“Lo yakin mau ngelakuin ini?” tanyanya dengan mata membulat.
Pria perlente itu syok berat. Kerutan di keningnya semakin dalam saat Lio menyampaikan rencana nekatnya. Ia mengangkat tubuhnya berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruangan Liona.
“Yakin nggak yakin, sih,” jawab Lio ragu. Ia sudah kehabisan akal melakukan berbagai cara untuk menjerat Samudera menjadi miliknya. Tempo hari, ia memohon pada Frederick untuk meminta Sam agar menikahinya. Rencananya gagal total. Sam lebih memilih melepas kariernya meski di bawah ancaman, sedangkan ia harus membayar permintaan khusus itu dengan harga mahal.
“Memangnya lo nggak malu? Ini sudah yang kedua kali, ‘kan?”
“Yang di Bali ‘kan gagal, gimana, sih?” Lio mendelik. Ia mengambil sejumput kentang goreng dan memasukkan ke mulutnya. “Lagian, gue cuma butuh foto aja kok, bukan buat ena-ena. Gampanglah itu!”
Aksinya beberapa waktu lalu di Bali demi menjebak Samudera agar tidur dengannya, jauh dari kata sukses. Bukan hanya karena pria itu keburu kabur, namun juga karena ia terlalu lama menghabiskan waktu mondar-mandir meyakinkan diri di kamar mandi.
Entah dia harus bersyukur atau merutuki diri. Yang jelas, saat keluar, ia tidak mendapati Sam ada di sana. Setelah menunggu satu jam lebih, Sam belum juga kembali, sampai akhirnya Lio memutuskan angkat koper, pindah ke kamar sekretarisnya.
Akibat perbuatannya tersebut, ia harus kehilangan muka bertemu lagi dengan Samudera sampai Frederick mempersatukan mereka dalam proyek yang sama. Meski awalnya agak canggung, mereka kembali bersikap layaknya teman seperti biasa.
Dan kali ini, ia hanya butuh beberapa foto m*sum untuk menghancurkan hubungan Sam dengan wanita yang dicintainya. Jika beruntung, ia dapat menjerat Sam agar menikahinya dengan foto tersebut.
Sekali tepuk dua lalat mati. All is fair in love and war, right?
Samudera sendiri adalah pria yang ia taksir mati-matian semenjak kuliah. Lio sampai harus memohon pada Frederick agar tidak mengirimnya ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan magisternya dan bertahan di Singapura demi Sam. Namun, pria itu sekalipun tak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman.
Padahal, apa sih yang kurang dari dirinya? Tubuhnya sintal, tinggi semampai dengan lekukan indah bak gitar Spanyol. Di berbagai kesempatan, para pria sering memandanginya tak berkedip.
Ditambah lagi, ia sering mengenakan pakaian terbuka. Bukan untuk menarik perhatian pria atau merendahkan diri sendiri, namun untuk melihat siapa-siapa saja yang melihatnya bukan hanya dari fisik semata. Dan pria itu, hanyalah Sam, serta sahabat di depannya, Hutama.
“Dia nggak seberharga itu buat lo dapatin dengan cara seperti ini. Dan gue yakin, rasa yang lo punya itu hanya sekedar obsesi semata, bukan cinta,” ucap Tama meyakinkan. Ia tak rela melihat sang sahabat merendahkan diri demi cinta. Menurutnya, tindakan itu tak masuk akal sama sekali.
Lio mengangkat bahu. Terkadang ia juga pernah berpikir, apakah rasa yang ia simpan terhadap Sam adalah murni cinta atau benar seperti kata Tama, itu hanyalah obsesi semu. Mengingat, ia terlalu mendewakan pria polos dan setia seperti Sam yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ayahnya.
“This is my last effort, Tam. Kalau tidak berhasil juga, ya sudahlah. Mungkin memang sudah nasib gue nggak akan pernah berjodoh dengan pria baik-baik,” sahutnya getir. Raut wajahnya berubah sendu.
Tama mendengkus. “Mana ada hari gini pria baik-baik? Sekelas pemuka agama aja masih bisa selingkuh!”
Liona tertawa sumbang. “Terus gimana, dong? Apa baiknya gue nyari lelaki sekelas pecundang atau sekelas orang orang suci?”
“Mana ada orang suci? Kalau berhubungan dengan laki-laki, kapan aja dia bisa selingkuh atau polianu, ‘kan seram!” Tama bergidik.
Lio memutar bola matanya. “Jangan bilang lo nyuruh gue kencan sesama perempuan!”
“Sudahlah, jangan ribet! Sebaiknya lo terima si Costa aja!” Celetuknya tiba-tiba. “Daripada lo ngejar-ngejar si Sam melulu, useless!”
Lio mengibaskan tangan. “Ah, gue nggak cinta sama dia!”
“Tapi dia cinta sama lo.”
“Dia nggak segitu cintanya sama gue. Buktinya, dia tetap tebar pesona dimana-mana.”
“Tebar pesona doang, bukan punya pacar, ‘kan?”
“Tidak menutup kemungkinan suatu hari dia khilaf. Apa gue harus mengulang nasib Mama gue sekali lagi?” tanya Lio sinis.
Tama terdiam menghela napas. Ia tahu, perceraian kedua orangtua, meninggalkan trauma mendalam bagi Liona. Tingkah Hendrick yang bak b*jingan kelas atas, membuat kepercayaan Lio pada lelaki ambrol, berada pada level kritis.
Hanya Samudera, si polos yang menurutnya teramat suci. Setiap kali pria itu bertemu dengan perempuan-perempuan seksi di Singapura sana, ia lebih sering menunduk atau membuang muka. Hari ini, mencari pria seperti itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Persentase keberhasilannya mungkin hanya satu banding seribu.
“Pikirkan sekali lagi, Lio,” pinta Tama memelas berusaha menggoyahkan keyakinan sahabatnya. Ia pikir, meski kali ini Lio sukses, sesuatu yang dimulai dengan kecurangan, tidak akan berakhir dengan baik.
Lio berdiri mendekati Tama, lalu menepuk bahu sahabatnya itu. “Do'ain aja kali ini gue berhasil, hmm?” kekehnyameyakinkan dirinya sendiri meski dalam hati ia pun meragu.
Tama memaksa bibirnya mengulas senyuman tipis.
Sorry Lio, kali ini gue nggak bisa mengaminkan do'a lo!
***
“Apapun yang kau lihat hari ini, tutup mulutmu rapat-rapat, mengerti!” gertak Lio pada sekretaris di sampingnya.
Gadis itu mengangguk meski tidak mengerti apa yang harus ia lihat nanti.
Liona memencet bel penthouse di depannya dengan napas menderu. Bukan hal yang sulit untuk menemukan Samudera, dan juga bukan hal yang sulit untuk menembus pengamanan unit mewah ini berkat koneksi yang ia miliki.
Pintu di depannya mengayun terbuka dengan kasar. Lio tersenyum manis melihat ekspresi Sam yang terkejut di depannya.
“Hai, Sam.”
“Ngapain lagi kesini?” tanya Sam ketus.
“Maaf mengganggumu. Hanya menyelesaikan formalitas terkait pengalihan kepemimpinan. Ada beberapa berkas yang perlu di tanda tangani. Boleh kami masuk?”
“Kenapa tidak mengajakku bertemu diluar? Kamu tahu darimana aku disini?”
“Kebetulan tadi lewat disini. Jangan takut begitu, aku bawa sekretaris, kok. Boleh masuk?”
“Nggak bisa diluar saja?”
“Kamu mau kami duduk di lantai?”
Sam berdecak kesal dan terpaksa mempersilakan mereka masuk ke dalam.
Liona memandang berkeliling menyapu ruangan mewah yang kemungkinan harganya sama dengan unit mewahnya di Singapura.
Mereka bertiga duduk di sofa. Sekretaris Liona menggelar beberapa berkas yang perlu di tanda tangani oleh Sam. Pria itu membaca terlebih dahulu berkas yang dibawa Liona sambil sesekali menggoreskan pena pada helaiannya.
Lio melirik pria yang ia gilai setengah mati. Sam mengenakan celana kargo dan kaos oblong yang merubah penampilannya menjadi lebih santai. Darahnya berdesir melihat rambut pria itu mencuat awut-awutan dari kuncirannya.
“Boleh minta minum, Sam?” pintanya pelan.
Samudera menghela napas sejenak dan berdiri berjalan ke pantry.
Lio bergegas mengambil sebungkus obat berbentuk tepung yang sudah ia siapkan untuk membuat korbannya mengantuk berat dari dalam saku blazernya. Ia menuangkan serbuk tersebut ke dalam botol minuman Sam yang isinya tinggal separuh.
Obat-obatan seperti ini, ternyata memang ada, bukan hanya bualan dalam sinetron belaka. Ia berharap, dosis yang ia masukkan tepat guna, tidak membuat korbannya celaka. Gila saja, jika hanya gara-gara cinta, ia harus mendekam di penjara.
Sekembalinya Sam membawa dua botol minuman untuknya, Lio bersorak dalam hati ketika Sam sesekali menenggak sisa minumannya.
“Sepertinya, tawaran kami tidak menarik bagimu, Sam?”
“Not at all!” jawab Sam singkat. Ia terus menekuni berkas-berkas di hadapannya tersebut, tanpa menoleh sekalipun ke arah Lio.
Liona tersenyum masam. Sangat sulit untuk meraih Samudera. Menggunakan cara-cara licik sekalipun, pria di depannya susah digoyahkan. Bertahun-tahun ia berusaha mengambil hatinya. Setelah ini, ia yakin jalinan pertemanan pun tidak akan mampu menyelamatkan hubungan mereka berdua.
“Sudah selesai, permisi sebentar,” pamit Samudera menuju kamarnya.
Lio menyuruh sekretarisnya menunggu dan ikut menyusul ke kamar tersebut. Tangannya menggigil melucuti pakaiannya satu persatu dengan harapan rencananya ini segera selesai dan ia bisa pergi secepatnya dari sana.
Pintu kamar mandi mengayun terbuka. Lio tersenyum. Sementara pria di depannya menatapnya pias, lalu mundur kembali ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
Sial!
Lio menyumpah dan terus menggedor pintu meski ia yakin tak ada gunanya. Tebakannya, di dalam sana mungkin Sam sudah tertidur lelap.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara pintu kamar terbuka dari luar. Lio menoleh dan terperanjat mendapati seorang pria menatapnya dengan mulut menganga.
“Kyaaaaaa!!!” Ia menjerit meraih selimut menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Mulutnya menyumpah mengemasi pakaiannya yang berceceran dan keluar dari sana dengan muka merah padam antara geram dan malu.
***
Liona bergegas memacu mobilnya menuju unit apartemen Hutama setelah menurunkan sekretarisnya di tepi jalan dan menyuruhnya pulang dengan taksi online. Rencana terakhirnya kembali gagal total. Ia menyumpah-nyumpah dalam hati.
Bukan hanya gagal menjebak Samudera, ia juga harus menanggung malu di hadapan seseorang yang sepertinya saudara Sam karena wajahnya amat mirip dengan Fara. Ia juga ingat Sam pernah menceritakan kakak sulungnya yang dulu kuliah di Jerman dan sudah pulang ke Indonesia.
Bukan hanya itu, di lorong sebelum ia mencapai lift, ia melihat pria bule yang merupakan teman dekat Sam berjalan tergesa ke unitnya. Lio menunduk dan menutup wajahnya dengan dokumen yang ia bawa.
Seketika ia ingin pindah ke belahan dunia lain dimana warga negara Indonesia tidak punya hubungan diplomatik di sana, demi menghindari kemungkinan mereka bertemu lagi. Israel, mungkin?
Astaga! Mau ditaruh dimana mukanya? Apalagi, ia juga ketahuan setengah b***l oleh sekretarisnya yang hanya menatapnya sambil melongo. Meski gadis itu tak berani buka mulut, tetap saja kepercayaan dirinya langsung terjun bebas ke titik terendah.
Setibanya di unit Tama, Lio melemparkan sepatunya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia memijit-mijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Sebisa mungkin ia menahan airmatanya yang merebak samar.
Cinta yang telah ia pelihara selama ratusan purnama itu sepertinya telah berakhir, kandas sebelum berlayar menemukan muaranya. Hatinya ngilu menahan perih.
Sejenak ia ingin menyalahkan Tuhan yang menghadirkan rasa tak berbalas itu pada hatinya. Untuk apa? Dimana keadilan itu? Sekian lama ia tak dicintai bahkan oleh ayahnya sendiri. Ketika ia memberanikan diri jatuh cinta, lelaki itu tak menganggapnya siapa-siapa.
Dan kini, harga dirinya kembali lenyap tak bersisa akibat tindakan konyolnya.
Ya Tuhan, gue mau mati saja!
Pahanya tiba-tiba terasa berat. Lio membuka mata dan tersenyum mendapati Paquita, seekor kucing Birman, naik ke pangkuannya.
Ia masih tak habis pikir, Tama rela menghabiskan waktu demi merawat kucing ras yang amat manja ini. Padahal, pria itu lumayan sibuk mengurus pekerjaannya di salah satu stasiun TV.
“Gimana?” cecar Tama penasaran sekeluarnya dari kamar. Unitnya sudah seperti rumah kedua bagi Lio meski tak sebebas biasanya semenjak ia sering membawa pacarnya menginap.
Liona mendengus masam. “Gagal!”
Tama menggaruk tengkuknya yang tak gatal, menutupi ucapan syukur yang diam-diam ia rapal dalam hati. Ia menghampiri sahabatnya dan mengulurkan sebotol minuman dingin.
“Berarti dia memang bukan jodoh lo,” sahut Tama ringan ikut duduk di samping Lio. “Ikhlaskan. Suatu hari, gue yakin kesabaran lo akan berbuah manis.”
Lio semakin menunduk. “Gue malu, Tam,” ungkapnya lirih. Rasa getir di hatinya semakin menjadi-jadi.
“Kan udah gue ingetin lo.”
“Bukan hanya pada Sam, tapi pada kakaknya.”
Tama menoleh. “Kenapa kakaknya?”
“Kakaknya mergokin gue.”
“Hah? Terus?”
“Ya, begitulah!” Lio mengerjab menghalau airmatanya.
Hening.
“Jadi, yang tadi mergokin lo itu, tipe yang mana? Pecundang atau malaikat?” celetuk Tama sambil nyengir mencairkan suasana.
“Maksud lo? Apa bedanya?” Lio bali bertanya.
“Ya, kalau dia tipe loser, dia bakal bilang gini, 'neng, ngamar yuk!'. Tapi, kalau tipe malaikat, dia pasti menunduk sambil ngerapal istigfar, kayak habis ketemu s*tan.”
Lio melotot kesal. “Lo bilang gue s*tan?”
Tama mengangkat bahunya. “Mungkin bagi Sam, lo memang s*tan. Buktinya lo gagal lagi.”
“Anjir! Kurang ajar banget mulut lo!”
Tama tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Lio, termenung mengenang kembali sang pria yang tadi memergokinya.
Ia bisa mengerti jika kebanyakan laki-laki tak bisa memalingkan mata dari tubuh sintalnya. Tetapi, tadi itu berbeda. Pria itu hanya melirik tubuhnya sekilas. Setelah itu, menatap tepat di kedua bola matanya tak putus-putus, tanpa sekalipun berkedip sampai ia berhasil meloloskan diri dari sana.
“Heran, apa body gue kurang seksi kali, ya?” desahnya bingung. Ia merasa tersentil dan level kepercayaan dirinya atas tubuh seksi yang terkenal mumpuni m*nodai mata para pria, menurun secara signifikan.
“Siapa bilang? Buktinya mulai dari yang perutnya sixpack sampai perut buncit demen ngajakin lo ena-ena,” sanggah Tama.
“Ya, tapi kenapa dia nggak?”
“Jangan-jangan dia ....” Tama ikut tercenung dan berpikir, lalu matanya membola, menoleh memandang Liona yang juga balas melihatnya dengan ekspresi yang sama.
“Gay!”