Setelah sepuluh jam berkelana di udara, jet pribadi kepunyaan Antonio mendarat mulus di landasan pacu Charles de Gaulle Airport pukul satu siang waktu setempat. Angin musim gugur berhembus sejuk membelai wajah Alfaraz yang sedang menggendong Rafael menuruni tangga pesawat di bandara tersibuk nomor sepuluh di dunia itu.
Pernikahan kedua adiknya berjalan dengan lancar meski sebelumnya sempat diwarnai drama sang mantan mertua Fara yang gagal move on. Beban di pundaknya berangsur-angsur terangkat pasca ia menyerahkan adiknya menjadi tanggung jawab adik angkatnya, Samudera, dalam ijab kabul yang mengharu biru.
Sesampainya di hotel, Al langsung berbaring meluruskan punggungnya. Kepalanya pusing dan perutnya terasa diaduk-aduk akibat pengaruh zona waktu Jakarta-Paris yang berbeda. Sudah lama ia tidak merasakan jetlag pasca bolak-balik Jakarta-Sydney setiap akhir minggu, membantu menyelesaikan tesis adiknya hampir dua tahun lalu.
Sementara itu, Rafael merengek mengekori Ian yang pasrah menjadi babysitter dadakan selama Fara dan Samudera berbulan madu ke Nepal. Aneh, apa enaknya bulan madu ke negeri gugusan gunung-gunung itu?
Jika diingat-ingat, baru kali ini Al berlibur ke Eropa menggunakan jet pribadi dan tidur di hotel mewah berbintang. Biasanya ia lebih suka berkeliaran ala gembel kere di negeri yang menggunakan Euro sebagai mata uangnya itu. Tidur di hostel murah dengan ranjang bertingkat seperti asrama, makan seadanya dan berkendara naik kereta dari kota satu ke kota lainnya. Bahkan, tak jarang ia menumpang tidur di stasiun dengan modal sleeping bag menggulung badan.
Bukan karena ia kekurangan uang, meski di masa-masa menjadi mahasiswa dahulu ia memang hidup getir dengan budget terbatas. Agar dapat berpetualang, ia menabung uang hasil bekerja paruh waktu di restoran sebagai tukang pencuci piring. Bayarannya lumayan untuk standar seorang mahasiswa. Apalagi jika dirupiahkan, dimana gajinya bekerja selama seminggu, sudah cukup untuk biaya hidup satu atau dua bulan di Indonesia.
Pasca dibuatkan i********: oleh Thalia, ia mencari tutorial di Google tentang cara menggunakan media sosial ala kaum millenial tersebut. Al adalah tipe pria yang lurus. Menggunakan perangkat pipih itu hanya untuk kebutuhan pekerjaan atau mencari berbagai informasi terkini.
Media sosial dengan segala ocehan dan haha hihi bukanlah kegemarannya. Ia bahkan menolak bergabung dengan grup-grup alumni sekolah atau kampus karena tidak mau direpotkan sapaan-sapaan receh atau gurauan basi yang memangkas banyak waktu. Belum lagi kalau ponsel itu tiap sebentar berbunyi membuat konsentrasi dan produktivitasnya berkurang.
Al mengangkat gagang telepon di kamarnya dan memanggil sebuah nomor. Lumayan bila dibandingkan memakai ponsel pribadi yang biayanya mahal, berhubung bill hotel dibayar penuh oleh Antonio sebagai penanggung tunggal akomodasi.
“Tha, ini masih belum di-approve. Gimana, sih?” tanya Al menelepon Thalia. Ia kebingungan melihat status permintaan menjadi follower Liona masih mengambang tidak jelas hingga saat ini.
“Bapak menelepon saya pukul dua malam hanya demi i********:?” Suara di seberang sana terdengar menyumpah jengkel.
Al melirik jam tangannya. Pukul delapan malam waktu Paris. Seketika ia nyengir lebar. “Sorry! Jadi, ini gimana?”
Terdengar Thalia menghela napas di seberang sana tanda Al memang benar-benar menguji kesabarannya.
“Bapak sudah memperbarui keterangan profil dan fotonya”
“Buat apa?” sahut Al bingung. Setelah dibuatkan akun oleh Thalia, ia hanya membuka profil Liona dan mengajukan permintaan jadi pengikut.
“Innalillahi, Pak! Ibaratnya, Bapak bertamu ke rumah orang, ketuk pintu, baca salam, tapi pas orangnya buka pintu, wajah Bapak ga jelas, atau ketutupan semua. Kira-kira, orang itu mau nyuruh Bapak masuk nggak?”
“Nggak,” kata Al. “Hubungannya apa? Lalu, penting gitu pakai foto segala?”
Tut tut tut!
Al memandang teleponnya bingung.
Dasar karyawan kurang ajar!
Alfaraz kembali memainkan benda pipih itu. Ia mengetuk-ngetuk dagu dengan jari-jarinya sambil berpikir. Foto siapa yang harus ia pakai sebagai gambar profil? Jessica Simpson, Jolie, Anniston?
Ia mengusap wajahnya kasar seperti mendadak terkena kutukan.
Ribet amat punya media sosial!
***
“Rafa mau ikut Ayah, atau Om Ian?” tanya Al sembari membungkuk menanyai keponakannya.
“Ikut Om Ian.” Jawabnya dengan mata berbinar setelah berpikir sejenak.
Yang terbayang bagi Rafael adalah ladang uang unlimited yang dimiliki Ian hingga ia bisa meminta apa saja. Tidak seperti ayah dan ibunya yang seringkali menahan keinginannya membeli barang-barang atau mainan yang tidak perlu. Sam dan Fara, terlebih lagi Alfaraz mengajarkan agar bocah itu hidup sederhana dan tidak semua kemauannya didapatkan dalam sekejap mata meski mereka mampu untuk itu.
Ian memutar bola matanya pasrah. Rencana yang ia susun amburadul sekejap mata. Padahal niatnya ikut liburan ingin berjalan-jalan menggoda wanita-wanita cantik. Syukur-syukur kalau ada yang mau diajak kencan.
“Nggak apa-apa, biar dosa lo nggak tambah banyak!” ejek Al di telinga Ian seolah dapat membaca pikiran m***m bule tampan itu.
“Iya deh, iya!” Ian merengut kesal. Kalau dipikir-pikir, nasibnya di tangan Trio Nashid ini seringkali ngenes, sial tak berkesudahan. Entah itu dipalak atau di-bully. Ian hanya bisa pasrah menerima. Hanya mereka saudara yang ia punya. Mau dikata apa?
Salahnya juga yang mengiyakan ide Antonio memberi kesempatan pada kedua orang tua bocah ini untuk berbulan madu. Nyatanya, Rafael sama sekali tidak tertarik ikut dengan Hanna dan Antonio yang sejak pagi tadi sudah menghilang entah kemana.
***
Al menyimpan ponsel, dompet serta passport dalam tas selempang dan merapatkannya ke dadanya. Meski tidak separah Brazil, pencopet dan tukang tipu di Paris terkenal lihai mencari mangsa. Mereka seringkali beraksi di jalur metro, memanfaatkan turis yang lengah akibat terlalu asik menikmati wisata.
Ia bersenandung santai di jalanan sekitar hotel tempatnya menginap. Dahulu, Al cukup sering ke Paris saat masih bermukim Jerman. Perjalanan Munich - Paris hanya membutuhkan waktu enam jam menggunakan kereta yang melesat kilat secepat peluru.
Matanya berkelana kesana kemari. Sesekali ia membidik objek yang terlihat menarik dengan kamera di tangannya.
Sampai di persimpangan jalan di depan minimarket, Al tertegun. Matanya menangkap sesosok wanita yang ikut bersantai ria menikmati suasana Paris di pagi menjelang siang. Wanita itu mengenakan celana jeans, sneaker putih yang senada dengan tanktop, sebuah cardigan tipis berwarna maroon untuk menutupi lengannya, dan sebuah topi baseball juga berwarna maroon menutupi kepala dan rambutnya yang panjang terurai.
Seketika rona di wajahnya berubah lega. Senyumannya terbit. Al menggeleng-gelengkan kepala. Hampir satu minggu ia habiskan jungkir balik mengecek media sosial demi menuntaskan hasrat ingin tahunya terhadap Liona. Tak di sangka-sangka, wanita itu malah muncul di depan mata, di kota yang disebut-sebut sebagai tempat paling romantis di dunia.
Kameranya terangkat pelan. Ia mengatur zoom sampai wajah wanita itu terlihat jelas di layar lensa. Al menekan tombol shutter dan ... klik!
Je vous ai trouvé!
***
Liona tengah memilih-milih makanan ringan untuk dimasukkan ke trolley belanja. Ia telah mengunjungi kota ini cukup sering dan kali ini tak berniat kemana-mana. Dirinya hanya ingin menghabiskan waktu di kamar hotel sambil menghabiskan cemilan dan menonton TV atau berselancar di dunia maya melupakan pahitnya patah hati. Ia berniat baru akan keluar berjalan-jalan nanti, menikmati suasana Paris di sore hari. Mungkin mampir ke Eiffel atau sekitarnya.
Sedang asik mengambil bungkusan snack, tiba-tiba ia terperanjat saat benda itu direnggut kasar dari tangannya.
“Kamu nggak bisa baca, hah?!” bentak seseorang kasar sambil merebut bungkusan snack dari tangannya. Pria itu menunjuk-nunjuk bagian belakang kemasan tersebut. “Nggak bisa bahasa Prancis? Di sini tertulis porc, alias mengandung babi. Kamu muslim nggak, sih? Jangan b**o, dong!”
Setelah membentaknya, pria itu bergegas pergi meninggalkannya yang melongo sendirian.
Mulutnya menganga.
Setan dari mana pula ini?