Kedua tangannya terangkat, memijit-mijit kepalanya yang pusing sejak bangun tadi pagi. Semalaman ia kurang tidur akibat begadang. Pukul sepuluh malam, Tama datang ke unitnya, menghiba dengan wajah memelas dan mengajaknya menonton serial TV. Keduanya memelototi layar dalam balutan selimut masing-masing sampai pukul empat subuh. Berbungkus-bungkus kacang dan kerupuk kentang tandas menyisakan sampah yang berserakan.
Sama seperti dirinya, Tama pun sedang galau ditinggal kekasih. Pria itu akhirnya mengakui, patah hati memang amat menyiksa. Liona yang sudah berkali-kali merasakan hal yang sama, lama-lama menjadi imun, tak lagi menangis, meski bekasnya masih menyisakan perih yang entah kapan hilangnya.
Semenjak peristiwa bulan lalu yang hampir merenggut harga dirinya, Lio tak lagi kemana-mana. Rutinitasnya berputar antara kantor dan apartemen. Hangout di mall untuk sekedar makan atau berbelanja tak lagi dilakoninya. Ia harus puas mengandalkan makanan delivery untuk mengisi perut. Untuk mengisi waktu, ia memilih melahap buku-buku yang ia tumpuk dan belum sempat dibaca.
Ia sama sekali tidak berniat mengkonfirmasi kepada Frederick atas kejadian tersebut. Useless. Frederick adalah orang yang keras dan seringkali menghalalkan segala cara demi memuluskan niatnya. Pamannya itu terkesan licik. Setiap kali Lio bertanya, dia hanya menjawab bahwa bisnis tidak mengenal agama dan nurani.
Sempat terpikir olehnya, apa yang menimpanya kemarin adalah bagian dari karma perbuatannya pada Samudera. Penjebak yang terjebak. Salahnya juga yang sok-sokan ingin mencoba aksi yang biasanya terlihat mudah dalam sinetron. Kenyataannya, ia gagal. Atau, apakah ia yang terlalu bodoh dalam menyusun skenario? Hanya Tuhan yang tahu.
“Permisi Bu, ada yang mau bertemu,” ujar sekretarisnya setelah mengetuk pintu seraya menunduk takut-takut. Lio telah memintanya agar menunda semua janji dan meeting yang melibatkan dirinya.
“Siapa?” sahutnya lelah.
“Saya,” potong seorang pria menginterupsi dan memaksa masuk dari celah pintu yang terbuka.
Liona menghembuskan napasnya gusar. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan mata berkilat marah.
Kai tersenyum miris dalam hati melihat ekspresi sang kakak yang melihatnya dengan raut jijik sekaligus geram.
“Maaf, Kak. Saya tahu, kehadiran saya tidak diharapkan disini ....” Kai sengaja menggantung kalimat dan dengan santainya menduduki kursi di depan Liona. “You look a little bit messy!”
“None of your bussiness, boy!” Lio mendengus tidak suka dengan perhatian kecil itu. Tinggal lama di Singapura berhasil membuatnya menjauhkan diri dari orang-orang yang dalam tatanannya, seharusnya ia panggil keluarga.
Kai pernah beberapa kali datang ke kantornya di Singapura demi menemui Frederick. Satu atau dua kali kerumah dan tak seorang pun mengacuhkan kehadirannya, seolah semua ikut menghakimi atas perbuatan ayah dan ibunya.
Jika dipikir dengan logika, Kai sebenarnya tidak salah apa-apa. Ia hanya terjebak dalam waktu dan tempat yang salah, juga lahir dari rahim yang tidak diharapkan.
Bila dilihat, Liona dan Kai bisa dibilang hampir seperti bercermin satu sama lain. d******i genetik yang diturunkan turun temurun dari sang kakek melalui ayah mereka, hampir mencapai delapan puluh persen. Dengan bentuk wajah agak panjang, mata tegas dan tajam, dipadukan dengan kulit Asia yang bersih.
Kai tersenyum simpul. “Saya harap kita bisa profesional dan bekerja sesuai porsi masing-masing.”
Liona mengangguk miris. Kalau bukan karena pekerjaan, tidak sudi rasanya ia berdekatan dengan makhluk ini. Biar bagaimana pun buruknya hubungan mereka, urusan bisnis dan pribadi hendaknya tidak dicampur adukkan.
Perusahaan tempat mereka mencari makan masih milik keluarga. Mau menghindar kemanapun, ujung-ujungnya akan bertemu orang yang sama. Selama ini keduanya jarang bertemu karena Liona lebih memilih di Singapura dan baru pulang ke Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, demi seseorang yang tak pernah menganggapnya ada.
Hidup memang terkadang selucu itu!
“Ada yang bisa dibantu?” Lio memaksakan senyuman menghadapi Kai.
“Saya butuh tanda tangan Kakak sebagai rekanan,” ujar Kai menyodorkan setumpuk dokumen.
Lio mendengus. “Kalau Anda ingin profesional, seharusnya Anda memanggil saya dengan sepantasnya. Bisnis tidak mengenal saudara, begitu juga dalam kehidupan nyata.”
“Maaf, lain kali saya pastikan tidak akan terulang lagi,” jawab Kai santai.
“Bagus!” ejek Liona sembari menunduk menggoreskan tinta ke atas helaian demi helaian kertas di depannya.
Ia menutup setumpuk map tersebut lalu mengulurkannya kembali pada Kai. Pemuda itu menyambutnya sambil terus tersenyum. “Terima kasih.”
“Masih ada lagi?” tukas Lio sinis. Permintaan Kai agar ia bersikap profesional sepertinya membutuhkan usaha keras. Ia tidak bisa sepenuhnya memilah-milah sekumpulan emosi yang berkecamuk dalam hatinya.
Kai menggeleng. “Saya rasa cukup.” Ia berdiri dari kursinya. “Kapan Kakak punya waktu?”
Lio mendongak. “Untuk apa?”
Kai mengangkat bahu. “Makan siang bersama, mungkin? If you don't mind.”
“Kau tahu, sampai kiamatpun aku tak ingin berdekatan denganmu. Pergilah, atau aku perlu memanggil satpam untuk menyeretmu?” desisnya tajam.
“Yes, Mam.” Kai membungkuk sopan dan bagi Liona sikap itu terlihat sebagai ejekan. Ia membuang muka, berusaha agar tidak terpancing.
Sebelum pergi, Kai menyempatkan diri menoleh dan menatap Liona nanar penuh kerinduan. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan kepada kakak tirinya itu. Ada rasa bersalah telah memonopoli kasih sayang sang ayah untuknya dan kakak perempuannya, sementara Liona menanggung luka itu sendirian.
Terlebih lagi setelah Hendrick secara gamblang menceritakan perbuatannya yang tak termaafkan, membuat Kai sebagai laki-laki geram dan bersumpah tidak akan mengikuti jejak kelam ayahnya.
Ingin sekali ia berlari dan membawa Liona dalam dekapan, meminta maaf atas kehadiran mereka yang membuat sang kakak menderita terlalu lama.
Ia meneruskan langkah yang terasa berat lalu menutup pintu di belakangnya. Ia tahu, tidak akan mudah menyembuhkan luka yang bernanah selama puluhan tahun.
Jangan mimpi, Kai!
***
Belum lama setelah Kai pergi, pintunya kembali di ketuk.
“Siapa lagi?” bentaknya kasar. Ia meletakkan ponsel dalam genggaman di atas meja.
“Se-seorang dari The Nash, Bu,” jawab sekretarisnya terbata-bata.
Liona mengerinyit bingung. Setahunya, kontraknya dengan perusahaan tersebut telah berakhir.
Ia menyuruh sekretarisnya mempersilakan tamunya masuk. Suatu tindakan yang dalam beberapa detik kemudian langsung di sesalinya.
“Selamat siang!” sapa pria itu datar.
Liona yang sedang membaca berkas-berkas di atas meja terkesiap melihat ke arah tamunya. Bayangan kejadian memalukan yang terjadi hampir sebulan yang lalu membuat pipinya merona. Cepat-cepat ia kembali menguasai diri dan memasang wajah datarnya.
Salahnya juga yang lambat berpikir bahwa The Nash adalah milik Alfaraz, kakak Samudera dan kali ini ia harus kembali berhadapan dengan pria yang memergokinya tersebut. Seketika ia ingin menghilang ke dalam perut bumi.
“Silakan duduk,” tawarnya ramah. Biar bagaimanapun, di kantor ia harus tetap bersikap profesional. Apalagi, perusahaan Alfaraz adalah salah satu mitra bisnisnya.
“Maaf, mengganggu waktu Anda. Saya kesini hanya ingin memberikan ini,” kata Al tanpa basa-basi. Ia mengulurkan undangan pernikahan kedua adiknya ke tangan Liona.
Liona menatap undangan tersebut dan Alfaraz bergantian. Ekspresinya tak terbaca. Ia menyentuh lipatan kertas itu dan matanya bergerak membaca nama yang tertera di sana. Tangannya gemetar. “Ini ...?”
“Adik saya akan menikah minggu depan. Kami mengundang kehadiran Anda,” sahut Al datar. Matanya tajam menusuk ke arah Liona yang tertegun.
“Menikah?” Liona bertanya lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Ya. Dan saya harap, Anda tidak lagi mengganggu ketentraman rumah tangga mereka nanti.”
“Dan kenapa saya harus menjadi pengganggu?” lanjutnya sinis setelah kembali menguasai diri.
“Sepertinya kita sama-sama tahu, Nona. Anda begitu tergila-gila pada Samudera. Entah itu cinta atau obsesi, hanya Anda sendiri yang tahu jawabannya.”
Liona mendengus. Tangannya bersidekap dan menatap Al angkuh. “Anda repot-repot sekali harus menemui saya untuk ini?”
Pria itu tersenyum tipis. “Ayah saya adalah laki-laki paling setia di muka bumi ini pada keluarganya. Beliau mendidik kami untuk melakukan hal yang sama pada wanita kami jika telah berumah tangga kelak.
“Anda tahu apa yang terjadi pada adik perempuan saya adalah kebalikannya? Ia dikhianati suaminya hingga memutuskan bercerai. Godaan dalam rumah tangga tidak hanya bersumber dari kedua belah pihak yang menjalaninya. Ada godaan harta, tahta dan wanita. Khusus yang terakhir, wanita terkadang menjadi racun yang mematikan...”
Liona memucat mengingat obsesinya pada Samudera yang tak kesampaian.
“...seperti yang Anda lakukan dua kali pada Samudera,” tandas Alfaraz langsung menantang kedua bola mata Liona yang terlihat jengah.
Liona malu luar biasa. Ia merasa ditelanjangi bulat-bulat. Wajahnya merah padam menahan geram. “Anda tidak punya bukti bahwa saya menggoda adik Anda, bukan?”
Al memajukan tubuhnya. “Saya punya rekaman CCTV di hari Anda menjebaknya waktu itu. Hasil pemeriksaan forensik pun sudah saya kantongi.”
“Kenapa Anda melakukan ini?” sambung Liona setelah terdiam cukup lama.
“I'd do anything for my family. Keluarga Anda pun akan melakukan hal yang sama jika mereka berada di posisi saya.”
***
Setelah pria itu pergi, Liona menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya mengerjab menghalau air mata yang tadi ia tahan agar tidak tumpah. Entah kemana mulut pedasnya, entah kemana sikap sombongnya saat berhadapan dengan Alfaraz.
Liona berjalan ke kamar mandi dan melihat bayangannya sendiri di cermin. Sosok di depannya itu telah kalah berjuang dengan kesucian cinta yang terus dipelihara Samudera belasan tahun lamanya.
Air matanya tumpah. Ia menahan isak tangisnya. Pantas saja Sam begitu setia pada Fara. Ternyata, ajaran sang ayah terpahat begitu sempurna pada anak-anaknya. Mendadak ia ingat ayahnya, seorang b******n tengik yang tega meninggalkan ibunya saat terpuruk demi perempuan lain.
Di satu sisi, ia merasa senang atas nasib Fara. Wanita itu sungguh beruntung. Di sisi lain ia merasa sedih dan muak. Di usianya yang sudah tiga puluh satu tahun, wanita matang seperti dirinya masih belum menemukan tambatan hati yang mencintai dan menghargainya seperti layaknya seorang wanita.
‘I'd do anything for my family. Keluarga Anda pun akan melakukan hal yang sama jika mereka berada di posisi saya.’
Liona tersenyum miris. Rasa iri menyelimuti hatinya.
Beruntungnya kalian! Sayang sekali, keluargaku tidak akan pernah melakukan hal yang sama, batinnya. Ia menghapus airmatanya. Tidak ada yang tahu bagaimana rapuhnya dia dibalik sikapnya yang angkuh dan arogan.
***
Mulut gadis itu menyumpah-nyumpah tak karuan seraya mengayunkan langkah menuju ruangan bos galak yang belakangan sering memaki pekerjaannya. Baru setengah jam yang lalu, Alfaraz marah-marah karena gambar yang ia buat dalam empat kali lembur, terdapat banyak kesalahan. Kali ini, ada apa lagi gerangan?
Thalia menghembuskan napas dan menarik sedikit sudut bibir agar tidak kelihatan seperti anak kecil yang sedang merajuk. Ia mengetuk pintu di depannya lalu melongokkan kepala begitu suara berat dan tegas menyuruhnya masuk.
“Ada apa lagi sih, Pak Bos?” keluhnya dengan nada lembut berlebihan.
Al mengangkat kepala. “Nggak sopan amat? Kamu mau saya pecat?”
“Pecat aja, Pak, pecat! Memangnya saya takut?!” balas Thalia meradang. Ia menghempaskan bokongnya di kursi lalu balas menatap Al dengan mendelikkan mata. “Situ yang rugi kalau saya keluar dari sini!”
Sabar, Al!
Al mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan melihat sikap bawahannya yang terkenal kurang ajar tersebut. Kali ini ia butuh bantuan dan hanya kepada Thalia ia berani meminta.
Sekembalinya dari tempat Liona tadi, Al termenung di kantornya. Konsentrasinya buyar. Jatahnya untuk bekerja hanya tinggal beberapa hari sebelum adiknya menikah. Namun dirinya malah memikirkan hal lain. Mata berkaca-kaca yang tadi dilihatnya membuat jantungnya terasa diremas-remas. Tadinya, ia tidak ingin berkata-kata setajam itu. Namun, rumah tangga adiknya adahal hal mutlak yang harus ia selamatkan.
Bentuk mata gadis itu menari-nari liar di kepalanya dalam sebulan terakhir. Setiap malam ia memaksa benaknya bekerja keras, membayangkan kembali bentuk wajah yang samar-samar dilihatnya di Larnaka. Saat pertama melihat mata itu, keyakinannya hanya berkisar di angka dua puluh sampai dua puluh lima persen. Di pertemuan kedua siang ini, persentasenya naik mencapai angka tiga puluh persen.
Ia memutar laptopnya ke hadapan Thalia dan mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Kamu bisa bikin akun i********:?” bisiknya seolah punya akun media sosial adalah aib yang teramat besar.
Thalia melongo dan sedetik kemudian balas berbisik, “Bapak nggak punya i********:?”
“Kalau saya punya, saya nggak akan minta kamu bikinin!” sahut Al mendelik. Ia harus merendahkan gengsinya di hadapan drafter-nya sendiri, setelah sekilas di kantor Liona mendapati ponsel wanita itu tergeletak di atas meja, menampilkan akun media sosialnya yang terbuka.
“Kan bisa bikin sendiri, Pak. Gampang, kok!”
“Wasting time!” Al mengibaskan tangannya. “Buruan!”
Thalia menghela napas pasrah. Ia mengotak-atik laptop di depannya. “Email-nya apa, Pak?”
“Kamu bikin aja sembarangan.”
“Bapak bikin akun buat stalking mantan?” cecar Thalia ingin tahu.
“Kepo amat?” dengus Al sinis.
“Iya dong, Pak. Kalau buat stalking mantan, Bapak bikin aja akun perempuan biar dia nggak curiga.”
“Gitu, ya?” Al berpikir sejenak. “Ya sudah, bikin akun perempuan saja.”
Thalia menggerutu, “Saya kirain Bapak jomblo abadi, nggak taunya punya mantan juga!”
“Nggak usah banyak bacot!”
“Ya, ya, terserahlah!” Thalia mengibaskan tangannya malas menanggapi bentakan Al. Ia memainkan jemari di atas keyboard dalam beberapa menit, lalu memutar benda itu kembali ke hadapan Al setelah tugasnya selesai. Ia juga menuliskan emaildan password di selembar kertas “Sudah selesai, Pak.”
Al meraihnya lalu tersenyum puas. “Thanks, Tha!”
“Dasar jomblo kudet.” Thalia memutar bola matanya dan menggerutu tanpa terdengar di telinga Alfaraz. Ia memutar badannya hendak keluar dari ruangan Al kala namanya kembali dipanggil.
Al mengambil dompet dan mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna merah dari sana. “Buat beli cilok.”
Mata wanita itu seketika berbinar. “Buat saya, Pak?”
Al mengangguk.
“Wahh, makasih, Pak! Saya doa'in Bapak cepat laku ya, Pak, aamiin!” serunya senang sambil mencium lembaran berharga tersebut seperti ekspresi perempuan materialistis.
Al mendelik dan mengusir Thalia dengan kibasan tangannya. Ia memutar kembali matanya ke arah laptop. Ia segera mengganti password yang tadi dipakai oleh Thalia lalu menyalin login-nya ke ponselnya sendiri. Setelah itu, ia menghapuslogo aplikasi tersebut dari home screeen.
Di layar pipih itu, ia mengetik nama akun yang ia simpan dalam kepalanya di ponselnya. Dalam hitungan detik, keningnya berkerut.
This account is private.
Lha? Kenapa lagi ini?