Bab 6

1998 Words
Ia berjalan kembali menuju ke lantai atas tempat di mana kamarnya berada. Aku hanya bisa menghela napas pelan sembari sedikit mengumpat dalam hati. Pasalnya bagi semua orang, menunggu itu adalah hal yang paling membosankan. Bahkan menunggu datangnya ajal pun juga terasa sangat membosankan. "Lihat tuh Pak, kelakuan anak majikan bapak," ucapku pada Pak Seno. "Yang sabar aja, Non," jawabnya. Detik demi detik berganti dengan begitu cepatnya. Lalu ia diganti dengan pergantian menit demi menit. Akan tetapi gadis bernama Icha itu tak kunjung terlihat dari indra pengelihatanku. Aku semakin kesal. Aku juga menyesal karena telah memutuskan untuk mengajaknya. Niat baikku untuk menghilangkan kesepiannya, kini malah membawa derita buatku. "Pak," panggilku pada Pak Seno. "Iya Non," jawabnya. "Di rumah gak ada orang, ya?" tanyaku. "Rumah siapa, Non?" tanyanya balik. "Ya rumah ini lah," jawabku cepat. "Oh, ya ada lah, Non," ucapnya. "Siapa?" tanyaku lagi. "Itu, Non Icha," jawab Pak Seno. "Ya saya juga tahu kali, Pak. Maksudnya yang lain," kataku. "Cuma Non Icha sama Bi Ijah doang," jawabnya. "Ooo...." Sudah kuduga bahwa orang tua Icha masih tak kunjung pulang juga. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mamanya selalu berangkat kerja sebelum Icha terbangun, dan pulangnya setelah Icha tidur. Sedangkan sang papa malah jauh lebih parah. Papanya memang jarang pulang mengingat pekerjaannya yang mengharuskannya untuk tinggal di suatu tempat yang jauh dari rumah aslinya. Itu membuat Icha seolah-olah sudah tak mempunyai orang tua. Bahkan untuk melihat wajahnya secara langsung saja, itu sangat sulit ia lakukan. Apalagi wajah sang papa. Di sela-sela kekesalanku pada Icha, aku juga merasa kasihan padanya. Papa dan mamaku juga orang yang sibuk, tapi beruntungnya mereka masih punya banyak waktu untukku. Aku benar-benar sangat bersyukur karena itu. Lama aku menunggu, akhirnya yang kutunggu-tunggu muncul juga. Dia berpenampilan cukup menor. Rambutnya yang tadi acak-acakan kini menjadi lurus nan halus. Wajah cantik khas Indo-Prancisnya itu menambah daya tarik pada dirinya. Untungnya aku juga masih tak kalah cantik darinya walau aku tak banyak berdandan. "Wih, mau kondangan, Mbak?" tanyaku. "Udah, nggak usah banyak nanya! Ayo berangkat!" ucapnya. "Oke, oke. Tapi lo bawa motor sendiri, kan?" tanyaku. "Ngeledek?" tanya Icha balik dengan raut wajah malasnya. "Ngeledek gimana?" tanyaku. "Gue mana punya motor. Punya juga mobil. Itu juga gue belum boleh ngendarain sendiri," jawabnya ngegas. "Ooo...." Senyumanku langsung merekah di kala gadis bernama Icha itu tak dapat menahan kekesalannya. Entah kenapa aku merasakan ada kesenangan tersendiri setiap kali aku membuatnya kesal. Sebenarnya bukan dia saja, tapi juga teman-temanku yang lain. *** Malam ini begitu dingin. Jaket tebal yang kukenakan bahkan tak dapat menahan udara dingin tersebut untuk masuk dan menusuk kulit. Mungkin untuk saat ini bisa dibilang fungsi jaketku cuma sebagai gaya-gayaan saja, bukan untuk melindungiku dari dinginnya udara. Telingaku terasa berdengung ketika tiap detiknya mendengar teriakan demi teriakan dari Icha. Gadis itu selalu memintaku untuk sedikit memelankan laju motorku. Padahal motor yang kulajukan itu sudah cukup pelan. Kira-kira kecepatannya cuma 100 KM perjam. Kecepatan yang cuma segitu masih disuruh mengurangi? Heh, memang susah juga jika harus berhadapan dengan orang yang tak pernah mengendarai motor sendirian. "Hah, parah lo. Lo mau bunuh gue?" protes Icha. "Hahaha... iya lah. Itu masih tahap pertamanya. Tunggu aja tahap-tahap berikutnya!" balasku. "Cih," decaknya. Di sinilah tempat kami berada. Di depan sebuah cafe besar dan ramai pengunjung. Lebih tepatnya di lokasi parkirnya. Aku memarkirkan motorku di posisi paling ujung area parkir tersebut. Bukannya apa-apa, karena itulah satu-satunya tempat parkir yang tersisa. Kami berdua pun masuk ke cafe tersebut dengan langkah yang santai. Interior cafe yang begitu mengagumkan membuatku memuji sang mahakarya cafe tersebut di dalam hatiku. Aku memang sudah sering pergi ke tempat ini, tapi entah mengapa rasa ingin memuji ini selalu ada setiap kali aku masuk ke dalamnya. Bukan tempat parkir motor saja yang membuatku memilih tempat paling ujung. Akan tetapi aku juga memilih bangku paling ujung di cafe tersebut. Ada apa dengan si ujung? Itu mungkin pertanyaan yang pantas untuk aku tanyakan saat ini. "Mana, katanya ada pegawai baru yang ganteng?" tanya Icha membuka pembicaraan. "Oh, itu...? Iya, gue baru ingat. Dia sudah dipecat tadi siang gara-gara salah masukin garam ke kopi pelanggan. Dia kira garam itu gula. Jadi dia dipecat, deh," jawabku. "Lah, sebodoh itukah dia?" tanya Icha. "Bukannya bodoh," sangkalku. "Lalu?" tanya Icha lagi. "Nggak pintar aja," jawabku. "Sama aja kali, Shel." Icha berucap dengan malas. Aku tertawa kecil mendengarnya. Percakapan kami terhenti di kala sang pelayan datang dan menanyakan kepada kami tentang pesanan. Kami pun memesan dengan pesanan seperti yang biasa kami pesan. Nampaknya pun pelayan tersebut sudah tahu apa yang aku maksud dengan 'biasa'. Buktinya saja setelah aku menjawab dengan kata itu, ia tidak banyak tanya lagi. Suasana di dalam cafe tersebut sungguh nyaman bagiku. Alunan musik yang mengiringi lagu dari lenyanyi yang sebenarnya tak begitu terkenal itu cukup untuk membuat suasana semakin syahdu. Tanpa kusadari mulutku mulai bersenandung mengikuti lagu yang dinyanyikan. Tubuhku pun tak bisa tinggal diam. Ia mulai berjoget kecil seiring dengan mulut yang bersenandung ini. Aku terlalu suka dengan lagu yang ia nyanyikan. Aku juga sangat tahu apa judul lagu tersebut. Lagu berjudul 'my heart' yang liriknya sangat menyentuh hatiku. Padahal itu lagu lama, tapi bagiku lagu itu selalu seperti lagu baru. *** Tak terasa aku dan Icha sudah begitu lama berada di cafe tersebut. Kini, jam sudah menunjukkan pukul 21:43 malam. Itu benar-benar waktu yang krusial untukku. Pasalnya aku hanya diperbolehkan pergi sampai batas waktu yang sudah ditentukan, yaitu jam setengah sepuluh malam. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku setelah ini. Aku sudah terlambat 13 menit. Belum lagi perjalanannya. Tentu saja itu akan memakan waktu yang lumayan lama. "Lo sih gara-garanya," ucapku menyalahkan Icha di sela-sela lari kecilku. "Kok gue sih," ucap Icha membela diri. "Kalau lo dandannya gak kayak orang mau nikahan, jadinya ya gak kayak gini," ucapku terus menyudutkannya. "Hmmm... emang kenapa sih?" tanya Icha. Kini posisi kami sudah berada di tempat aku memarkirkan motorku. Aku berbalik menghadap Icha dan menatapnya dengan sangat lekat. "Gue bisa tidur di luar lagi kalau pulangnya lewat jam setengah sepuluh malam, Cha," ucapku dengan nada agak tinggi. "Kok bisa?" tanya Icha. "Ya bisa lah. Perjanjiannya gue harus pulang sebelum jam setengah sepuluh malam. Kalau lebih dari itu, pintu rumah gue otomatis sudah dikunci sama papa mama gue," jawabku. "Udah, gak usah banyak nanya! Cepat naik!" lanjutku. "Eh bentar! Lo tadi bilang kalau lo pulangnya lebih dari jam setengah seluluh malam, rumah lo udah dikunci, kan?" tanya Icha. Aku menganggukkan kepalaku sebanyak dua kali sebagai balasan atas pertanyaan Icha barusan. Kalau kulihat-lihat juga, seperti ada suatu hal penting yang ingin Icha beritahukan kepadaku. Akan tetapi itu baru dugaanku saja. Soal benar atau salahnya, lihat saja nanti. "Coba lihat jam tangan lo!" perintah Icha. Aku pun menurutinya dan di jam tangan mahalku itu terpampang jelas bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 21:58 malam. "Jam 10 kurang 2 menit," ucapku. "Itu artinya...?" Icha menggantung ucapannya, berniat supaya aku menjawabnya. Aku tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Icha. Sebagai tanda atas ketidak pahamanku, aku pun mengangkat kedua tanganku. Tak lupa pula aku mengangkat sebelah alisku untuk memintai jawaban dari Icha. "Hufff... dengan isi otak lo yang cuma segitu, memang pantas lo mendapat peringkat kelima dari bawah," ejek Icha padaku. "Kalau sekarang sudah jam setengah sepuluh lebih, itu artinya pintu rumah lo udah dikunci. Lo buru-buru pulang juga percuma. Nantinya lo pasti akan tidur di luar lagi. Lo mau?" ucap Icha yang berakhir dengan pertanyaan. "Ya nggak lah. Mending gue main sampai pagi daripada harus tidur di luar," jawabku. "Ya nggak gitu juga kali, Shel. Mending lo tidur di rumah gue aja. Tapi beritahu papa sama mama lo dulu kalau lo mau tidur di rumah gue!" ucap Icha. Aku mengangguk-angguk mengerti. Perkataan Icha ada benarnya juga. Jika aku memaksa untuk pulang, otomatis nanti aku akan tidur di teras rumah lagi. Walau bagaimanapun juga aku tahu bahwa papa maupun mamaku itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Tak ada pilihan lain selain aku menerima tawaran Icha yang mengajakku untuk menginap di rumahnya. Aku mengambil Hpku yang berada di dalam tas. Ada benda kecil nan spesial yang membuatku tersenyum geli ketika melihatnya. Benda itu adalah pisau kecil yang diberikan oleh papaku tadi sebelum aku pergi dari rumah. Kuhiraukan dulu benda itu. Sekarang yang terpenting adalah aku harus menelepon papa ataupun mamaku dan bilang bahwa aku akan menginap di rumah Icha. Orang pertama yang ingin kuhubungi adalah mama. Kata 'berdering' sudah terpampang jelas di layar ponselku. Hingga pada akhirnya tulisan 'berdering' itu berubah menjadi detik-detik yang berjalan dengan diiringi oleh suara seseorang. "Halo, Ma," ucapku. "Ya, ada apa, Shel?" tanya mamaku. "Ma, malam ini Shela nggak tidur di rumah, ya. Shela mau menginap di rumah Icha," jawabku. "Yaaa... Shel. Kok gak tidur di rumah sih. Kasihan Bi Darminya," ucap mamaku yang membuatku tak paham. "Kok kasihan Bi Darmi?" tanyaku pada mama yang tadi sempat menyangkut pautkan nama pembantu rumah tangga di rumahku dengan masalah ini. "Iya. Tadi mama sudah menyuruh Bi Darmi supaya menggelar kasur di teras rumah buat kamu yang pulangnya telat, eh malah kamunya gak pulang," jawab mamaku. "Bentar, mama kirimin fotonya," lanjut mama. Tanpa bisa mendapat kesempatan untuk berbicara, mamaku langsung menutup sambungan teleponnya denganku. Tak lama kemudian ada notifikasi pesan masuk dari mamaku. Aku pun langsung membukanya dan mendapati ada sebuah foto yang mama kirimkan. Kuunduh terlebih dahulu foto itu, dan dugaanku ternyata benar. Itu adalah foto kasur yang sudah digelar dengan rapi di teras rumahku. Tak lupa juga bantal, guling dan selimutnya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku beberapa kali. Rasanya sulit dipercaya jika salah satu anggota keluarga Artasyah bisa bertindak seperti itu. Aku pun mulai memainkan jemariku di layar Hp untuk memberikan balasan pesan kepada wanita yang selalu kupanggil mama itu. Kira-kira beginilah pesan balasanku. "Gak sekalian sama ranjangnya, Ma?" *** Brumm! Suara mesin motorku mulai terdengar. Aku sudah bersiap untuk melajukan motorku menuju ke arah rumah Icha. Ya, rumah Icha adalah tujuan selanjutnya di dalam perjalanan malamku saat ini. Belum juga berkendara lebih dari 200 meter, mataku menangkap sesuatu yang membuatku spontan menghentikan laju motorku. Sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. Seseorang itu kini sedang membuatkan secangkir kopi karena memang profesinya sebagai penjaga warung kopi. Aku tak tahu secara pasti, tapi itulah dugaanku. "Lihat apa sih, Shel?" tanya Icha. "Lo lihat orang itu," ucapku sambil menunjuk ke suatu tempat. "Iya. Kenapa emang? Lo kenal sama dia?" tanya Icha lagi. Aku menghembuskan napas pelan akibat pertanyaan menyebalkan yang dilontarkan oleh Icha kepadaku. Ingin sekali aku mengumpatinya saat ini juga, tapi untungnya emosiku masih bisa kutahan. "Percuma dapat peringkat 3 besar terus kalau otaknya jadi b****k," ejekku. "Itu Daniel, Cha. Masa lo lupa, sih?" lanjutku. "Ooo...." Icha manggut-manggut mengerti serta baru menyadari bahwa seseorang yang aku tunjuk itu adalah Daniel. "Ya wajar lah, Shel. Gue kan baru lihat dia sekali, tadi di sekolah. Mana mungkin gue bisa langsung mengenali wajahnya," ucap Icha. "Bilang aja kalau otak lo udah waktunya diganti," ejekku lagi sembari melajukan motorku pelan menuju ke arah warung kopi tempat Daniel bekerja. Tak kuhiraukan ocehan demi ocehan yang keluar dari mulut Icha. Mataku terfokus pada sosok Daniel yang dengan semangatnya membuatkan kopi kepada para pelanggannya itu. Aku langsung memarkirkan motorku yang sudah tersedia di sana. Kemudian aku pun turun dari motor dan berjalan menuju ke arah warung kopi itu. Apa yang aku lakukan itu tentu saja juga diikuti oleh Icha. "Daniel! Lo kerja di sini, Niel?" tanyaku pura-pura terkejut. Lelaki yang kupanggil Daniel itu menoleh ke arahku dengan tatapan super tenang nan dinginnya. Bahkan sedikitpun tak ada tanda-tanda bahwa dirinya terkejut melihat kedatanganku. "Iya," jawabnya singkat. "Ooo... ya udah, aku pesen cappucino satu, ya," ucapku. Icha langsung menyenggol bahuku. Refleks aku pun langsung menoleh ke arah Icha dan mendapati dirinya sedang memberikan tatapan tajam kepadaku. "Apa sih, Cha?" tanyaku. Namun ia hanya memberikan isyarat mata yang tak aku mengerti. Kuhiraukan saja sesuatu yang tak kumengerti itu. Aku kembali terfokus pada Daniel yang kini sedang sibuk membuatkan kopi untukku. Tak ingin menunggu sambil berdiri, aku pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana. Akan tetapi sebelum itu.... "Lo gak mau pesan, Cha?" tanyaku pada Icha yang kini menampakkan ekspresi tak enak dipandangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD