Bab 7

1994 Words
"Hufff.... iya," jawab Icha sambil menghembuskan napas pelan. Aku melangkah terlebih dahulu mencari tempat yang nyaman, meninggalkan Icha yang kini masih memesan. Interiornya memang jauh berbeda dari cafe yang tadi kukunjungi bersama Icha. Bisa dibilang perbedaannya itu 3:9. Akan tetapi aku berani jamin bahwa harga makanan maupun minuman yang ada di sini jauh lebih murah daripada yang ada di cafe. Pojok surgawi. Ya, pojokan adalah sebuah tempat yang menurutku sangat nyaman. Di sana aku dapat merasakan ketenangan yang luar biasa. Walau banyak orang yang bilang bahwa pojokan adalah tempatnya setan. Heh, aku tidak peduli dengan hal itu. Namun ada satu tempat yang bagian pojokannya malah sangat ingin kujauhi. Tempat itu adalah kelasku. Karena di tempat itulah satu-satunya bukti nyata yang aku percayai dari kata orang-orang yang menyebut bahwa pojokan adalah tempatnya setan. "Udah, pesennya?" tanyaku pada Icha yang kini berjalan pelan menuju ke arahku. "Udah," jawabnya ketus. "Lo kenapa sih?" tanyaku. "Kenapa, kenapa. Ngapain sih pakai ngopi ke sini? Kita kan tadi udah ngopi," jawab Icha sembari duduk berhadap-hadapan denganku. "Oh, ya pengen aja lah ngerasain rasanya kopi warung kopi. Selama ini kan baik lo maupun gue tahunya cuma rasa kopi di cafe," jawabku. "Halah, bilang aja mau nyamperin si Daniel. Pakai alasan pengen ngerasain kopi warung kopi segala," sindir Icha. "Nah, tu lo juga tahu alasan utamanya," ucapku. Sejenak terjadi keheningan di antara kami. Icha ataupun aku tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Hingga seorang lelaki datang mengantarkan kopi pesanan kami. Lelaki itu bukanlah Daniel. Aku cuma meyakini bahwa dia adalah salah satu pegawai di sini dan juga termasuk rekan kerja Daniel. "Loh, kok Mas ini yang nganter? Mas yang satunya mana?" protesku. "Mas yang satunya masih ngebuatin pesenan pelanggan, Mbak," jawabnya. "Ooo... oh ya Mas, password wifinya apa, ya? Tadi lupa mau nanya," tanyaku. "Cintai aku dulu," jawabnya yang membuatku bingung. Aku terbelalak kaget. Itu bukanlah jawaban yang kuinginkan dari seorang lelaki sepertinya. Lelaki bertubuh kerempeng yang usianya kira-kira sudah di atas 20 tahun itu jelas bukan tipeku. Aku sebenarnya juga bingung dengan pemikirannya. Berani-beraninya ia berbicara seperti itu pada orang yang bahkan tidak ia kenali. Aku tersenyum meremehkan. Lelaki kerempeng itu kini telah membuat moodku berantakan. "Mas kalau mau nyari jodoh jangan di sini! Masa cuma nanya password wifi disuruh mencintai Masnya dulu," protesku dengan nada agak tinggi. Lelaki yang merupakan rekan kerja Daniel itupun langsung mencoba untuk melakukan pembelaan diri, sedangkan indra pengelihatanku ini menangkap seorang Icha yang kini sedang berusaha menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Maksudnya tuh passwordnya yang bunyinya kayak gitu," ucap lelaki itu. "Bukan saya nyuruh Mbak supaya mencintai saya dulu," lanjutnya. "Ooo...." Aku berucap pelan sembari menampakkan raut wajah biasa saja. Kalau ditanya apa aku malu? Jelas jawabannya adalah iya. Tentu saja iya. Di mata orang yang melihat kejadian barusan, aku terkesan seperti seorang cewek bodoh yang terlalu percaya diri. Meski begitu, aku tetaplah aku. Rasa malu itu hanya bertahan beberapa saat setelah itu langsung menghilang. "Heh, Masnya sih, ngasih tahunya terlalu ambigu," ucapku menyalahkan. "Aduh Mbak, kok malah saya yang disalahin, sih?" protesnya. "Emang salah, kan?" balasku. "Ya sudah, yasudah, saya salah," ucapnya pasrah. "Nah, gitu dong," sahutku. "Oh ya, tadi passwordnya apa?" tanyaku. Lelaki itu dengan sabarnya menyebutkan password wifi itu sekaligus cara penulisannya. Kali ini aku tak memprotesnya karena memang aku sudah mengetahui maksudnya. Akan tetapi gadis yang berada di depanku itu malah sibuk dengan Hpnya seolah-olah tak mengenalku. "Cuma password wifi ya, Mbak. Tapi kalau mau mencintai saya beneran ya saya gak nolak," ucapnya menggombal. "Idih, sorry Mas, tapi sayanya yang gak mau. Saya udah punya orang spesial," ucapku. "Hmmm.... gitu ya, Mbak? Pasti cowok spesialnya dia itu, kan?" godanya sambil memberi isyarat lewat mata yang menunjuk ke arah Daniel. Aku hanya diam membisu, tak berniat menjawab pertanyaan dari dia. Bukannya tak mau, tapi lebih tepatnya tak bisa. Jujur aku masih ragu dengan perasaanku sendiri. Aku bingung apa ini suka atau justru rasa lain yang aku tak bisa menyebutnya. Lelaki itu kini sudah pergi dari hadapanku. Di saat itulah seorang Alicha Saraswati yang tadinya sok-sokan tak mengenalku, tiba-tiba langsung memposisikan diriku seolah-olah aku ini sudah dikenalnya selama berpuluh-puluh tahun. Padahal sebenarnya pun ia baru mengenalku selama kurang dari 4 tahun. "Lo nih malu-maluin," ucapnya. "Malu-maluin gimana?" tanyaku. "Yang tadi itu," jawabnya. "Oh. Emang siapa yang malu?" tanyaku. "Ya gue lah," jawabnya cepat. "Lah. Kenapa jadi lo yang malu? Kan gue yang mengalami. Harusnya gue dong yang malu. Gue aja gak malu, kok lo iya?" ucapku. Icha terdiam sembari mencerna apa yang kukatakan barusan. Ia tak bisa membalasnya. Dalam benaknya mungkin ia berpikir bahwa apa yang kukatakan memanglah benar. Aku yang mengalami kejadiannya, kenapa dia yang harus malu? *** Tak terasa sudah cukup lama aku berada di warung kopi itu. Harapanku untuk ngopi ditemani Daniel ternyata tidak terwujud. Faktanya lelaki dingin itu tak ada niatan sedikitpun untuk menghampiri aku dan Icha. Meski sedang tak ada pelanggan sekalipun, dirinya lebih memilih untuk duduk dan memainkan Hpnya. Tapi tak apa. Memang itulah sifat seorang Daniel. Aku bisa mengerti tentang dirinya. Sekarang yang penting aku dan Icha harus bergegas untuk pulang sebelum malam semakin larut. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 23:34. Itu berarti sudah hampir tengah malam. Aku segera membayar ke Daniel. Tepat seperti dugaanku bahwa kopi di sini jauh lebih murah dibandingkan di cafe. Kira-kira, harga satu kopi di cafe bisa aku belikan 3 sampai 4 kopi di warung kopi ini. "Nih, Niel," ucapku sambil menyodorkan uang sebesar 20 ribu. "Sebentar! Kembaliannya," ucap Daniel. Ingin sekali aku memberikan uang kembalian itu kepada Daniel. Akan tetapi aku tahu bahwa jika hal itu kulakukan, maka sama saja dengan aku menghinanya. Meskipun sebenarnya niatku adalah untuk kebaikan. Kutunggu saja Daniel memberikan uang kembalian itu padaku. Kesunyian tercipta di antara kami berdua. Aku yang canggung tak dapat berbicara apa-apa di depan dinginnya sifat Daniel. "Nih." Daniel menyodorkan uang-uang receh sebagai kembalian. "Terima kasih," ucapku. Tanpa basa-basi lagi, segera aku melangkah menuju ke arah tempat parkir motorku. Icha sedari tadi sudah menunggu di sana. Namun baru beberapa langkah aku berjalan, dari belakang seperti ada yang memanggilku. "Mbak." Aku menoleh, dan ternyata yang memanggilku itu adalah rekan kerja Daniel yang tadi menyajikan kopi itu kepadaku dan juga Icha. "Apa?" tanyaku. "Pulangnya sendirian?" tanyanya. "Gak, berdua sama teman," jawabku sambil menunjuk Icha yang kini sedang terduduk di atas motorku. "Maksudnya, cuma berdua saja sama dia?" tanyanya memperjelas. "Iya," jawabku singkat. Batinku mulai merasakan bahwa semua pertanyaannya itu hanyalah sebuah basa-basi belaka. Ujung-ujungnya nanti dia pasti akan menawarkan dirinya untuk msngantarkan aku pulang. Sungguh sebuah akhiran yang sangat mudah ditebak. "Niel. Lo anterin sono!" ucap lelaki itu. "Hah? Gue?" tanya Daniel. "Ini sudah larut malam, Niel. Bahaya kalau dia gak ada yang nemenin. Lagipula dia kan cewek, cantik pula tu," jawab lelaki itu. "Iya. Tapi kenapa harus gue?" tanya Daniel. Jujur baru kali ini aku melihat sosok Daniel yang tak begitu dingin. "Karena lo pacarnya," jawab lelaki itu dengan cepat. "Dia bukan pacar gue," ucap Daniel. Biarpun saat ini aku merasakan sifat Daniel yang sedikit berbeda dari biasanya, tapi Daniel tetaplah Daniel. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pemikirannya. Untuk mengantarkan gadis seperti diriku, sekaligus Icha sebagai bonusnya, itu benar-benar sangat sulit untuk ia lakukan. Dan untuk lelaki yang tak kuketahui namanya itu. Sepertinya tebakanku salah tentang dia. Kukira dia sendiri yang akan menawarkan untuk mengantar dirinya pulang, tapi ternyata ia salah. Ia jadi malu pada dirinya sendiri. Untuk yang kedua kalinya ia telah berprasangka yang tidak-tidak pada lelaki itu. "Sudah, gak apa-apa Mas. Kalau Daniel gak mau jangan dipaksa! Gue bisa pulang sendiri, kok," ucapku melerai perdebatan tak berguna itu. Aku melangkah dengan perasaan yang agak kecewa. Sedari tadi aku berharap kalau Daniel akan mengiyakan apa yang diperintahkan oleh rekan kerjanya itu padanya. Namun apa faktanya? Daniel begitu keras menolak perintah itu. "Lama amat sih, Shel?" tanya Icha. "Ya, lagi nggak terima duit cash soalnya. Jadi gue terpaksa gesek lah," jawabku ngawur. "Heleh, mana ada warung kayak gini pakai sistem kayak gitu," protesnya. "Sudah, nggak usah banyak protes! Gue lagi males debat," ucapku. Segera aku naiki motor kesayanganku itu. Kekecewaan yang aku rasakan ini benar-benar sulit untuk menghilang. Bahkan sampai sekarang inipun aku masih berharap kalau Daniel akan mengejarku dan menawarkan dirinya untuk mengantarkan aku dan Icha pulang. Akan tetapi seperti apa yang dikatakan oleh pikiranku, bahwa itu adalah hal yang sia-sia. "Lo gak mau gue anterin?" Pertanyaan itu datang begitu saja dan menusuk masuk ke dalam indra pendengaranku. Aku dan Icha dengan serentak langsung menoleh ke arah suara hanya sekedar untuk memastikan apakah pertanyaan itu benar ditujukan untuk kami atau tidak. Aku menjadi yakin bahwa pertanyaan itu memang ditujukan kepadaku setelah mata ini melihat secara langsung siapa sosok di balik suara itu. Ternyata itu adalah Daniel. Kini ia menampakkan sorot mata yang tajam serta raut wajah yang dingin kepada kami. Melihat hal itu aku malah senang. Walau tatapan itu sangat menakutkan, tapi paling tidak dia sudah sedikit menaruh perhatian kepadaku. Buktinya saja ia tak mau membiarkan aku pulang sendirian di malam yang selarut ini. "Daniel! Akhirnya lo mau nganterin gue pulang. Lo pasti gak bisa ngebiarin gue pulang sendirian, kan? Gue seneng banget, Niel," ucapku panjang lebar dengan agak lebay. "Sudah?" tanya Daniel ambigu. "Sudah apanya?" tanyaku balik. "Ngomongnya," jawabnya dingin. "Oh... sudah, Niel," jawabku sambil menampakkan senyum manisku. Daniel tak mau menanggapi perkataanku lagi. Ia segera mengambil motor yang kuyakini adalah motor miliknya. "Wah, Niel, motor lo bagus juga," pujiku. "Bukan punya gue," jawabnya. "Oh... kalau gue punya lo, nggak?" pancingku. "Nggak," jawab Daniel singkat nan tajam. Setelah itu ia mulai menstarter motor pinjamannya itu. Kudengar dari arah belakangku ada sebuah suara tawa kecil yang sangat membuat geli telingaku. Aku tahu itu adalah suara Icha yang menertawaiku akibat kejadian barusan. Aku segera menyenggolnya untuk memberikan isyarat agar dia tak menertawaiku lagi. Ternyata itu berhasil membuatnya berhenti tertawa meskipun masih ada tawa kecil yang ia tahan. Aku segera melajukan motorku dengan kecepatan sedang, disusul oleh Daniel yang berada di belakang motor yang aku dan Icha kendarai. Rasanya malam ini sungguh spesial. Seorang Daniel mau mengantarkanku pulang. Entah kenapa itu membuatku sangat nyaman. Padahal sebenarnya banyak sekali lelaki yang ingin melakukan hal semacam itu padaku. Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil. Malahan yang mereka dapatkan adalah suara dentuman nuklir yang keluar dari mulutku ini. Akan tetapi untuk lelaki yang satu ini rasanya sangat berbeda. Aku tahu, Daniel memang tak sekeren cowok-cowok yang pernah mendekatiku. Tapi aku juga tahu kenapa hal itu bisa terjadi pasti ada alasannya. Untuk saat ini memang aku belum mengetahui alasan itu. Namun selanjutnya adalah tugasku untuk mencari tahu. *** Tak butuh waktu lama, akhirnya kami sudah sampai di depan gerbang pintu rumah Icha. Aku menghentikan motorku, begitupun dengan Daniel. "Ini bukan rumah gue, Niel. Ini rumah teman gue. Oh ya, temen gue ini namanya adalah Icha," ucapku sambil memperkenalkan Icha pada Daniel. "Gak nanya," jawabnya. Sial! Aku bahkan mengumpat dalam hati gara-gara ucapan tidak mengenakkan dari si Daniel. Sementara itu kulihat Icha yang memilih untuk berdiam diri tanpa sedikitpun punya niatan untuk ikut masuk dalam percakapan itu. Nampaknya ia masih sayang pada hatinya sendiri. Ia tak mau membuat hatinya terluka jika seandainya ia mendapatkan balasan yang tidak mengenakkan dari seorang Daniel. "Oh, ya udah. Terima kasih ya sudah mengantarkan kami pulang," ucapku. "Hmmm." Ia hanya membalas dengan gumamannya. "Lain kali anterin lagi, ya!" pintaku. Tetap tak ada sahutan dari Daniel. Ia seolah-olah menganggap semua ucapanku itu hanyalah angin yang berlalu. Bagiku, itu tak menjadi masalah besar. Selama ia tak merendahkan harga diriku, semua perlakuan dinginnya padaku itu juga tak berarti apa-apa. "Gue balik," pamitnya, masih dengan nada suara yang dingin. "Iya, hati-hati! Jangan ngebut! Lihat kanan kiri kalau mau nyebrang! Lampu motor jangan lupa harus tetap dinyalakan, dan yang paling penting, kalau ngantuk sebaiknya berhenti dulu," ucapku memberi perhatian kepadanya. Daniel tiba-tiba tersenyum kepadaku. Bukan, itu bukan senyuman tulus, melainkan senyum meremehkan. Deretan gigi putihnya yang nampak di kala sebelah sudut bibirnya yang terangkat itu bahkan tetap tak mampu menghilangkan aura dingin dari wajahnya. Benar-benar seorang lelaki yang sangat sulit untuk berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD