Pukul dua dini hari, matanya belum juga mengantuk. Semangatnya terkadang meletup, terkadang melempem. Berkali-kali ia mengganti kertas gambar yang baru sedikit dicoreti dengan pensil, meremas dan membuangnya ke tempat sampah. “Duh Gusti, ngomong naon aing teh?” Al bermonolog sendirian di ruangan kerja apartemennya. Kepalanya menunduk lemah, lalu ia membentur-benturkan keningnya sendiri ke pinggiran meja. Konsentrasinya buyar tidak bersisa. Perutnya mendadak mual dan melilit sejak pulang tadi, padahal ia sudah mengisinya dengan berbagai asupan bergizi. Ditambah secangkir kopi instan yang biasanya tidak berpengaruh terhadap ritme tidurnya, kali ini sukses membuat matanya nyalang. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa mulutnya keceplosan seperti tadi? Apakah karena desakan Liona yang terus

