Bisa Apa?

1088 Words
“Abang tadi ke ruangan tuan Spike mau ngapain?” tanya Aura sambil memicingkan mata. “Nolongin kamu dari si George,” jawab Narendra datar. “Abang tau dari mana Aura di sana?” Rendra mengendik ke arah kamera cctv yang berada paling dekat dengannya. “Jadi Abang mata-matain Aura?” Bunyi denting diiringi pintu lift terbuka menyelamatkan Narendra, keduanya masuk ke dalam lift yang kosong. Layaknya sepasang kekasih yang sedang bertengkar, Aura mengambil tempat di sisi sebelah kiri sementara Narendra menyandar pada dinding lift sebelah kanan. Aura memang tidak membutuhkan jawaban, dia hanya senang menggoda Narendra. “Pulang bareng ya,” kata Narendra sebelum pintu lift terbuka. “Hem...,” sahut Aura tanpa menoleh. “Ham..hem...ham...hem...jawab yang bener kalau suami nanya itu,” protes Narendra dengan nada menyebalkan ketika melangkah keluar lift. “Iiyaaaa, suamiku sayaaaang!” Aura berseru sebelum lift tertutup membuat Narendra tersenyum tanpa sang istri ketahui. Sementara di dalam lift, Aura mengerutkan wajah sambil menggigit bibir merasa menyesal telah mengucapkan kalimat tersebut, Rona merah seketika muncul di pipi Aura. Aura berdoa di dalam hati hubungan yang sudah membaik dengan Rendra agar tidak membawanya pada perasaan yang lebih jauh, sebuah perasaan yang bernama cinta agar hatinya tidak terluka. *** Patricia mengangguk disertai senyum kepada sang bos yang baru saja keluar dari lift dengan sisa senyum di bibirnya. Ketika lift terbuka lebar tadi, Patricia dapat melihat Aura juga ada di dalam sana. Prasangka buruknya tiba-tiba berkelana jauh, Patricia mengira kalau Aura sedang menggoda Narendra setelah berhasil menaklukan George. Patricia membawa macbooknya mengikuti Narendra yang sudah memasuki ruangannya. “Besok kita ada perjalanan bisnis ke Jerman selama tiga hari, saya juga sudah memberitahu orang-orang yang berkepentingan untuk ikut pada perjalanan bisnis nanti,” tutur Patricia memberitahu. “Siapa saja yang ikut?” Narendra bertanya dari kursi kebesarannya seraya meraih iPad yang tergelatak di atas meja. Dengan gerakan cepat, Patricia mengirim data orang-orang dan jabatan yang akan ikut dalam perjalanan dinas tersebut. “Ganti pegawai magangnya, saya mau Aura yang ikut!” titah Rendra kemudian beralih menyalakan MacBook. “Tapi Aura itu perempuan dan mobilitasnya akan terbatas dibanding laki-laki, sementara Lucky sudah sering ke Jerman dan akan mudah bila kita memintanya untuk menunjukan jalan atau mengangkut koper,” tukas Patricia menolak terang-terangan mulai jengah karena nama Aura kini terlalu sering disebut. “Kita mempekerjakan anak magang untuk membantu tugas kamu bukan untuk menjadi tour guide apalagi tukang angkut barang,” pungkas Narendra dengan nada dingin dan ekspresi datar tanda bila lelaki itu benci mendapat penolakan. Patricia yang sangat mengenal Narendra tidak bisa mendebat lagi. Dia tau betul kalau Narendra sangat keras kepala, maka Patricia terpaksa mengangguk mengabulkan keinginan cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. *** “Bang...kenapa harus Aura sih yang ikut? Bukannya Lucky yang harusnya pergi ke Jerman?” gerutu Aura saat dirinya sedang memasukan pakaian ke dalam koper. Sedari tadi lelaki yang katanya suaminya itu berdiri di ambang pintu dengan menyandarkan setengah bagian tubuhnya dan tangan yang terlipat di d**a mengawasi. Sebab setiap pakaian yang akan dibawa Aura harus dengan persetujuan Narendra. Belum juga Narendra menjawab, Aura bertanya lagi sambil mengangkat rok span ke udara meminta persetujuan. “Yang ini gimana?” “Kependekan,” jawab Narendra membuat Aura berdecak sebal kemudian beralih pada rok yang lain di dalam lemari. “Baaang!” Aura berseru seraya menghentakan kakinya. “Apa?” Narendra balik bertanya pura-pura lupa. “Kenapa harus Aura yang pergi! Pasti Abang nih yang minta! Kemarin sok-sokan mau menceraikan Aura setelah setahun, sekarang malah enggak mau jauh-jauh dari Aura,” ledek Aura sambil mengerucutkan bibirnya. “Ngomong apa sih kamu?” tangan Rendra terulur mengacak kepala Aura, wajah Rendra juga memerah karena sepertinya apa yang dikatakan Aura adalah benar. Beruntung Aura yang sedang berjongkok di depan lemari tidak dapat melihat wajah Narendra yang sedang berdiri menjulang di belakang gadis itu. “Kalau ini gimana?” tanyanya lagi seraya membalikan badan dengan mengangkat rok span lainnya. “Celana enggak ada?” Narendra balik bertanya. “Nggak ada, Abaaaang!” Aura mendesah sambil menjatuhkan tubuh di atas karpet. “Ya udah bawa Long Coat tebel, di sana lagi musim dingin! Jangan lupa syal, kaos kaki. Pokoknya baju yang tebel-tebel, ya!” titah Rendra sebelum keluar dari kamar Aura. “Iyaaaa...,” balas Aura memanjangkan kata. “Ra....” “Hem?” “Pintunya jangan di tutup!” “Kenapa?” “Biar kedengeran kalau nanti kamu batuk tengah malem,” kata Narendra sembari berjalan menjauh. Aura menipiskan bibirnya, perhatian Narendra itu tidak akan serta merta membuatnya membuncah bahagia karena merunut dari kejadian sebelumnya, sikap Narendra selalu berubah-ubah dan Aura sudah tidak mempunyai hati untuk dikecewakan lagi. *** Patricia, George dan Jesica-sekretaris George, Robert dan Pedro sekertaris Robert serta dua orang dari bagian pengembangan produk sudah berkumpul di ruang tunggu keberangkatan. Hanya tinggal menunggu sang CEO dan anak magang yang belum juga tiba padahal privat jet akan lepas landas sepuluh menit lagi. Semua orang tersebut diminta untuk segera menaiki pesawat sehingga mereka berjalan beriringan sambil menarik koper masing-masing memasuki lorong menuju pintu pesawat. Patricia menatap aneh ke arah sosok gadis yang sudah duduk di kabin depan pesawat, siapa lagi kalau bukan Aura sementara Narendra duduk di tengah kabin seolah mereka menaiki pesawat secara bersamaan. Robert dan yang lainnya pun tampak mengerutkan kening melihat keanehan tersebut namun mereka memilih tidak memperdulikan, lain halnya dengan George yang sudah mengetahui hubungan Aura dan Narendra. Lelaki itu dengan sengaja memilih duduk di samping Aura setelah sebelumnya memberikan senyum meledek kepada Narendra yang duduk bersama Patricia. “Kamu hati-hati ya dengan Patricia,” bisik George sambil sesekali melirik ke belakang. “Kenapa?” tanya Aura dengan wajah polos menggemaskan. “Dia menyukai suami kamu semenjak kuliah.” George malah membocorkannya. “Tapi miss White baik, dia memberi kami hadiah sepasang baju tidur sebagai hadiah pernikahan,” tukas Aura kemudian ingatan mengenai Narendra yang tidak sudi berfoto bersamanya membuat hati Aura berdenyut nyeri. “Aku hanya mengingatkan,” balas George kemudian mengusap kepala Aura pelan dengan sengaja sambil melirik ke arah Narendra yang sedang melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Perjalanan udara dengan waktu tempuh hampir sepuluh jam itu dihabiskan Aura untuk tidur berbeda dengan yang lainnya memilih untuk terlibat perbincangan ringan disertai tawa canda. Sekilas Aura bisa melihat Patricia yang tampak akrab dengan suaminya, sesekali memegang lengan Narendra ketika tertawa bahkan entah disadari atau tidak, wanita berambut pirang itu menyandarkan kepala ke pundak Narendra. Aura bisa apa? Status dengan Narendra memang sebagai suami istri, tapi lagi-lagi pernikahan keduanya yang didasari keterpaksaan membuat Aura bingung di mana harus menempatkan perasaannya dan bagaimana harus bertindak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD