PENDOSA 1

1121 Words
Aku tersenyum dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada penjaga parkir di depan binatu tempatku bekerja, yang untuk kesekian kalinya membantuku menyeberangi jalan. Jam kerjaku sudah selesai dan kini saatnya aku kembali ke kostan. Jarak dari kostan menuju binatu, tidak seberapa jauh. Tidak sampai dua kilometer dan masih sanggup kujangkau dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan beberapa kali aku menyapa orang-orang yang kukenal semenjak aku pindah ke daerah sini. Pemilik warung nasi yang sangat baik, yang selalu memberikan lauk tambahan, ketika aku membeli di warungnya. Ada pula penjual rujak keliling yang juga selalu memberikan ekstra bumbu. Juga pemilik warung kelontong, yang selalu tersenyum ramah setiap aku datang ke warungnya. Aku bersyukur, meski baru dua bulan tinggal di daerah padat ini, aku selalu mendapat kebaikan-kebaikan kecil dari orang-orang di sekitarku. Meski seringkali aku merasa tak layak untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan itu. Rasanya, aku terlalu kotor dan tidak pantas mendapatkannya. Tiba di kostan berukuran 3x3 meter, aku segera membersihkan diri. Setelah berganti pakaian, aku merebahkan diri di atas kasur yang memang sudah disediakan oleh pemilik kostan ini. Badanku benar-benar terasa lelah. Pinggang dan bahuku terasa sakit setelah seharian menyetrika baju di binatu. Tidak, aku sedang tidak mengeluh dengan pekerjaanku saat ini. Aku sangat-sangat bersyukur, meski setiap pulang bekerja pinggang dan bahuku terasa sakit luar biasa. Karena hanya pekerjaan ini yang sanggup kukerjakan saat ini. Meski dengan upah tak seberapa, setidaknya aku masih memiliki penghasilan untuk memenuhi semua kebutuhanku dan bayiku nanti. Aku tidak mungkin terus-menerus mengorek tabunganku untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Kuhela napas panjang dan tak terasa wajahku basah. Tangisku berderai, mengingat semua kesalahan yang telah kuperbuat. Tiga bulan lalu aku masih berstatus istri dari Wisnu Narendra dan ibu dari Semeru Agung Narendra Putro. Aku masih bekerja sebagai teller bank dan tinggal di rumah nyaman. Dan aku masih memiliki keluarga yang begitu mencintaiku. Lantas kini semua hal yang kumiliki lenyap, karena sebuah dosa yang kulakukan. Tangis ini sebagai bukti bahwa penyesalan memang akan menerjang si Pendosa di akhir perbuatannya. Aku sungguh menyesal karena telah memilih dosa atas kenikmatan sesaat yang kudapat, hingga aku harus merelakan semua yang kumiliki tanpa terkecuali. Nama lengkapku Putik Ida Ayu Buwono. Saat ini umurku sudah berkepala tiga. Aku lahir dan besar di Jakarta. Ibuku berasal dari Bali, sedangkan Bapak asli Ponorogo. Aku bekerja di sebuah bank swasta semenjak lulus kuliah. Hingga akhirnya aku dipecat karena skandal yang kulakukan dengan Arsena Bhumika. Lima bulan lalu, setiap pagi aku masih sibuk mengurusi Semeru--puteraku dan Wisnu sebelum mengantar Semeru ke daycare dan aku sendiri berangkat bekerja. Aku sangat menikmati peranku sebagai istri dan ibu. Sayangnya, setelah perselingkuhanku dengan Bhumika terungkap, aku terpaksa harus berada jauh dari Semeru dan diceraikan oleh Wisnu. “Saya nggak pernah menyangka kamu semurahan ini, Putik.” Kala itu, Wisnu menahan amarah untuk tidak memukulku begitu ia tahu aku telah mengkhianatinya. Lelaki yang meminangku enam tahun lalu itu menyeretku dari tempat kerja untuk pulang ke rumah. Dan di ruang keluarga kami, yang biasanya kami gunakan untuk berkumpul dan bersendau gurau, Wisnu menumpahkan segala amarah dan kecewanya padaku. “Sehebat apa dia, hingga kamu tega mengkhianati saya dan Semeru?” suara Wisnu bergetar. Ia berdiri tepat di hadapanku yang duduk di sofa dan menunduk dalam. “Jawab saya, p*****r!” Tak kunjung mendapat jawaban dariku, Wisnu mencengkeram wajahku dengan tangan kanannya. “Jawab sialan!” bentaknya sekali lagi dan memaksa wajahku agar menatapnya. Tangisku semakin pecah. Saat itu, hanya penyesalan yang kurasakan, setelah sekian lama mencoba acuh dengan kebimbanganku antara harus mengakhiri hubungan terlarangku dengan Bhumika atau tetap melanjutkannya. “A--aku minta maaf, Mas,” kataku terbata. “Aku minta maaf.” “Minta maaf katamu?” Dengan manik yang hampir keluar dari kelopak matanya, Wisnu bertanya geram. “Kamu minta maaf karena saya sudah mengetahui perselingkuhanmu dengan laki-laki sialan itu, kan? Bukan karena kamu benar-benar menyesal?” Tangan Wisnu berhenti di sisi wajahku. Terkepal kuat, menahan diri untuk tidak memukulku. “Saya tak habis pikir dengan kelakuanmu, Putik.” Wisnu menggeleng dramatis, suaranya tecekat di tenggorokan dan maniknya mulai diselimuti kabut tipis. Aku benar-benar tak tega melihatnya. Aku telah melukai laki-laki sebaik Wisnu. “Maaf, Mas ….” Aku mengiba dengan air mata berderai. “Tidak ada maaf untukmu, Putik. Saya tidak akan mengampuni p*****r sepertimu!” Suara Wisnu bergetar, yang membuatku semakin merasa bersalah karena telah menyakitinya. “Dengar baik-baik, Putik Ida Ayu Buwono, mulai detik ini, kamu bukan lagi istri dari saya, Wisnu Narendra. Kamu bebas, berhubungan dengan laki-laki manapun, atau melacurkan diri pada siapapun. Kamu bebas. Ingat baik-baik, saya menalak tiga sekaligus, jadi jangan pernah bermimpi saya akan bersedia menerimamu kembali.” Wisnu melepaskan cengkeramannya di wajahku, lalu terduduk di seberang sofa. Wajahnya ia sembunyikan di balik tangannya yang bertumpu pada kedua lututnya. Aku mendengarnya menangis. Wisnu, laki-laki yang selama ini kukenal kuat, telah kusakiti dan ia menangis karenaku. Dan hari itu adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di rumah yang selama ini menaungiku dan keluarga kecilku. Hari itu pula menjadi hari terakhirku bertemu dengan Semeru, karena setelah Wisnu menalakku, ia sama sekali tidak memberiku izin untuk bertemu dengan Semeru. Aku tidak bisa memrotes keputusan Wisnu, karena Wisnu mengancam akan mempidanakan perselingkuhanku dengan Bhumika, jika aku nekat menemui Semeru. Kuusap air mata yang membasahi pipi. Aku memang benar-benar menyesal telah mengkhianati Wisnu. Saat orang-orang bertanya mengapa aku tega mengkhianatinya, aku pun tidak menemukan alasan tepat mengapa aku melakakunnya. Yang kutahu, aku memang mencintai Bhumika. Sungguh aku mencintai laki-laki yang belum lama kukenal itu. Sayangnya, setelah pengorbanan yang kulakukan, Bhumika membuangku, meski aku mengakui tengah mengandung benih lelaki itu. Aku masih sangat ingat ketika Bhumika mencelaku ketika aku menemuinya dan mempertanyakan hubungan kami, setelah aku resmi bercerai dengan Wisnu. “Kamu pikir laki-laki mana yang bersedia memperistri perempuan peselingkuh sepertimu, Putik?” sinisnya kala itu. “Kamu saja tega mengkhianati suamimu, kamu tega mengorbankan pernikahan kalian yang sudah terjalin bertahun-tahun. Dan bukan tidak mungkin, jika kamu menikah lagi dengan suami barumu, kamu akan melakukan hal yang sama. Berselingkuh!” “Tidak Bhumika, aku mencintaimu. Sungguh aku mencintaimu, Bhumika.” Aku memohon padanya. Aku telah kehilangan Wisnu dan Semeru, jika aku harus kehilangan Bhumika pula, aku tak yakin hidupku akan baik-baik saja. Aku benar-benar mencintai lelaki bernama lengkap Arsena Bhumika ini. Lelaki rupawan yang kukenal pertama kali melalui sosial media. “Aku tidak menyalahkanmu yang mencintaiku, Putik. Tapi aku memiliki keputusanku sendiri. Aku tidak mencintaimu, tidak pernah sedetikpun.” Kalimat yang meluncur dari bibir Bhumika sungguh sangat menyakitiku. Ribuan duri mawar seolah ditancapkan tepat pada segenggam merah bernama hati. Bhumika menolakku secara tegas, meski aku mengiba dan bersimpuh di hadapannya jika benar-benar mencintai lelaki itu. Hingga satu kalimatnya lagi yang diucapkan, memaksaku untuk pergi sejauh yang kubisa dari jangkauannya. “Gugurkan kandunganmu, jika memang itu adalah benihku. Aku tidak sudi keturunanku lahir dari perempuan murahan sepertimu!” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD