Lio menyeka matanya kasar dengan punggung tangan. Cuping hidungnya memerah. Dalam beberapa menit, matanya sudah sembab. Airmatanya terus bercucuran, mengaburkan penglihatannya di sepanjang perjalanan kembali ke kantor. Ia mengabaikan panggilan dari Costa sejak tadi dan menyamarkan bunyi ponselnya dengan memencet klakson agar mobil di depannya bergerask lebih cepat. Ingin rasanya ia menghajar Costa saat mereka bertemu nanti. Padahal pria itu tahu latar belakang hidupnya, tetapi malah suka hati mempertemukannya dengan Hendrick. Sebongkah daging di dalam sana terasa amat nyeri. Rongga dadanya sesak menahan lara. Kerongkongannya seperti disumbat batu besar. Kenyataan yang baru saja ia ketahui, sangat menampar batinnya. Terungkap sudah mengapa tanpa orang tua ia masih bisa hidup berkecukupan

