, bahkan juga kabur dari sekolah sebelum waktunya pulang. Kamu itu cewek, masa kelakuannya kayak gitu? Mau jadi apa kamu nantinya? Kalau saja kamu bukan anaknya Pak Boy...." "Jangan karena saya anak donatur terbesar sekolahan ini, bapak jadi ragu untuk menghukum saya. Jika saya memang bersalah, hukum saja saya dengan hukuman yang sama seperti apa yang bapak berikan pada murid-murid lainnya," sahutku. Semua mata langsung menatapku dengan tatapan kagetnya. Mereka seakan tak percaya pada kalimat panjang yang baru saja kuucapkan itu. Wajar saja, orang sepertiku bisa berkata seperti itu adalah sebuah hal yang langka. Bahkan aku sendiri pun bingung kenapa aku bisa berbicara seperti itu. Padahal rencananya, statusku sebagai anak dari seorang donatur terbesar sekolahan itu telah menjadi senjata utama untukku lolos dari hukuman. Akan tetapi kini pemikiranku itu berubah 180 derajat. "Hah? Kamu beneran Shela, kan?" tanya Bu Mirna seolah-olah tak percaya. "Iya lah, Bu. Masa lupa sama murid paling cantik nan baik yang ibu punya?" ucapku. "Mimpi apa kamu semalam?" tanyanya. "Hufff." Aku menghembuskan napas pelan. Apakah kenakalanku di sekolahan telah benar-benar sangat parah sehingga sekali aku melakukan hal seperti tadi, itu langsung membuat mereka takjub? "Saya bingung sama ibu. Begini salah, begitu juga salah. Kalau begini dan begitu salah, lalu saya harus bagaimana?" tanyaku. Bu Mirna hanya tertawa ketika mendengar protesku, begitu pula dengan Pak Johan. Hanya Pak Handoko lah yang masih setia dengan tatapan datarnya. "Oke, saya hargai keberanian kamu untuk kali ini. Sebagai imbalannya, saya bebaskan kamu dari hukuman. Tapi lain kali, jangan mengulangi lagi kesalahan yang sama!" ucap Pak Handoko. "Kalau kesalahan yang berbeda, gak apa-apa, Pak?" tanyaku polos. "Ya tetep gak boleh, Shelania Artasyah!" jawab Pak Handoko dengan nada tinggi. "Eee... Ada Putrinya, Pak. Bukan cuma Shelania Artasyah," kataku. Tanda-tanda kekesalan kembali ditunjukkan oleh Pak Handoko. Raut wajahnya yang merah padam serta gertakan gigi atas dan bawahnya itu meyakinkan diriku bahwa sebentar lagi emosinya akan meledak. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Satu-satunya hal yang harus kulakukan untuk menghindarkan diri dari amukan Pak Handoko adalah cepat-cepat pergi dari tempat itu. "Eee... ya sudah, kalau semuanya sudah beres, saya pamit mau ke kelas dulu, Pak, Bu. Assalamualaikum," ucapku sambil setengah berlari. Sebelum terdengar suara jawaban salam dari mereka, aku sudah benar-benar menghilang dari tempat itu. Akhirnya satu masalahku telah selesai tanpa harus menghadapi rintangan apapun. Beruntung sekali nasibku. Tak pernah sedikitpun aku menyangka dengan aku mengeluarkan kalimat yang seperti itu, aku akan terbebas dari hukuman. Kukira aku benar-benar akan dihukum seperti apa yang aku katakan pada Pak Handoko. Bahkan sebetulnya pun aku sudah siap menghadapi hukuman apapun yang ia berikan. Namun ternyata takdir berkata lain. Dengan aku mengucap kalimat itu, itu malah telah menjadi anugerah buatku hingga aku terbebas dari hukuman. "Hufff... akhirnya gak jadi dihukum," ucapku. "Sudah jam pelajaran lagi, kah? Bodoh amat lah, mending gue ke kantin," ucapku pada diri sendiri. Ya walau bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang Shelania Putri Artasyah. Seorang murid perempuan ternakal di sekolahan ini. Bagiku tidak menjadi masalah jika aku tak ikut pelajaran. Mengikuti pelajaran saja, aku tetap tak pernah paham dengan mata pelajaran yang dibahas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD