Malam berlalu di sambut pagi dengan udara dingin yang seolah enggan untuk pergi memaksa Rendra memeluk Aura lebih erat.
Sempat pelukan itu terlepas karena sensai kebas dan kram menyerang di lengan yang dijadikan bantal oleh Aura namun saat Aura kembali terbatuk, Rendra menarik Aura kembali dalam dekapannya.
Ketika Aura membuka mata, dia telah menyadari bila sang suami memeluknya semalaman.
Ingin rasanya setiap malam seperti ini, diperhatikan dan disayangi seorang pria apa lagi kalau pria itu adalah suami sendiri.
Tapi Aura pernah dikecewakan dan dia harus menekan harapannya sedalam mungkin agar tidak merasakan sakit yang dulu pernah ditorehkan Sigit terlebih Rendra yang menjadi suaminya saat ini tidak mencintainya.
Tapi boleh kah, sebentar saja Aura menikmati hangatnya pelukan pria yang telah syah menjadi suaminya?
Dan berpura-pura bila lelaki yang memeluknya ini menyayanginya?
Kalau sayang mungkin iya, tapi hanya sayang sebagai seorang kakak kepada adik.
Aura mendengus pelan menertawakan dirinya sendiri.
“Udah bangun?” Suara bariton tepat di atas kepalanya membuat Aura mendongak.
Lelaki itu masih terpejam, begitu tampan dilihat Aura dari jarak yang begitu dekat.
“Hem ....” Aura bergumam sebagai balasan mengikuti Rendra yang malas menjawab ‘Iya’.
“Kaki kamu masih sakit?”
“Udah enggak!”
“Kalau gitu hari ini kamu udah bisa magang di perusahaan aku, emm...Maksud aku perusahaan grandpa,” kata Rendra masih dengan mata terpejam dan tangan yang belum lepas dari tubuh Aura.
Aura menggerakkan sehingga membuat pelukan Rendra terurai.
“Maksudnya Aura kerja sama Abang jadi anak magang di kantor grandpa?” Aura bertanya mencari keyakinan dengan binar di matanya.
Rendra membuka mata, sesaat mengawasi ekspresi bahagia di wajah sang istri kemudian mengangguk dengan memberikan satu garis senyum di bibir.
Aksi saling diam mereka yang dimulai dengan ungkapan kekecewaan Aura beberapa malam lalu kini berakhir tanpa Rendra harus meminta maaf, tampaknya Aura melupakan begitu saja sakit hatinya kepada Rendra.
Sudah semestinya Rendra bersyukur memiliki istri yang mudah melupakan kecewa dan sakit hati.
Wanita di luaran sana mungkin akan melanjutkan aksi diamnya sampai satu minggu itupun suaminya harus memohon-mohon agar sang istri mau memaafkan.
Sedangkan bagi Aura, pelukan semalaman saja sudah bisa memaafkan semua perlakuan menyakitkan Rendra kepadanya.
Aura sadar diri bila Rendra dengan sangat terpaksa menikahinya hingga mengorbankan cintanya kepada wanita lain, dan sikap baik lelaki itu saja sudah cukup bagi Aura maka dari itu dia sudah tidak mempermasalahkan kejadian tiga hari lalu.
“Ra ....”
“Hem ....”
“Nanti....” Rendra menjeda ucapannya mencari kalimat yang tepat agar Aura tidak berprasangka buruk dengan apa yang akan ia katakan.
“Apa?” cecar Aura tidak sabar.
“Nanti kita bersikap seperti enggak saling kenal ya ....” Kalimat Rendra menggantung dan seketika itu juga binar di mata Aura berubah penuh kesakitan.
“Aku enggak mau di anggap menyalahgunakan kekuasaan karena selama liburan ini, aku udah banyak nolak mahasiswa kaya kamu yang magang di kantor...cuma bagian human capital yang tau kamu istri aku...kamu enggak keberatan?” Rendra mengucapkannya dengan nada lembut membuat gadis polos seperti Aura percaya dengan semua yang dikatakan pria itu.
Aura mengerti kemudian mengangguk disertai senyum. “Aku mandi dulu ya, Bang.”
Gadis itu meraih bathrobe kemudian masuk ke kamar mandi dengan perasaan bahagia karena selama liburan ini bisa mengisi kesepiannya dengan bekerja di kantor yang sama dengan sang suami.
Sementara Rendra masih terbaring di atas ranjang Aura dengan perasaan berkecamuk.
Perasaan bersalah lebih mendominasi karena sesungguhnya Rendra belum siap mengenalkan Aura kepada seluruh karyawan di kantor, dia masih berharap bila yang diperkenalkan sebagai istrinya adalah Alisha.
Rendra mengusap wajahnya kasar kemudian menyugar rambut ke belakang, semoga saja sang adik tidak mendapatkan karma dari apa yang dilakukan dirinya kepada Aura.
***
“Oke, Aura...ini meja kamu dan semua yang diperintahkan kepada kamu akan di sampaikan melalui chat intranet di komputer ini...Jadi kamu harus sering memeriksa chat dan standbye di depan komputer.” Wanita paruh baya bernama Evelyn mengantar Aura hingga ke kubikelnya dan memberi tahu apa saja tugas pegawai magang.
“Bila perlu sesatu, kamu bisa cari saya di ruangan saya …,” sambungnya kemudian berlalu setelah Aura memberikan anggukan dan ucapan terimakasih.
“Anak baru ya?” Suara seorang gadis membuat Aura menoleh ke sebelah kanan.
“Ah...iya, aku magang selama libur kuliah,” jawab Aura ramah.
“Kamu Imigran?” tanya suara pria di kubikel depannya dan Aura langsung mendongak.
“Iya, aku ikut suami yang tinggal dan bekerja di sini,” jawab Aura polos.
Kedua teman barunya langsung ber Oh ria sebagai tanggapan.
“Deasy!” Gadis yang pertama kali menyapa memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
“Aura...,” balas Aura menjabat tangan Deasy.
“Aku Lucky...kami juga pekerja magang selama libur sekolah.” Lucky berujar sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Aura.
“Asal kamu dari mana?” tanya Lucky lagi penasaran.
“Indonesia!”
“Apa gadis di Indonesia seumur kita sudah harus menikah?” Deasy bertanya dengan ekspresi serius membuat Aura terkekeh.
“Tidak semua, kebetulan aku bertemu jodoh di umur semuda ini,” timpal Aura meracau dan dirinya mengutuk semua perkataannya tadi di dalam hati.
Tidak mungkin juga bila Aura menceritakan dirinya di jodohkan lalu pria itu lari dan suaminya yang sekarang terpaksa menggantikan.
Bincang-bincang mereka harus berakhir karena seorang wanita yang memiliki jabatan tinggi di antara mereka berdehem sambil mendelik tajam ketika melewati kubikel mereka.
“Itu Miss Addison supervisor kita, kamu harus sabar menghadapi dia...perawan tua,”bisik Deasy meledek.
Acara gosip keduanya pun terhenti karena satu pesan masuk ke ruang chat Aura, memerintahkan dirinya melakukan suatu pekerjaan.
Aura bangkit dari kursi kemudian pergi sesuai instruksi.
Aura mengetuk pintu di depannya, chat yang masuk tadi memerintahkan dirinya untuk datang ke ruangan Linda Addison-sang atasan.
Perintah masuk yang terdengar dari dalam sana membuat Aura memutar knop pintu kemudian mendorong benda tersebut.
“Anda memanggil saya, Miss?” Aura bertanya setelah dirinya berada di depan meja Linda Addison.
“Berikan berkas ini ke ruangan rapat untuk Mr. Spike kepala bagian keuangan...dan foto copy berkas ini sebanyak sepuluh lembar,” perintah miss Addison seraya menyodorkan beberapa berkas.
“Baik…Miss!” Aura mengangguk sambil meraih berkas tersebut lantas keluar dari ruangan beliau.
Tugas pertama ini membuat jantung Aura berdebar kencang, melangkah pelan menuju lift disertai kode semangat dari Deasy dan Lucky yang mengepalkan tangan di udara.
Setelah Aura berada di lantai tempat di mana Aula rapat berada, dia mengetuk pintu kemudian mendorongnya.
Sorot mata semua orang yang berada di Aula rapat tersebut tertuju pada Aura.
Rendra yang duduk di ujung meja dengan plakat bertuliskan CEO di atas mejanya terlihat begitu tampan sampai membuat Aura sesaat menahan nafas ketika mata mereka bertemu.
Lelaki itu sedang menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya dengan jemari tertaut juga dahinya yang mengkerut menangkap sosok Aura di ambang pintu.
“Sa...saya diperintah Miss Addison untuk memberikan berkas ini kepada mr Spike,” kata Aura pelan hampir tidak terdengar.
“Masuk Nona manis, aku mr Spike yang kamu cari,” celetuk George dengan menggerakkan jarinya memberi perintah kepada Aura untuk lebih mendekat.
Dengan tubuh bergetar Aura memasuki ruangan di mana para petinggi di perusahaan milik Gunadhya itu sedang mengadakan rapat.
Gadis itu memberikan berkas yang dimaksud kepada George namun George seorang Cassanova tanpa tahu malu menyentuh lengan Aura dari bagian sikut kemudian turun ke tangan yang memegang berkas.
Tidak lupa seringai terbit di bibir George.
Selama sentuhan itu George berikan, bukannya menghempaskan Aura malah kembali menahan nafas dengan mata melebar sempurna dan tubuh menegang.
Aura tidak sadar bila dirinya sedang dilecehkan.
“George!!” Suara bentakan yang dikenalnya menyadarkan Aura hingga gadis itu menyodorkan dengan kasar berkas kepada George yang terkekeh karena berhasil menggoda Aura.
Ekspresi wajah Rendra terlihat sangar ketika memanggil nama sahabatnya cukup kencang, sungguh sang CEO tampan tidak terima istrinya diperlakukan seperti itu oleh George.
Aura menelan saliva kelat, dia membungkuk kemudian mundur perlahan dan berbalik ketika tubuhnya hampir mencapai ambang pintu.
Menutup pintu ganda ruang rapat kemudian bersandar sebentar sambil memegang d**a menetralkan debaran jantung yang beruntung masih ada pada tempatnya.
Setelah menghembuskan nafas berkali-kali, Aura melangkah pergi dari sana menuju ruang foto copy untuk melakukan tugas keduanya.