Matahari kian meninggi menyebarkan terik panas yang menyengat. Suhu di kota Jakarta naik dua derajat melebihi biasanya.
Di sebuah ruangan di puncak gedung sepuluh lantai itu, terdapat kertas dan bermacam-macam peralatan desain berserakan di mana-mana. Drafting machine menunjukkan desain yang sudah rampung. Laptop tergeletak pasrah di samping meja printer. Mistar, theodolit dan meteran berhamburan di lantai. Sebuah maket bangunan yang telah selesai dirancang, terletak rapi di atas meja, bersiap untuk di bawa pemiliknya.
Sedangkan yang empunya, lelaki matang berusia tiga puluh tiga tahun yang masih betah membujang, menggulung lengan kemejanya hingga siku. Kakinya menghentak-hentak tidak sabar menunggui mesin plotter yang sedang bekerja.
Ia berdecak kesal. Tenggat waktu yang tersisa sebelum bertemu klien tinggal sebentar lagi dan bahan untuk presentasinya masih belum selesai.
Dalam hati ia merutuki timnya yang ngaret luar biasa. Bertahun-tahun belajar dan bekerja di luar negeri, dengan disiplin tinggi dan sumber daya manusia yang solid dan mumpuni, membuatnya menyumpahi kinerja bawahannya yang bekerja seenaknya.
Seringkali ia marah-marah sampai tekanan darahnya naik. Begitu juga dengan sekretarisnya yang lebih pintar memoles lipstick daripada bekerja dengan baik. Dalam dua bulan, sudah empat kali ia mengganti sekretaris dan masih belum menemukan seorang pun yang sesuai dengan kriteria idamannya.
Alfaraz pusing. Detak jam dinding semakin berpacu. Dalam hati ia menyumpahi sang sekretaris yang salah mencatat jadwal hingga ia harus bekerja tunggang langgang menyelesaikan pekerjaannya, atau proyek bernilai ratusan juta rupiah harus melayang sia-sia.
Satu-satunya orang yang mampu membantunya saat ini hanya Fara, adiknya yang terbiasa bekerja cepat dan efisien. Namun, hubungan mereka sedang merenggang dalam beberapa hari kebelakang, dan Al terlalu gengsi untuk minta bantuan pada si bungsu tersebut.
***
“Hai, kamu sekretaris baru, ya?” sapa Athalia, drafter yang bekerja langsung di bawah komando Alfaraz, menyapa sang sekretaris yang baru dua hari berada di sana.
Ia geleng-geleng kepala. Dalam hitungan bulan, entah sudah berapa orang sekretaris yang keluar masuk di kantor ini dan hampir semuanya keluar dengan air mata bercucuran.
“Iya Mbak. Kenalkan, saya Dian,” jawab gadis yang bernama Dian tersenyum sopan mengulurkan tangannya pada Thalia.
“Gimana rasanya kerja sama bos galak?”
“Bos galak?”
Athalia mengangguk.
“Saya di sini baru dua hari sih, Mbak. Jarang bicara bosnya.”
“Bos memang begitu. Dingin, datar, galak. Kalau nggak hati-hati, siap-siap aja kena pecat!” tegas Thalia mengangkat tangan ke lehernya tanda mengancam.
Dian tertawa.
“Tapi, dia masih jomblo, loh!” sambung Thalia sambil berbisik.
“Masa sih, Mbak?”
“Iya. Kita-kita udah stalking kehidupan sosialnya dan keluarganya. No girlfriend, no fiancee, isteri apa lagi. High quality jomblo deh, pokoknya,” ujar Thalia mempromosikan bosnya yang masih lajang.
Lama-lama, ia gemas sekaligus kasihan pada nasib bosnya yang selalu ketiban sial mendapat sekretaris kecentilan yang tidak becus bekerja. Kali ini, ia ingin menguji apa sosok perempuan di depannya masih sama atau Al beruntung mendapat sekretaris yang benar-benar qualified.
***
Alfaraz setengah berlari keluar dari lift menuju ruangannya. Jujur saja, ia sebenarnya ingin memilih ruangan di lantai paling bawah agar mobilitas dan waktunya tidak terbuang sia-sia dengan naik turun lift. Hanya saja, berita tentang gempa dan hoax yang mengiringinya belakangan membuatnya memilih lantai paling atas. Paling tidak, jika gempa meluluh lantakkan kota Jakarta, ia yang paling minim resiko terhimpit reruntuhan bangunan. Al juga tidak ingin mati dalam kondisi bujangan yang belum menikah.
Dian merekahkan senyumnya memasuki ruangan Alfaraz. Setelah mendengar penuturan Thalia, ia merasa punya peluang mendekati bosnya tersebut.
“Mana jadwal saya untuk besok?” pinta Al mengulurkan tangan tanpa mengangkat kepala.
Dian menyodorkan daftar agenda bosnya untuk keesokan hari. Alfaraz mencocokkan dan menambahkan daftar tersebut dengan jadwalnya sendiri. Kemudian ia mengulurkan daftar tersebut kembali pada Dian sambil berujar, “Terima kasih.”
Dian senyum-senyum sendiri mengagumi Alfaraz. Siapa yang tidak ingin punya pacar, syukur-syukur calon suami seperti ini. Alfaraz adalah adalah paket lengkap. Tampan, kaya, juga bujangan pemilik tunggal firma yang baru berdiri beberapa tahun namun sudah punya nama besar akibat kepiawaiannya bekerja dan mengelola usahanya.
Setelah sekian lama, Alfaraz mengerutkan kening mendapati sang sekretaris masih belum juga beranjak dari hadapannya. Ia mengangkat kepala melihat gadis itu sedang senyum-senyum sendiri ke arahnya sambil sesekali menggigit bibir.
Ia berdecak kesal. “Ngapain kamu senyum-senyum begitu? Habis menang togel? KELUAR!!!”
Senyuman Dian seketika lenyap. Wajahnya pias.